konsolidasi buruh

Rabu, 10 Maret 2021

Serikat Buruh "ANAK HARAM" Reformasi?

Opini:

Eduard Parsaulian Marpaung

Sejak Reformasi tahun 1998, Keberadaan Serikat Pekerja/Serikat Buruh di Indonesia mulai berkembang. Reformasi telah mengakibatkan terbukanya kesempatan untuk semua orang untuk berorganisasi secara bebas sesuai konstitisi.

Pada tahun 2000, keluarlah perundangan untuk menjamin kebebasan berserikat dengan UU 21 tahun 2000. Ketentuan tentang pencatatan SP/SB.

Namun ketentuan kebebasan berserikat ini, tidak diikuti oleh perlindungan hukum. Karena status pencatatan tersebut ternyata bisa digugat di hak cipta dan HAKI, padahal sudah ada UU no 21 tahun 2000 leks specialis yang mengatur ketentuan berkenaan logo dan nama SP/SB secara detail. Bahkan SP SB yang telah terlebih dahulu mencatatkan organisasinya berikut lambang dan logonya bisa dikalahkan oleh Mahkamah Agung dengan menggunakan Hak Cipta. Seharusnya ini dipertimbangkan dalam UU Hak Cipta dan atau  Hak Merk. 

Begitupun Badan Hukum Pencatatan SP/SB ternyata bukan dianggap organisasi berbadan hukum. Karena untuk membuka rekening organisasi, melakukan transaksi jual beli, dll. harus ditambahkan pencatatan dan status badan hukum ORMAS berbadan hukum. Padahal jelas sekali UU 21 tahun 2000 leks specialis mengatur detail tentang keberadaan badan hukum SP/SB. Seharusnya Kemenaker RI membuat aturan turunan yang jelas untuk kedua produk hukum terkait keberadaan status hukum SP/SB yang tak butuh lagi registrasi, atau terkoneksi langsung ke Hak Cipta terkait Hak Paten logo dan nama Serikat Buruh. Juga regulasi berkenaan Badan Hukum Serikat Buruh yang tak perlu double registrasi lagi sebagai Ormas, dan seharusnya otomatis tercatat di Kemenkum HAM sebagai organisasi berbadan hukum Serikat Pekerja Serikat Buruh. Harus ada reformasi UU Ketenagakerjaan yang bisa mensinkronisasi atau penegasan atas keberadaan Badan Hukum SP/SB. Karena bila tidak Kemenaker RI bisa jadi bulan-bulanan laporan terhadap kebebasan berserikat, bukan karena kesalahannya tapi kesalahan System yang tak ramah SP/SB.

Dengan ketidak jelasan badan hukum tersebut, SP/SB sebenarnya keberadaannya masih tidak jelas. Wajar saja beberapa perannya didegradasi di Bipartit dan Tripartit. SP SB sebenarnya bisa melakukan report ke ILO terkait keberadaan kelembagaan ini. Apalagi ada bukti bahwa SP/SB ternyata bisa digugat keberadaan hukumnya menggunakan UU lain yang dianggap lebih memiliki kekuatan hukum mengikat. Ini terjadi kepada KSBSI (Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia) yang bisa digugat keberadaannya dengan menggunakan Hak Cipta, dan UU Keormasan.

Ini hanya sekelumit analogi "anak haram" dari segi hukum.

Dari segi ekonomi, sejak reformasi. Cuma Menaker Hanif Dakhiri yang memahami keberadaan SP/SB tentang peran ekonomi dan keharusan kontribusi sustainabiliti dari pemerintah. Walaupun masih belum memungkinkan untuk diimplementasikan. Sebelum berakhir masa jabatannya Hanif Dakhiri penah berjanji untuk mengukuhkan kontribusi pemerintah dalam rangka sustainability keuangan dan program SP/SB dengan mengkombinasi system check off iuran anggota yang diadopsi oleh pemerintah melalui system perpajakan modern. Walau belum dijelaskan langkah konkritnya.

Di system kita ada system verifikasi keanggotan SP/SB, namun system ini hanya mengadopsi system keterwakilan dalam media komunikasi tripartit. Bahkan perannya sekarang untuk penentuan upah sudah direduksi. System Tripartit ini hanya formalitas legitimasi untuk kebijakan pemerintah dan alat sosialisasi kekuasaan. Tidak ada system demokrasi dalam Tripartit yang sekarang. Apalagi Demokrasi Ekonomi. Seharusnya system keterwakilan tersebut ditindaklanjuti oleh peran pemerintah untuk mendistribusikan peran dan keterlibatan SP/SB dalam jangkawan untuk meningkatkan kapasitas SP/SB dalam hal sustainability keuangan, Sosial dialog, pengorganisasian, PKB, GBV dan hak buruh perempaun dan pemuda di tempat kerja, perlindungan pekerjaan rentan, adaptasi industri digital dan just transisi, dll. Pemerintah hanya memandang bahwa bidang kerja di atas adalah bidang kerja Kementerian Tenaga Kerja. Pemerintah tidak memandang bahwa SP/SB adalah mitra sejajar dalam system kenegaraan yang paling berwenang untuk melaksanakan program tersebut dalam bentuk sosial dialog, pembangunan kapasitas, kampanye penyadaran, advokasi, dll. Kalau dalam RAPBN ada anggaran untuk berbagai instansi dan kelembagaan kemasyarakatan, tak ada untuk SP/SB. Seharusnya dengan kondisi ini SP/SB wajib memiliki Partai Politik sendiri.

Bagi serikat buruh global seperti  KSBSI (Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia dan KSPI (Konfederasi Serikat Pekerja  Indonesia), mereka bisa mendapatkan bantuan kegiatan dari Internasional melalui mekanisme Tripartit Global ILO. Dimana Indonesia juga adalah anggota yang mengiur. Dengan mekanisme tersebut SP/SB seperti KSBSI dan KSPI dapat mengakses anggaran global untuk sustainability aktivitas tersebut diatas melalui proposal program tahunan. Tapi ketika terjadi asesment tahunan, betapa malunya karena peran Negara sendiri untuk mendistribusikan keadilan pajak untuk aktivitas kerja SP/SB hanya Nol %. SP/SB adalah "anak haram" reformasi yang tak pernah diakui sampai lebih dari 22 tahun. Berganti Presiden, Kelakuan tetap sama, tak satupun partai yang paham masalah atau pura-pura tak paham. 

Begitupun peran pengusaha. Dalam prinsip complience perusahaan. Check kinerja pengusaha untuk Pekerjaan Layak adalah wajib. Sehingga keberadaan lembaga bipartit, SP/SB sebagai mitra, P2K3, dan PKB di perusahaan adalah wajib. Namun tak ada PKB untuk Nasional, baik sektoral maupun multi sektoral. Juga PKB regional bila diperlukan. PKB jenis ini juga diharamkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan, padahal ada di UU Ketenagakerjaan. Sehingga perusahaan yang satu group, atau perusahaan yang sejenis sulit untuk bernegoisasi efektif dengan SP/SB yang bersifat sektoral, regional atau nasional. Seharusnya Kementerian Ketenagakerjaan mengadopsi hal ini dalam rangka efektifitas sosial dialog.

Pemerintah hanya bisa ngomel dan cerewet ketika SP/SB selalu mogok dan demo massal mengajukan tuntutan. Ibarat anak di rumah, mak cuma bisa cerewet karena anaknya bodoh, mak cuma cerewet karena anaknya malas pergi ke sekolah. Padahal kemalasan pergi ke sekolah karena sepatu sudah diikat dengan tali rapiah, anak malas belajar di sekolah karena mengantuk kurang gizi.

Mak... terlanjur menstreotif SP/SB sebagai "anak haram" reformasi. Karena sesungguhnya tak ada anak yang haram, orang tualah yang berbuat dosa.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar