konsolidasi buruh

Minggu, 11 Agustus 2024

Memenuhi harapan Masyarakat untuk DJSN

 DJSN yang Lebih Efektif, Efisien, dan Berkesinambungan

Pendahuluan

Negara kita telah memilih system Asuransi Sosial melalui UU SJSN yang diselenggarakan oleh Badan Pelaksana Jaminan Sosial agar dapat menjangkau kepesertaan yang lebih luas serta memberikan manfaat yang lebih besar bagi setiap peserta.

Dengan jaminan sosial negara hadir memberi perlindungan yang layak terhadap dampak merugikan atau penurunan pendapatan akibat sakit, kecelakaan kerja, usia lanjut, pension, melahirkan, maupun kematian.

Untuk menjawab tantangan zaman yang semakin kompleks, perlu adanya upaya untuk membangun DJSN yang lebih efektif, efisien, dan berkesinambungan. Makalah ini bertujuan untuk mengeksplorasi strategi-strategi yang dapat diterapkan dalam meningkatkan kualitas dan kinerja DJSN.

Penguatan dalam  Proses Administrasi

Bahwa susunan organisasi dan tata Kelola DJSN telah diatur dalam Peraturan Presiden No. 46 tahun 2014.  DJSN berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Sekretariat DJSN berada dan berkedudukan di Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Sinergi antar Lembaga DJSN dan Kementerian ini diharapkan dapat mendukung efisiensi dan efektifitas kinerja DJSN.

1.    Efektifitas Proses Adnministrasi dan Transparansi

Efisiensi dalam proses administrasi akan mengurangi birokrasi dan meningkatkan kecepatan dalam memberikan layanan kepada peserta. Beberapa langkah yang bisa dilakukan:

Penyederhanan birokrasi dan transparansi: Perlu integrasi kinerja DJSN sampai ke jajaran birokrasi dengan divisi DJSN sampai ke tingkat daerah. Sehingga keluhan Masyarakat ke DJSN dapat ditindaklanjuti lebih cepat dan pendataan statistic pengawasan dapat terkoneksi dan terkoordinasi. Sehingga terjadi transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan jaminan sosial.

Selain itu, DJSN bukanlah Lembaga atau institusi yang gemuk yang memiliki cabang-cabang sampai ke daerah. Selain membangun integrasi dengan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, DJSN juga perlu terus menjalin Kerjasama dengan berbagai instansi terkait seperti Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Keuangan, Kementerian Kesehatan, BPJS Naker dan Kesehatan.

Penerapan Sistem Otomatisasi:

DJSN sama seperti BPJS, harus memanfaatkan jejaring kelembagaan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan dalam rangka peningkatan  teknologi guna  memproses informasi dan perbaikan layanan dengan cepat dan akurat. Sehingga dalam laporan rutin pelaporan atas kinerja dan pengawasan dapat disampaikan secara terstruktur dan sistematis dengan data yang akurat.

2.    Penguatan Infrastruktur Teknologi Informasi:

Penggunaan teknologi informasi yang canggih akan menjadi kunci utama dalam meningkatkan efektivitas DJSN. Langkah-langkah yang dapat dilakukan antara lain:

Pengembangan Sistem Informasi Terintegrasi: Bekerja sama dengan BPJS memastikan semua data terkait jaminan sosial terkoneksi dengan baik untuk memudahkan pengelolaan dan pelayanan.

Penerapan Teknologi Digital:

Memanfaatkan aplikasi mobile dan platform online untuk memudahkan peserta dalam mengakses informasi dan layanan DJSN. DJSN memiliki hal-hal khusus dalam pelaksanaan tugasnya yang bersifat internal. Namun Masyarakat membutuhkan keterbukaan terkait kinerja dan adaptasi pelaporan yang mereka alami terkait pelayanan BPJS.

 

 3. Peningkatan Kualitas Pelayanan DJSN

DJSN  adalah ujung tombak atas pengaduan dan harapan masyarakat. Kontrol atas kualitas pelayanan jaminan sosial  berada dalam tugas dan fungsi DJSN. Monitoring, evaluasi, advokasi dan edukasi menjadi fungsi vital DJSN atas terlaksananya jaminan sosial yang berkualitas dan berkeadilan.

Untuk terlaksananya pelayanan DJSN yang efektif, efisien dan berkelanjutan DJSN perlu meningkatkan kualitas layanan dengan Upaya:

a.     Peningkatan kualitas SDM.

 

Peningkatan kualitas sumber daya manusia, tidak saja kepada para staff sekretariat, namun juga penting bagi para pimpinan dan anggota DJSN. Peningkatan SDM ini dalam berbagai ketrampilan sesuai dengan lini dan bagian tugas yang diemban. Peningkatan kualitas SDM dalam berbagai aktivitas seperti workshop, FGD, Seminar, training, leadership, kemampuan teknis, komunikasi dan studi banding.

b.      Pelayanan terpadu:

Komplain dan permasalahan jaminan sosial sering sekali terjadi di waktu luar jam kerja. Keluhan-keluhan Masyarakat perlu segera terselesaikan, baik yang bersifat temporer maupun jangka Panjang. Dengan adanya ketersediaan jaringan system informasi dan pelayanan terpadu, maka permasalahan masyarakat dapat segera tertangani dengan baik.

 

4. Mendorong Partisipasi dan Kesadaran Masyarakat

Kepercayaan masyarakat adalah kunci. Sistem Asuransi Sosial menuntut kontribusi dari masyarakat luas, selain subsidi negara dalam bentuk penerima bantuan iuran.  Selain itu kesadaran masyarakat pekerja informal dan pengusaha untuk melaporkan keseluruhan pekerjanya dalam program BPJS akan meningkatkan kepesertaan, manfaat  dan kesehatan keuangan BPJS. Hal ini akan meningkatkan Upaya untuk memastikan keberlanjutan program DJSN. Beberapa langkah strategis untuk mencapai hal ini:

Pendidikan, Kampanye  dan Pelibatan Kelompok Masyarakat:

Baik sendiri maupun berkolaborasi dengan BPJS dan Kemenaker, penting bagi DJSN untuk meningkatkan upaya pengenalan dan pendidikan jaminan sosial bagi Masyarakat. Baik dalam bentuk Pendidikan, Latihan, maupun kampanye.

Pelibatan kelompok LSM, Organisasi Masyarakat, Serikat Pekerja/Serikat buruh dalam rangka meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesadaran Masyarakat akan jaminan sosial.

Kesimpulan

Membangun DJSN yang lebih efektif, efisien, dan berkesinambungan membutuhkan kerja sama semua pihak pemangku kepentingan. Dengan menerapkan teknologi informasi, optimalisasi administrasi, peningkatkan kualitas layanan, serta  partisipasi masyarakat, DJSN dapat menjadi instrumen yang lebih efektif dan berkelanjutan dalam mendukung kesejahteraan sosial secara menyeluruh.

Jakarta, 11 Juli 2024

Ditulis oleh:

 

Eduard Parsaulian Marpaung

Bottom of Form

 

Senin, 22 Juli 2024

Pensiun dan Perlindungan Kesejahteraan Sosial

 

Opini Pikiran: Eduard Parsaulian Marpaung

I. Pendahuluan

Pensiun identic dengan masa-masa suram, tak punya penghasilan, tidak ada perhatian dan perawatan, terlantar, gelandangan dan miskin. Akan beruntung bila memiliki keluarga, atau keluarga yang peduli dan bersedia menyokong secara finansial, membantu perawatan, menemani di masa tua. Tidak sedikit kejadian orang tua terlantar, gelandangan, miskin, terbuang dan bahkan hingga meninggal tanpa pertolongan.

Akan terlihat kontras bagi yang memiliki finansial cukup dan memiliki persiapan kemampuan untuk menyediakan perawatan di masa pensiun dan jompo. Dapat menghuni panti yang memiliki fasilitas perawatan dan lingkungan yang baik, atau bisa dirawat di tempat mandiri dengan asisten yang memadai.

Di berbagai negara, usia pensiun sudah diperpanjang, mengingat banyaknya orang tua yang masih memiliki kemampuan fisik memadai harus berhenti beraktifitas secara fungsional, padahal masih memiliki kemampuan fisik yang memadai untuk mengerjakan pekerjaan yang sesuai. Penting negara hadir untuk memastikan jaminan sosial  dan bantuan sosial melindungi para pensioner dan jompo untuk dapat perlindungan yang layak sebagai manusia.

Pasal 34 ayat 1 UUD 1945: Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Negara harus hadir dan menjamin ketersediaan kesejahteraan bagi para pensiunan dan orang jompo untuk mengakses kesejahteraan secara kemanusiaan.

II. Fase Pensiun

  1. Masa  Pensiun

Usia pensiun buruh swasta ditetapkan 56 tahun dan bisa berjenjang sesuai kesepakatan  sampai maksimal usia 60 tahun, dan akan terus meningkat sesuai usia harapan hidup. Bahkan Pegawai negeri sudah mencapai 60-70 tahun sesuai dengan jabatan fungsional yang diemban. Semakin tua usia, maka pemeliharaan kesehatan semakin mahal, biaya kehidupan juga semakin tinggi seiring berkurangnya fungsi-fungsi motorik sehingga membutuhkan banyak bantuan. Sementara penghasilan semakin terbatas, bahkan untuk sebagian Lansia tidak sama sekali memiliki penghasilan. 

  1. Pemasalahan  Finansial

“Baby Boomers” , saat ini sudah memasuki fase menua dan pensiun. Generasi ini adalah generasi dengan angka kelahirn tertinggi. Namun persiapan finansial bagi kelahiran 70 an dengan persiapan jaminan pensiun swasta yang terlambat. Mayoritas bekerja secara kontrak dan outsoursing, tidak membayar jaminan pensiun dan JHT. Uang pesangon juga tidak memadai untuk dipakai dalam rangka persiapan pensiun. Kekhawatiran akan banyaknya korban keterlantaran para orang tua harus diantisipasi semua kalangan terutama pemerintah.

Pentingnya merencanakan keuangan untuk masa pensiun.

Perencanaan keuangan untuk masa pensiun tentunya harus dimanage oleh negara melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Seharusnya pemerintah focus melakukan peningkatan pemasukan untuk menambah kontribusi bagi tabungan jaminan hari tua, pensiun dan kepastian pemenuhan kerja layak untuk kepastian pesangon. Pemerintah akan kedodoran bila keuangan dipersiapkan sendiri hanya melalui anggaran bantuan sosial.

 

  1. Perlindungan Kesejahteraan Sosial

Bagi para pensiunan pegawai negeri perlindungan jaminan Kesehatan dapat disupport melalui anggaran jaminan pensiun yang masih diterima. Namun bagi buruh swasta dan informal, ini akan bermasalah. Pemerintah harus memastikan bagi pensiunan swasta dan informal yang usia pensiun otomatis dicover oleh PBI. Sehingga Kesehatan baik mental dan fisik mereka dapat terjamin di masa tua.

Negara melalui Kemensos dan BPJS harus bekerjasama memberi manfaat dan bantuan sosial bagi pensiunan dan jompo yang diterlantarkan dipelihara oleh negara dengan fasilitas yang manusiawi.

Selain itu dukungan keluarga dan masyarakat juga dibutuhkan dalam rangka inisiatif swasta maupun keluarga untuk membantu negara memfasilitasi dukungan pemenuhan hak para jompo dan pensiunan untuk dapat memperoleh penghidupan dan kesejahteraan yang layak untuk kemanusiaan.

IV. Kesimpulan

Kasus meninggalnya orang tua lanjut usia di Jonggol adalah kasus yang sangat menggetarkan nilai kemanusiaan. Keterlambatan negara dalam merespon keterasingan dan kemiskinan, kendati berada di rumah mewah. Pasangan ini menderita berdua dan akhirnya  meninggal dunia tanpa sepengetahuan dan fasilitasi yang layak menjelang akhir hayatnya. Anak, Masyarakat terdekat Gereja, tak melaporkan adanya keterlantaran ke pemerintah setempat, sehingga negara tak dapat dipersalahkan. Negara perlu segera membuat peraturan terkait keterlibatan unsur pemerintah, untuk pelaksanaan perlindungan bagi fakir miskin dan anak terlantar. Perlu dibentuk gugus tugas di Kementerian Sosial bekerjasama dengan unsur lintas departemen dan organisasi sipil kemasyarakatan.

Peningkatan kontribusi  jaminan sosial melalui penguatan keuangan negara dari berbagai sumber perlu diinisiatipi segera agar penganggaran bagi kesejahteraan sosial dapat berkesinambungan.

Pendidikan dan kampanye kesadaran dan solidaritas  masyarakat untuk peduli bagi perlindungan fakir miskin dan anak terlantar perlu diintervensi melalui kegiatan-kegiatan berbasis kearipan lokal dan budaya setempat.    

Rabu, 06 April 2022

Ibukota Nusantara Dan Fasilitasi Transisi

Opini: Eduard Parsaulian Marpaung

Palu DPR RI telah diketuk. Dengan demikian sudah dipastikan ibukota RI ada di Kaltim. Melihat poros Politik Indonesia dan poros Kapital yang menguasai arus politik, sepertinya dalam jangka menengah kekuatan politik Indonesia akan mengarak ke Timur. 

Ini adalah ide yang baik untuk pemerataan ekonomi, tapi harus hati-hati, pemindahan ibu kota tidak semata masalah ekonomi, tapi ada masalah ekologi, politik,pertahanan keamanan, susial dan hak azasi manusia khususnya terkait keadilan lingkungan dan ketenagakerjaan.

 Ekologi

Kalimantan Timur, memang kurang potensi untuk pertanian. mayoritas lahan rendah unsur hara dengan lahan gambut yang menyimpan banyak gas metan. Kalimantan Timur tidak memiliki gunung berapi yang dapat secara permanen menambah nutrisi tanah dari dalam perut bumi. Sehingga masyarakat yang mayoritas petani, kurang meminati bercocok tanam karena butuh usaha ganda untuk memperoleh hasil pertanian berbanding dengan masyarakat di Jawa dan Sumatra.

 Hutan Kalimantan sebagaian besar telah rusak oleh pertambangan batu bara. Juga eksplorasi lahan sawit yang massif. Ekplorasi industri yang menyita banyak lahan ini, tambah memiskinkan dan mematikan lahan yang sebenarnya rendah nutrisi bagi tanah. Untuk masa depan, lahan-lahan sawit yang terbengkalai, juga lahan bekas eksplorasi  batu bara akan menjadi lahan terbuka tandus tak berpenghuni. mayoritas eksplorasi ini dilakukan oleh para pengusaha dari barat yang tidak bertanggung jawab atas kerusakan yang dilakukan.

 Pemindahan ibukota jangka panjang juga akan mengakibatkan ekplorasi pada lahan-lahan hutan yang masih alami. Akan terjadi bencana ekologi akibat ekplorasi lanjutan terhadap lahan hutan yang masih terjaga kelestarian flora dan fauna di dalamnya. Pemindahan Ibukota akan mebawa banyak penyakit sosial, karena kota ini lebih banyak mengumbar janji, padahal masyarakat yang diharapkan pindah ke Ibukota baru ini adalah masyarakat dari barat yang mayoritas dimanja oleh alam di barat. Harus juga diantisipasi tradisi para buruh perkotaan di barat akan dukungan bantuan sosial dari keluarga, mereka akan dengan mudah pindah ke pertanian, bila mengalami PHK di kota. Mayoritas orang di barat memiliki rumah ke dua di kampung halamannya. Dengan mudah mengeksplorasi tanah yang memang memiliki nutrisi lebih akibat alam yang bersahabat. Di Kalimantan, butuh usaha lebih dan profesional untuk mengolah lahan pertanian yang mayoritas gambut dan nutrisi tanah yang rendah. Butuh konsultan pertanian profesional sebagai pendamping. Butuh modal bantuan subsidi bagi para petani pemula. Hal ini juga perlu diantisipasi pemerintah. 

 Belum lagi modal yang cekak untuk pindah ke Kalimantan Timur. Pemerintah yang semula merencanakan pindah dengan modal asing dan swasta, ternyata terpaksa merogoh kantong APBN, yang saat ini justru dibutuhkan untuk memfasilitasi transisi dari ekonomi yang sekarat akibat Covid 19. 

 Pemerintah  tidak mempersiapkan fasilitas kota yang berkelanjutan. Fasilitas sanitasi bawah tanah untuk penampungan limbah untuk daur ulang sebelum hasil air murni bisa dibuang ke laut atau dimanfaatkan ulang untuk pertanian dan industri. Konsep pembangunan dengan modal yang cekak justru akan membuat rencana pembangunan yang kota eksploitatif. Pembangunan Kota Nusantara dikhawatirkan tidak beda dengan konsep kota-kota baru di Barat. Menimbulkan polusi di udara, tanah dan air. Daerah Kalimantan yag Sebagian memiliki ambang batas emisi nol, akan meningkat tajam. Laut-laut pantai yang masih penuh dengan berbagai aneka ragam ikan yang mudah diperoleh nelayan, akan menghilang karena limbah rumah tangga dan industry. Dikhawatirkan pemindahan ibukota baru tanpa analisis dampak lingkungan yang konperhensif, justru akan memindahkan struktur kehancuran alam dari barat ke timur. Ketergantungan akan investasi asing di kota baru ini, apalagi bila tanpa konsep keberlanjutan  akan menghadirkan pengembangan kota yang eksploitatif.

 Pembangunan Ibukota Nusantara, juga harus memperhatikan rencana ketersediaan energi dan air dalam jangka paling tidak 50 tahun ke depan untuk minimal 20 juta penambahan penduduk. Bila tidak, industry baru dan ibukota baru yang dibangun akan menimbulkan masalah besar. Kota ini akan tergantung banyak dari bahan bakar fosil jangka Panjang. Tidak sesuai dengan komitmen global untuk menurunkan emisi dan pengurangan bahan bakar fosil. Memang ada rencana membangun fasilitas dam penampung air dan pembangkit energi tenaga air. Tapi tidak memadai untuk jangka Panjang. Kalimantan bukan daerah pegunungan yang memiliki cadangan curah hujan yang tinggi seperti Bogor. Atau penyimpanan air bawah tanah. Pengembangan kota di Kaltim harus juga memperhitungkan ketersediaan air jangka Panjang. Artinya akan ada pengalihan cadangan air dari wilayah lain yang menyebabkan ketidakseimbangan alam baru.  bahkan rencana cadangan penggunaan penyulingan  air laut yang juga bisa merusak ekosistem di laut. Ini akan menjadikan Kalimantan Timur menjadi kota yang mahal. Yang membutuhkan struktur Jaminan Sosial Khusus dari negara.

 

Politik

Lebih 70% masyarakat saat ini tinggal dan diuntungkan dari perputaran ekonomi di Barat, bahkan sebagian besar dari penduduk di Timur memiliki peruntungan di Barat  dan mentransfer ekonominya ke Timur. 

Bukan hanya lokal yang terpengaruh. Pemindahan ibukota ke Timur juga berdampak secara global. Perubahan arus transportasi ke Timur akan menghemat transportasi dari Asia  ke  Pasifik. 

Pemindahan Ibukota ke Timur tanpa transisi, adalah ide radikal yang sangat berbahaya secara ekonomi dan politik. Karena, bila tidak diantisipasi akan berdampak serius terhadap kematian perputaran ekonomi di Barat.

Hal ini disebabkan oleh terhentinya secara mendadak perencanaan investasi jangka panjang  di wilayah Barat baik berupa bandara internasional, pelabuhan internasional, manufaktur dan industri jangka panjang dan menengah. 

Omnibus Law Ciker adalah sebuah rencana suppoting untuk eksodus manufaktur jangka panjang dan menengah dengan ide eazy hiring, eazy fairing,  eazy moving. 

Banyak para pemodal menengah yang merupakan mayoritas investor negeri ini, tak siap untuk bertarung jangka panjang. Juga para buruh yang menengah dan mapan dan di atas 35 tahun bila harus pindah ke ibukota baru.

Memulai hidup dan peruntungan di kota baru butuh waktu minimal 30 tahun. Ini berkaca dari pembentukan kota-,kota baru di Batam, Cikarang, Tangerang.  Pemindahan Kantor Pemerintah Pusat  sebaiknya dilakukan belakangan. Harus membangun infrastruktur pemerintahan Otonom Induk Provinsi yang didukung oleh Industri manufaktur terlebih dahulu. Karena para pegawai pemerintah akan membawa suami, istri dan keluarga mereka yang butuh lapangan kerja. Potensi bagi buruh usia muda untuk memulai investasi, pun para pengusaha muda, anak cucu konglomerat.

Untuk mengantisipasi kontraksi sosial ekonomi dan politik jangka pendek dan panjang, perlu diantisipasi dengan pembentukan 2 dua  Pemerintahan Induk Provinsi. Provinsi Indonesia Barat dan Indonesia Timur. Kedua Induk  Provinsi bentukan ini diberi status Otonomi khusus. Induk  Provinsi Timur berpusat di Kaltim dan Induk Provinsi  Barat di Jakarta. 

Posisi dari kepala daerah, adalah setingkat Menteri yang memiliki perwakilan DPRD sendiri. Kepala daerah dipilih oleh DPRD hasil pemilu Induk Provinsi Besar.

Pemindahan Ibukota saat ini tidak mempertimbangkan masalah strategi jangka menengah dan panjang. Karena dengan perpindahan poros transportasi global ke Timur indonesia, bila tidak ada antisipasi kekuatan ekonomi politik di Barat, maka akan mengakibatkan matinya transportasi udara dan laut di teluk Jakarta, Surabaya  dan Bandara  Cengkareng.

Bila ada antisipasi pemerintahan bagian Induk Provinsi Otonom, maka akan ada keseimbangan transisi yang harus dibayar. Tidak menjadi politisi yang arogan dan egois. Pergi melongos dan meninggalkan rakyat Barat  tanpa proses transisi yang adil.

 

Ketenagakerjaan

Pemindahan ibukota baru, akan menimbulkan persoalan baru bagi ketenagakerjaan. Perpindahan massif para buruh muda dari Barat ke Timur ini, akan menimbulkan keterkejutan ekonomi. Tambahan subsidi keluarga sebagai rumah kedua penopang masalah sosial ketika terjadi guncangan akibat PHK, atau bencana ekonomi seperti Covid-19 akan sulit. Apalagi bila keluarga penopang tidak ikut pindah dan menjual asetnya untuk pindah ke Nusantara. Artinya Negara harus memfasilitasi jaminan sosial khusus di Ibukota Negara baru ini. Bahkan sampai saat ini, teritori Ibukota Nusantara belum jelas. Apakan masuk dalam bagian provinsi Kalimantan Timur, atau menjadi satu Kawasan Provinsi Ibukota baru. Bila tidak ada penegasan batas wilayah otoritas otonomi dan kewenangan, maka akan mempersulit kinerja Ketua Otorita saat ini untuk melakukan kinerja. Belajar dari Batam yang memiliki banyak masalah tumpeng tindih kewenangan dan penganggaran, sebaiknya Pemerintah pusat segera memutuskan luasan wilayah dan strategi jangka panjang peta perencanaan. Tidak bisa cuma punya konsep bangun bangunan ibukota tanpa integrasi perencanaan pembangunan kawasan integrasi.

 Membangun Kota artinya akan membangun berbagai fasilitas terintegrasi: Kawasan Industri, Kawasan wisata, Kawasan belanja, Kawasan hunian berbagai golongan dan kluster ekonomi, Kawasan pergudangan, Kawasan industry pertahanan, Kawasan ketersediaan support konsumsi dan pertanian, Kawasan pusat  bisnis terintegrasi,  dll. Kawasan ini harus dipetakan dalam jangka Panjang untuk menampung lebih dari 20 juta penduduk dalam berbagai Kawasan dan fasilitas. Pemetaan ini harus  dibuat dengan cakupan minimal seluas DKI, dengan dukungan daerah terintegrasi dan didiskusikan dengan semua pemangku kepentingan di daerah. Bila master plan ini bisa dibuat, barulah bisa memarket kota ini keberbagai investor. Karena memiliki strategi jangka pendek, menengah dan Panjang.

 Kawasan Nusantara harus terpisah dari Provinsi Kalimantan Timur. Harus ada lobby ke Pemerintah Provinsi untuk memetakan cakupan wilayah baru di Kalimantan. Bila tidak, pengembangan ibukota baru, hanya cuma konsep, yang tak akan bisa di design sebagai sebuah kota yang berkelanjutan di masa datang. Kota ini hanya akan jadi kota bajakan baru dalam rangka pemenuhan pundi-pundi para kroni birokrat dan politik.

 Bagaimana memiliki konsep ingin mengundang para investor dan pekerja muda dengan berbagai kemudahan ekonomi dan sosial, bila daerah yang dipromosikan adalah bagian daerah yang terikat secara kebiojakan ke Kepala Provinsi. Bukankan wewenang promosi ini seharusnya diperankan oleh Gubernur Kaltim. Bila tidak ada kebijakan pemetaan dan pemisahan wilayah Provinsi, Ibukota Nusantara justru akan menimbulkan konflik baru di masyarakat dan birokrasi.

 Sulit mengharapakan kebijakan fasilitas transisi ketenagakerjaan di Ibukota Nusantara bila tidak ada pemisahan daerah. Karena bila pemerintah melakukan kebijakan berbeda yang disebut wilayah otorita, aka nada protes dari DPRD setempat. Promosi Presiden untuk menawarkan kalangan muda pindah ke IKN, hanya akan dimaknai sebagai penawaran yang tidak serius. Ketua Otorita, hanya akan jadi pemimpin wilayah yang memakan fasilitas negara tanpa kinerja. Karena akan sulit mendapatkan dukungan kinerja karena tidak memiliki wewenang. Seharusnya ketika DPR mengetuk palu pemindahan Ibukota ke IKN, sudah ada segera susulan UU kewilayahan Ibukota IKN, dengan cakupan provinsi dan kewenagan khusus daerah dan wilayah otonom.

 

Pemerintah harus membuat kebijakan support transisi khusus di daerah IKN terkait tambahan manfaat jaminan kepastian kerja, fasilitas upah, tunjangan perumahan, tunjangan keluarga muda, tunjangan fasilitas bagi keluarga senior yang memiliki anak usia produktif, fasilitas pendamping pertanian, tunjangan khusus untuk melahirkan dan sekolah anak, jaminan kemudahan perbankan untuk kemudahan berusaha, jaminan ketersediaan fasilitas air-listrik-pengelolaan limbah padat dan cair murah berkelanjutan, dll.  Dengan berbagai fasilitas ini, aka ada kepastian kenyamanan dan jaminan khusus. Dengan syarat Provinsi ini terpisah dengan otonomi khusus dan luas. Sehingga pemimpin daerah ini memiliki kreativitas dan kemudahan membangun sebuah Kawasan terintegrasi yang berwawasan keberlanjutan yang langsung berhubungan dengan Pemerintah Pusat.

 Pertahanan Keamanan

 Pertahanan keamanan Indonesia tak bisa dipandang remeh. Pemindahan ibukota baru yang langsung berdekatan dengan salah satu negara adikuasa baru Cina, akan menimbulkan ketegangan baru bila hubungan diplomatic tidak ditatakelola dengan baik. Indonesia, tidak bisa dipandang remeh di kancah pertahanan global karena memiliki kemandirian sebagian alat pertahanan senjata. Mampu membuat berbagai kendaraan tempur taktis di laut dan darat, bahkan merencanakan membuat pesawat tempur sendiri bekerjasama dengan Korea Selatan. Bahakan memiliki beberapa fasilitas nuklir modern, kendati non senjata dan kemampuan mandiri mengembangkan rudal jarak pendek dan menengah yang dengan mudah diaplikasi menjadi senjata pemusnah baik nuklir maupun semi nuklir.

Pemindahan ibukota baru dengan pulau yang langsung berhadapan laut dengan laut yang bersengketa secara langsung dengan Cina di Laut Natuna, akan menimbulkan ketegangan jangka panjang bila pendekatan soft diplomatic tidak dikelola dengan baik.

 Sudah pasti, pemindahan ibukota baru ini akan juga memprioritaskan pemindahan strategi pengembangan pertahanan keamanan. Akan ada focus pengembangan industry pertahanan baru di pulau ini. Seperti fasilitas latihan tempur, industry persenjataan dan kendaraan tempur laut, darat dan udara, sekolah dan akademi pertahanan, dll. Hal ini akan menimbulkan ketegangan baru dan kecurigaan baru. Kemitraan selama ini akan pengembangan kemandirian pertahaan yang lebih ke barat dan Korea Selatan yang juga mitra Barat, akan dipantau oleh kelompok negara yang berbatasan dari blok Cina dan Korea Utara. Atau bahkan bisa sebaliknya, Cina akan menggunakan soft powernya menawarkan kerjasama yang lebih mudah untuk pengembangan kemandirian pertahanan Indonesia dalam rangka kemitraan jangka panjang negara bertetangga yang menimbulkan kecurigaan Barat. Karena mudah dan menguntungkan bagi Cina melakukan pendekatan pertahanan, karena sudah lebih penetrasi melalui pendekatan investasi ekonomi. Indonesia harus menjaga semua kepentingan, agar tidak menjadi boomerang di masa depan.

 Ada banyak pertimbangan lainnya yang harus didesign secara konperhensif Bersama semua pemangku kepentingan, karena pemindahan Ibukota Baru tak semudah pindah rumah. Semoga tulisan ini bisa menjadi masukan untuk semua pengambil kebijakan.


Rabu, 08 Desember 2021

PARTAI LONTE NASIONAL?


PARTAI LONTE NASIONAL?

Opini: Eduard Marpaung

Lonte, berasal dari Bahasa Jawa yang juga sering disebut Pelacur. Secara intelektual dalam KKBI, pelacur Intelektual atau Lonte intelektuala adalah sebuah aktivitas menjual diri atau membuat kesenangan dan keuntungan bagi orang lain dengan menjual kapasitas yang ada pada diririnya  secara eksploitatif.

Pelacur digunakan untuk aktivitas intelektual atau ekonomi dipolpulerkan oleh Jhon Swinton seorang kepala staf Jurnalis Newyork Times pada tahun 1953. Dia mengatakan “ Kami adalah alat dan pengikut orang kaya di belakang layar, kami adalah boneka, mereka menarik tali dan kami menari. Bakat kita, kemungkinan kita, dan hidup kita adalah milik orang lain. Kami adalah pelacur intelektual”. 

Ketika anda secara massal  bekerja hanya untuk mengeksploitasi diri anda untuk kesenangan seseorang atau beberapa orang saja, ketika para intelektual berpendapat dan berbicara hanya untuk mengabdi bagi kepentingan sekelompok orang kaya saja, ketika para politisi secara berjamaah mengambil keputusan hanya mementingkan dan mengabdi sekelompok kecil orang kaya untuk lebih memperkaya  lagi dirinya, ketika Birokrat mengambil keputusan hanya untuk kesenangan dan kepentingan sekelompok orang kaya saja……. Bukankah praktek ini adalah praktek perlontean?

Bahkan ketika ORDE BARU, Praktek perlontean ekonomi dan politik kebijakan ini dipraktekkan secara terbuka dan nasional. Pemerintah menanamkan dan mensosialisasikan ideologi perlontean ini secara terus menerus. Menjelaskan bahwa Pemerintah harus memperbesar kue ekonomi bagi sekelompok elit orang kaya dan nati setelah besar baru dibagi. Ups…. Jelas sekali, ideologi perpolitikan ini  memberikan kesenangan hanya kepada sekelompok kecil orang kaya dan seluruh rakyat kebanyakan hanya diminta mengabdi kepada para elit kaya dan dijanjikan mimpi akan mendapat kenikmatan masa depan bila orang kaya sudah muntah.

Begitupun kebijakan Ekonomi Global yang sekarang kita sebut Investor. “Please invest in my country”  Silahkan investasi ke negeri saya, karena di negeri saya anda bisa disenangkan dengan berbagai fasilitas. Kemudahan pajak dan berproduksi di Kawasan EPZ. Emh, bukankah ini hampir menyamai yang dulu kita sebut Kawasan Dolly? Kita menjual kenikmatan seluruh rakyat yang seharusnya menerima kenikmatan sosial dari penghasilan pajak. Kita menjual kenormalan dengan menjualnya ke orang kaya Global? Dalam Omnibus Law, kita mendeformasi kenikmatan tabungan ketika akan menerima pemutusan hubungan kerja, memperpanjang jam kerja, menjual kenormalan hubungan kerja dengan memberikan kemudahan semudah-mudahnya untuk fleksibilitas hubungan kerja dengan hubungan outsoursing tanpa batas, meminimalisasi upah tanpa berbagi kue pertumbuhan ekonomi, membuka semua sector untuk kontrak kerja jangka pendek. Apakah  semua kemudahan ini merupakan aktivitas menjual dan mengeksploitasi kebanyakan rakyat untuk kepentingan segolongan kelompok kaya domestic dan global yang kita sebut INVESTOR?

Apa ukuran kita untuk sebuah kenormalan? Sebelumnya untuk upah, kita sudah menemukan sebuah pola kenormalan “Standard Upah Layak” yang kita buat sebagai sebuah ukuran untuk pencapaian. Paling tidak kita adalah sebuah negara yang berbudaya yang memiliki ukuran dan standard capaian. Kita membatasi diri untuk tidak dapat dieksploitasi secara mudah, dengan membatasi hubungan kerja yang sifatnya precarious atau buruk dengan membatasi sektor. 

Secara global, kelompok kaya moralis, menetapkan standard capaian adalah KONVENSI ILO, DAN STANDARD HAM GLOBAL. Para Negara maju menyepakati petunjuk moral berinvestasi dengan petunjuk OECD GUIDLINE. Bahkan dibuatkan Petunjuk Bisnis untuk bisnis dan HAM. Karena konvensi ILO juga adalah standard HAM. Workers right is human right. Hak Buruh adalah hak azasi yang diakui secara global.


Negara harus memiliki standard layak untuk dicapai, selain membuat batasan di mana rakyat bisa hidup secara layak. Jangan sampai rakyat hidup miskin dan mereka yang bekerja cuma jadi lonte bagi sekelompok orang. Apalagi perlontean ini dilegalisasi secara formal. Tidak boleh ada sebauah aturan yang membebaskan seluas-luasnya eksploitasi tanpa adanya sebuah standard capaian idealis seperti perluasan seluas luasnya outsoursing dan kontrak jangka pendek. Melakukan penetapan upah tanpa ada standard capaian upah layak  yang akan perlu dicapai. Tidak boleh ada Batasan upah bawah atau minimum  yang direkomendasikan pemerintah bagi rakyat kebanyakan dengan batasan hidup dibawah standard hidup rakyat global sebagai rakyat berpenghasilan normal dan menengah. Karena sesungguhnya orang bekerja hendaklah mereka hidup secara layak dan normal tidak berpenghasilan rendah. Kalaupun ada praktek eksploitasi negara tidak boleh mengamini apalagi menetapkan dalam regulasi. Negara seharusnya hadir dengan membatasi batas minimum untuk kerja secara layak, dan bila ada yang tidak layak harus difasilitasi dalam sebuah aturan karantina ekonomi subsidi, baik itu skill, modal, fasilitas, dll. 


Apakah Praktek Perlontean Global juga terjadi? Statistik dengan jelas memaparkan bahwa Negara Jepang memperoleh GNI (Groos National Income negaranya dari Investasi dari Luar Negeri dan mayoritas diperoleh dari keuntungan investasi di Negara Asean.  


Juga  berbagai negara seperti Singapore, Malaysia, Amerika, Eropa, Cina, dll. Adalah bagian investor global yang berinvestasi di Indonesia. Negara Asean berkembang dan miskin  dengan senang hati menerima investasi dari negara Cina dan Jepang yang tidak menerapkan standard ILS dan HAM sebagai syarat investasi. Padahal syarat yang dimintakan adalah standard moral yang telah disepakati dalam Deklarasi HAM, ILS, dan bahkan tahapan SDG’s. Cina, Jepang dan Brands  negara investor dari Asia seperti  Cina, Korea Selatan, dll. Adalah negara dengan Brands global yang paling sulit diajak untuk melakukan dan menerapkan Standard Global sebagai standard investasi. Padahal investasi tanpa standard capaian moral etik bisnis dan investasi adalah merupakan praktek perlontean secara global, negara yang dengan senang menerimanya adalah praktek PERGERMOAN GLOBAL PULA.


PARTAI ADALAH KELOMPOK MASYARAKAT yang dengan sadar menerima sebuah kondisi organisasi. Apakah kita bagian dari PARTAI PERLONTEAN NASIONAL? Partai mana yang menolak untuk BERLONTE? Pantas lah ada SODOM GOMORA, karena ternyata prkatek moral etik tidak hanya melulu tentang sex, tapi evaluasi prilaku secara menyeluruh.

Kamis, 12 Agustus 2021

Merdeka Atau Mati Celaka

 Opini: Eduard P. Marpaung

Data BPJS Ketenagakerjaan tahun 2019 terdapat 114.000 kasus kecelakaan kerja, tahun 2020 terjadi peningkatan pada rentang Januari hingga Oktober 2020 BPJS Ketenagakerjaan mencatat terdapat 177.000 kasus kecelakaan kerja.

Angka tersebut tentu lebih besar jumlahnya, karena belum semua tenaga kerja dicover oleh BPJS Ketenagakerjaan.

Berdasarkan data  BPJS Tenaga Kerja  2018 mencapai 147 ribu kasus. Kecelakaan ini menyebabkan 4.678 orang atau 3,18 persen mengalami cacat, sedangkan 2.575 atau 1,7 persen meninggal dunia. Artinya, dalam satu hari sebanyak 19 orang peserta BPJS Ketenagakerjaan mengalami kecacatan dan meninggal dunia.

Tentu angka ini lebih besar juga dari angka sebenarnya yang dicover BPJS Tenaga Kerja. Karena beberapa kecelakaan kerja yang fatal mayoritas buruhnya yang meninggal dunia tidak menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan dan tak memperoleh santunan. Seperti yang terjadi di Medan menewaskan 30 orang, hanya satu orang yang diikutsertakan menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaa dan mendapatkan santunan. Yang lain tidak mendapatkan santunan dan kompensasi struktural dari Negara.

Sama halnya yang terjadi dengan kebakaran terjadi di PT Panca Buana, yang merupakan pabrik pembuatan kembang api di Komplek Pergudangan Kosambi, Kab. Tangerang, Kamis (26/10/2017). Korban meninggal dunia atas peristiwa tersebut mencapai 47 Orang. Dari jumlah tersebut, korban yang terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan sebanyak 3 orang saja yang  menerima santunan.

Bila dihitung berdasarkan perbandingan ini, angka kecelakaan kerja berdasarkan data santunan dari BPJS Ketenagakerjaan angkanya jauh lebih kecil. Angka buruh lepas di perusahaan terus meningkat. Mayoritas buruh yang tidak mendapatkan santunan dari BPJS Tenaga Kerja berstatus kontrak dan harian lepas. Yang justru dipermudah perekrutannya di Omnibus Law Cipta Kerja.

Angka kecelakaan kerja baik yang fatal dan ringan akan terus meningkat sepanjang tahun. Kehilangan angka buruh produktif akan semakin meningkat seiring banyaknya buruh yang mengalami kecacatan tetap.

 

Tidak di perusahaan industry kecil menengah saja kecelakaan kerja fatal bisa terjadi. Di perusahaan Global seperti di Salah satu peristiwa yang menjadi di PT Mandom Indonesia Tbk pada 10 Juli 2015 di kawasan industri MM 2100, Cibitung, Bekasi, Jawa Barat. Kebakaran tersebut  merenggut nyawa 22 orang buruh  dan 37 orang mengalami luka-luka akibat ledakan gas.

Juga  Free Port Papua  sepanjang 2013 dan 2014 berturut-turut terjadi kecelakaan kerja yang merenggut nyawa.

Ada beberapa factor tingginya kecelakaan kerja:

1.      Lemahnya Pengawasan Ketenagkerjaan.

2.      Perlengkapan Alat Perlindungan Diri yang tidak standard.

3.      Kondisi Kerja dan Tempat Kerja dan alat kerja yang tidak standard.

4.      Pendidikan K3 yang rendah dan kurang sosialisasi.

5.      Team K3 yang tidak fungsional di Perusahaan.

6.      Regulasi Perundangan yang lemah dalam penerapan dan sanksi.

7.      Koordinasi antar Lembaga yang kurang efektif.

UU No 1 tahun 1970 tentang K3 sudah terlalu tua dan tidak standard. Salah satunya berkenaan dengan sanksi yang sangat ringan: Pada pasal 15 ayat 2, terdapat pernyataan “Ancaman pidana atas pelanggarannya dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah).

Dengan sanksi yang seperti ini, bagi para penanggung jawab di perusahaan tidak ada rasa takut atau jera untuk melanggar standarisasi di perusahaan untuk melindungi nilai-nilai kemanusiaan dan hak azasi buruh untuk memperoleh tempat kerja yang aman.

Berkenaan dengan perlindungan hak buruh tambang, sebaiknya juga menjadi tanggungjawab Kementerian Ketenagakerjaan, bukan Kementerian Pertambangan. Karena Standard ILO terkait hak buruh tambang di bidang K3 adalah bidang  ketenagakerjaan, bukan bagian dari industry (Pertambangan). Buruh tidak bisa dimanage sebagai komoditas (Industri), tapi harus berbasis kemanusiaan (ketenagakerjaan).

Amandemen UU No. 1 tahun 1970 sudah selayaknya dilakukan, untuk sekaligus meratifikasi beberapa Konvensi ILO terkait K3 untuk buruh tambang Konvensi 176, Konvensi ILO No. 188 tahun 2007 Mengenai Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan. Agar keamanan kerja pada sektor Nelayan dan Kemaritiman juga dapat diadopsi. Karena saat ini, perlindungan kemaritiman dan nelayan justru dibawah pengawasan Kementerian Perhubungan bukan Ketenagakerjaan. Hal ini akan mempersulit akses bagi serikat buruh, dan Pengawasan Ketenagakerjaan melakukan pengawasan dan investigasi.

Amandemen UU No. 1 tahun 1970 ini juga terlalu umum dan tidak menspesifikasi jenis industry dan kimia berbahaya dan prosedur pengawasannya. Sehingga perusahaan dapat secara longgar dan sangat sulit untuk mengukur pelanggaran dalam standarisasi K3.

Sudah selayaknya orang bekerja bebas dari rasa takut untuk kehilangan masa depannya akibat kecelakaan kerja, luka, terpapar radiasi, cacat tetap, kematian, penyakit akibat kerja. Negara harus memberi perlindungan yang kuat melalui UU yang modern dan mengikuti zamannya.

 

Sabtu, 20 Maret 2021

Mewujudkan Keadilan Sosial melalui Perbaikan Kinerja BPJS Kesehatan

OPINI: EDUARD PARSAULIAN MARPAUNG

Mengingat kembali tujuan deklarasi kemerdekaan Indonesia dengan kutipan pembukaan UUD 1945:

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Dan mengutip pertimbangan dari tujuan Sistem Jaminan Sosial diadakan:

Menimbang : a. bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak dan meningkatkan martabatnya menuju terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur; b. bahwa untuk memberikan jaminan sosial yang menyeluruh, negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial Nasional bagi seluruh rakyat Indonesia; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang-Undang tentang Sistem Jaminan Sosial Tenaga Kerja;

Bangunlah Jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya.  Kita mengenal pepatah, “di dalam badan yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Untuk memenuhi kesejahteraan nya, seseorang perlu ditunjang oleh kesehatan fisik dan jiwa.

Berturut-turut tahun 2018 dan 2019 BPJS Kesehatan dirundung devisit, dan di tahun 2020 terdapat sedikit surplus ditunjang oleh kenaikan iuran dan keengganan masyarakat datang berobat ke rumah sakit karena ketakutan akan tertular virus Covid-19. Kenaikan iuran BPJS Kesehatan sesungguhnya hanya mengikuti  kenaikan inflasi, hanya berpengaruh kecil terhadap kesehatan keuangan BPJS Kesehatan.

Berdasarkan data BPJS yang dipublikasi Desember 2019, capaian peserta sudah mencapai 83%, 224,1 juta jiwa dari total 269 juta penduduk. Pemerintah mentarget agar 100% dari penduduk dapat dilindungi oleh program JKN. Namun ada banyak kendala dalam mencapai universal coverage bagi seluruh rakyat sesuai amanat UUD 1945 pasal 28 H ayat 3: "Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat". Yang diimplementasikan dengan Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU No 40. Tahun 2004) dan Badan Pelaksana Jaminan Sosial (UU No 24 tahun 2011).

Bahwa Negara Kita telah memilih system Asuransi Sosial sebagai system untuk perlindungan Kesehatan semesta, dimana seluruh peserta wajib untuk mengiur secara gotong- royong sesuai dengan Prinsip SJSN. Iuran tersebut dibagi dalam kategori: 1. Iuran yang dibayarkan oleh Negara: Peserta Bantuan Iuran (PBI) . 2. Iuran yang dibayarkan oleh Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) 3. Iuran yang dibayarkan oleh Pemberi Kerja swasta dan Pemerintah. Dari laporan Keuangan dan operasinal BPJS 2018 dan 2019 didapati bahwa sektor PBPU adalah penyumbang Devisit terbesar untuk Dana BPJS Kesehatan, dimana kontribusi iuran yang disetorkan jauh dibawah jumlah klaim bagi peserta PBPU. Iuran BPJS Kesehatan mengalami beban secara hitungan aktuaria. Hal ini diakibatkan oleh jumlah pengiur yang baru tercakup sekitar 83% jumlah penduduk. Sekitar 17% lagi belum tertanggung yang jumlahnya cukup besar.

Sehingga secara aktuaria peserta pengiur menanggung biaya bagi peserta yang belum tercakup kepesertaan. Seharusnya iuran bisa lebih ringan dengan manfaat bisa lebih besar bila ada ketaatan dan cakupan yang semesta. Selain pendapatan dari PBPU, BPJS juga memperoleh iuran dari PBI kontribusi Pemerintah. Kontribusi pemerintah daerah perlu diintensifkan termasuk kontribusi dari Cukai Rokok sebagai persentase imbal hasil dari penghasilan asli daerah dari cukai rokok. Kontribusi dari cukai rokok ini masih sangat minim dari dana yang seharusnya disetorkan dari daerah.

Bagaimana penanganan masalah keuangan dan pelayanan ini?

 Peningkatan Pembayaran Iuran dari Sektor PBPU Jumlah sektor informal di Indonesia terus meningkat, seiring informalisasi sektor formal. Hal ini terjadi di berbagai sektor seperti financial, transportasi, distribusi, jasa marketing, dll. Sektor informal jenis seperti ini sebenarnya dapat dikategorikan setengah formal. Karena masih ada hubungan kontrak kerja kemitraan yang legal. Operator juga dapat dilibatkan dalam pembayaran iuran, apabila pemerintah dapat meregulasi sector Industri yang termasuk dalam Industri Digital ini (4.0). Para penyedia kontrak kemitraan seperti transportasi online, online distribusi, online marketing, dll. dapat dikerjasamakan dalam bentuk MOU atau sejenisnya untuk mengutipkan pembayaran iuran BPJS Kesehatan. Namun hal ini harus bekerjasama dengan multi departemen yang merupakan wilayah Kementerian Keuangan dan Kementerian Ketenagakerjaan.  Diperlukan juga sinkronisasi pendataan karena beberapa dari mereka juga memiliki double atau triple job yang salah satunya telah tercover oleh BPJS Kesehatan.

Untuk mengcover sector informal yang rentan dan tidak tetap, dapat dikolaborasikan dengan BPJS Tenaga Kerja yang telah memiliki Perisai sebagai alat kolektor yang melibatkan pemangku kepentingan. Dengan system ini peserta BPJS Kesehatan dapat memperoleh manfaat tabungan JHT, Pensiun, Kematian dan Kecelakaan kerja. Sehingga mereka tidak merasa uang yang disetorkan hangus bila tidak ada pelayanan Kesehatan selama menjadi peserta.   Iuaran yang dibayarkan oleh Negara dalam bentuk PBI Pemerintah mengkontribusi iuran BPJS Kesehatan bagi PBI secara berkala sesuai dengan data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang jumlahnya saat ini mencapai 97,3 juta orang. Sebenarnya kontribusi PBI dan anggaran pemerintah untuk Kesehatan saat ini baru berkisar 5% dari PDB (Pendapatan Domestik Bruto), masih jauh dibawah pembiayaan Kesehatan negara-negara lain yang berkisar 10% sampai 30% PDB. Sehingga ruang fiscal negara berbanding negara lain masih renggang untuk pembiayaan Kesehatan dalam kondisi normal. Kontribusi kenaikan untuk bantuan pemerintah juga dimungkinkan undang-undang, sehingga pemerintah dapat mencadangkan anggaran setiap tahunnya kepada BPJS Kesehatan sebagai dana talangan dan elemen investasi.

Untuk memastikan likuiditas dan pelayanan, BPJS dalam jangka Panjang perlu memiliki data terintegrasi sendiri, yang dapat bersinergi dengan data BPJS Ketenagakerjaan. Sehingga tidak tergantung pada data dari Kementerian Sosial. Karena data BPJS seharusnya lebih focus dan terintegrasi secara langsung. Hal ini diakibatkan oleh turn over dalam pekerjaan dan angka turn over yang tinggi bagi pekerja PBPU atau informal. Data tersebut harus bersinergi dengan data BPJS Ketenagakerjaan. Integrasi data tersebut akan memungkinkan pelayanan terpadu dan efisiensi pelayanan BPJS di masa depan.

Korea Selatan misalnya memiliki data terintegrasi dalam system employment insurance nya. Sehingga pendataan berkenaan jaminan sosial mulai dari system iuran, pendataan keanggotaan, klaim, PHK, pensiun, sampai meninggal dunia dari setiap peserta dan anggota keluarga dapat terdata dan terintegrasi dengan cepat. Sehingga klaim dan pencairan anggaran menggunakan system informasi managemen yang efisien. Pelayanan jaminan yang terintegrasi pendataan yang sinergi ini akan meningkatkan kepuasan peserta dalam hal pelayanan.

Iuran yang dibayarkan oleh Pemberi Kerja, termasuk Pemerintah. Tahun 2019, pekerja Formal mencapai  55.272.968 orang, sementara pekerja informal 74.093.224 orang. Sekitar 40 juta pekerja penerima upah menjadi peserta secara aktif termasuk pekerja yang diiur oleh pemerintah sebagai pemberi kerja. Jumlah ini adalah jumlah potensi untuk kontribusi Jaminan Sosial karena kolektifitas iurannya paling tinggi baik dari segi jumlah maupun ketaatan. Pembayar di sektor formal ini harus dipertahankan dan diadakan pendekatan persuasive dalam rangka peningkatan jumlah kepesertaan di sektor swasta. Kordinasi dan kolaborasi dengan Kementerian Ketenagakerjaan sebagai pembina hubungan insdustri dan pengawasan harus ditingkatkan dalam rangka pengembangan sosial dialog. Ketegasan penegakan hukum harus dilakukan dengan pendekatan persuasive dan simulasi. Pelatihan dan sosialisasi dalam rangka penyadaran hukum ketenagakerjaan dan strategi untuk menang Bersama dan sejahtera bersama bagi kedua pihak. Aktivitas perlu dilakukan dengan melibatkan kedua belah pihak baik pengusaha dan buruh. Pendekatan lunak ini akan menimbulkan inisiatif kedisiplinan berbanding tindakan keras yang justru meningkatkan potensi korupsi dan fraud.

Tindakan Preventif Bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan, preventif untuk terjadinya pembengkakan biaya perawatan di fasilitas Kesehatan lanjutan dapat diminimalisasi. Mengingat rumah sakit rujukan juga tidak semua memiliki fasilitas yang terintegrasi. Rumah Sakit saat ini sudah lebih mengarah ke spesifikasi. BPJS sudah memberi kategori A sampai dengan E untuk kategori rumah sakit, agar peserta dapat memilih rumah sakit sesuai dengan fasilitas yang ada. Juga BPJS Kesehatan akan menyetop kerjasama dengan rumah sakit yang dianggap tidak memenuhi standard. Fasilitas dan higienis di faskes tingkat pertama seperti puskesmas saat ini harus lebih ditingkatkan. Karena faskes tingkat pertama ini merupakan ujung tombak pelayanan Kesehatan sampai ke tingkat paling terpencil.

Dengan perbaikan fasilitas di tingkat I ini, rujukan ke rumah sakit lanjutan bisa berkurang dan dana BPJS Kesehatan dapat dihemat tanpa mengurangi pelayanan yang ada. Puskesmas juga harus menjadi ujung tombak informasi masyarakat untuk hidup lebih sehat yang diprakarsai dengan meniru  pengembangan informasi berbasis pelayanan POSYANDU. Hal ini untuk menurunkan tingkat jenis penyakit katastropik yang terus naik tajam. Dimana penyakit katastropik ini menyedot lebih dari 30% seluruh anggaran biaya BPJS termasuk operasional. Penyakit ini diakibatkan oleh kebiasaan konsumsi dan hidup yang tidak sehat seperti merokok, ritme hidup tidak teratur, konsumsi lemak jenuh, kimia berbahaya dan karbohidrat tinggi.

Presentasi makalah ini saya presentasikan di DPR ketika uji kelayakan calon DEWA BPJS Kesehatan. Saya fokus pada perbauikan masalah kinerja keuangan, karena prihatin atas kinerja keuangan yang terus memburuk. Bahkan dalam dengar pendapat baru-baru ini peimisme Direksi BPJS Kesehatan akan kesehatan keuangan BPJS masih terus menghantui. Bila ini terus berlanjut tanpa niat baik untuk melakukan reformasi  sebagian telah saya urai di atas, maka kita sebagai rakyat akan pesimis BPJS Kesehatan dapat melayani rakyat dengan baik secara berkelanjutan.

 

Senin, 15 Maret 2021

Serikat Buruh Hadir Setelah Lama Absen

Penulis: Sarah O’Connor

MARCH 9, 2021

Kliping dari:  Financial Times

Diterjemahkan dari bahasa ingris

Di usia 21 tahun, Alfie sudah tahu sedikit tentang kehidupan kerja di anak tangga terbawah perekonomian Inggris. Dia telah bekerja di pabrik sabuk pengaman ("pada dasarnya Anda hanya berada di sana untuk menjaga mesin"), pabrik kertas toilet, dan jaringan kedai kopi populer. Tetapi tidak pernah terpikir olehnya untuk bergabung dengan serikat pekerja sampai pandemi melanda.

 Khawatir tentang kebijakan kafe tentang pengendalian infeksi, cuti dan gaji sakit, dia dan sekelompok staf lain mulai berbagi cerita di Facebook. Mereka membuat petisi di platform digital yang menghubungkan pekerja dan membantu mereka menjalankan kampanye. Sekarang memiliki lebih dari 37.000 tanda tangan. Alfie telah bergabung dengan Bakers, Food and Allied Workers Union, yang membantu kampanye tersebut.

 “Berkat pandemi, saya pikir gagasan serikat pekerja akan bangkit kembali karena begitu banyak orang, terutama kaum muda, telah menyadari betapa rentannya mereka terhadap keinginan majikan mereka,” katanya. "Mereka merasa tidak punya kekuatan apa pun."

 Jika dia benar, itu berarti pembalikan tren yang telah berlangsung lebih dari 30 tahun dan berlangsung di sebagian besar negara maju. Sejak 1985, keanggotaan serikat pekerja rata-rata telah berkurang setengahnya di negara-negara OECD, sementara cakupan perjanjian bersama yang ditandatangani di tingkat nasional, sektor, atau perusahaan telah menurun sepertiga.

 Masih ada variasi yang sangat besar antar negara dalam hal pentingnya dan popularitas serikat (4,7 persen karyawan di Estonia adalah anggota, 93 persen di Islandia). Namun sebagian besar tempat telah mengalami penurunan. Tidak ada tempat yang lebih nyata selain di antara kaum muda. Pada tahun 1995, satu dari lima anak berusia 20 sampai 25 tahun di Inggris menjadi anggota serikat pekerja; sekarang sekitar satu dari 10.

 Sekarang ada beberapa alasan bagi anggota serikat pekerja untuk optimis. Ketika Boris Johnson, perdana menteri Inggris, memberi tahu orang-orang untuk kembali bekerja setelah penguncian pertama, situs web yang membantu orang-orang menemukan serikat pekerja untuk bergabung memiliki lebih banyak hit daripada sebelumnya. Organize, platform kampanye pekerja, memiliki kurang dari 100.000 anggota kali ini tahun lalu; sekarang memiliki lebih dari 1juta.

 Di gudang Amazon di Alabama, sementara itu, hampir 6.000 pekerja memberikan suara bulan ini apakah akan berserikat. Dorongan untuk penggerak serikat bukan tentang gaji dan lebih banyak tentang cara pekerja digerakkan oleh robot dan dipantau oleh algoritme. Ini adalah pertarungan total bagi serikat pekerja AS yang terkepung, yang ingin menunjukkan bahwa mereka memiliki peran dalam ekonomi abad ke-21.

 Politik juga telah bergeser di beberapa negara. Joe Biden, presiden AS, telah memperingatkan Amazon untuk tidak mengintimidasi pekerja di Alabama, dan telah mengarahkan institusi seperti Dewan Hubungan Perburuhan Nasional ke arah yang lebih pro-serikat. Selandia Baru, yang menderegulasi dan menghapus serikat pekerja pada tahun 1990-an, sekarang merencanakan sebuah sistem di mana pekerja dan pemberi kerja akan melakukan tawar-menawar untuk memberi dasar pada upah dan kondisi di sektor atau pekerjaan tertentu.
 

Ini mencerminkan perubahan diam-diam dalam ortodoksi ekonomi. Seperti yang dikatakan Alan Manning, profesor ekonomi di London School of Economics: "Sangat populer di kalangan ekonom muda sekarang untuk berpikir bahwa keseimbangan kekuatan antara tenaga kerja dan modal telah berjalan terlalu jauh." OECD, yang bukan sarang sosialisme, berpendapat bahwa perundingan bersama “harus dimobilisasi untuk membantu pekerja dan perusahaan menghadapi transisi dan memastikan masa depan kerja yang inklusif dan sejahtera”. Organisasi tersebut beralasan bahwa meskipun penting, undang-undang dan peraturan tidak responsif seperti hubungan industrial yang baik, terutama yang berkaitan dengan penerapan otomatisasi atau pengawasan elektronik.
 
Pertanyaannya adalah apakah serikat itu sendiri cocok untuk masa depan. Beberapa telah beradaptasi dengan baik dengan perubahan kebutuhan pekerja. IG Metall Jerman, misalnya, telah membuka diri untuk wiraswasta dan berkolaborasi dengan serikat pekerja kerah putih Swedia, Unionen, untuk membantu pekerja di platform "kerumunan pekerja". Tetapi yang lain terjebak di masa lalu, didominasi oleh struktur dan budaya kerja dari tahun 1970-an yang membuat mereka tidak memiliki dasar yang tinggi untuk mengkritik pengusaha sektor swasta.
GMB, salah satu serikat pekerja besar Inggris, menugaskan penyelidikan oleh seorang pengacara tahun lalu atas tuduhan pelecehan seksual. Laporan itu mengatakan "intimidasi, kebencian terhadap wanita, kronisme, dan pelecehan seksual adalah endemik" di serikat pekerja, yang dijalankan seperti serangkaian "wilayah kekuasaan". GMB, yang mempublikasikan investigasi secara lengkap, mengatakan akan “menghadapi dan mengatasi” masalah tersebut.
 
Platform seperti Organize dan start-up union baru seperti Independent Workers Union of Great Britain, yang tidak terbebani oleh struktur lama, telah menemukan cara untuk menjangkau orang-orang yang sulit direkrut oleh serikat tradisional, seperti pengendara Deliveroo dan pekerja pertunjukan lainnya. IWGB telah memenangkan beberapa kemenangan hukum yang besar, tetapi pekerjaannya sehari-hari melibatkan membantu pekerja aplikasi dengan masalah praktis seperti dinonaktifkan tanpa penjelasan. Sementara beberapa serikat tradisional berusaha untuk berkolaborasi dan belajar dari para pendatang baru ini, yang lain memperlakukan mereka dengan kecurigaan atau penyangkalan. “Kami hanya akan dimakan seperti Netflix memakan Blockbuster jika kami tidak menghentikannya,” kata seorang anggota serikat buruh.
 
Pandemi tersebut telah mendorong para pekerja seperti Alfie untuk bersuara dan melihat-lihat. Ini berarti bahwa serikat pekerja memiliki kesempatan terbaik dalam beberapa dekade untuk memperbarui diri dan posisinya dalam perekonomian. Apakah mereka merebutnya atau tidak, itu terserah mereka.
 
sarah.oconnor@ft.com