PARTAI LONTE NASIONAL?
Opini: Eduard Marpaung
Lonte, berasal dari Bahasa Jawa yang juga sering disebut Pelacur. Secara intelektual dalam KKBI, pelacur Intelektual atau Lonte intelektuala adalah sebuah aktivitas menjual diri atau membuat kesenangan dan keuntungan bagi orang lain dengan menjual kapasitas yang ada pada diririnya secara eksploitatif.
Pelacur digunakan untuk aktivitas intelektual atau ekonomi dipolpulerkan oleh Jhon Swinton seorang kepala staf Jurnalis Newyork Times pada tahun 1953. Dia mengatakan “ Kami adalah alat dan pengikut orang kaya di belakang layar, kami adalah boneka, mereka menarik tali dan kami menari. Bakat kita, kemungkinan kita, dan hidup kita adalah milik orang lain. Kami adalah pelacur intelektual”.
Ketika anda secara massal bekerja hanya untuk mengeksploitasi diri anda untuk kesenangan seseorang atau beberapa orang saja, ketika para intelektual berpendapat dan berbicara hanya untuk mengabdi bagi kepentingan sekelompok orang kaya saja, ketika para politisi secara berjamaah mengambil keputusan hanya mementingkan dan mengabdi sekelompok kecil orang kaya untuk lebih memperkaya lagi dirinya, ketika Birokrat mengambil keputusan hanya untuk kesenangan dan kepentingan sekelompok orang kaya saja……. Bukankah praktek ini adalah praktek perlontean?
Bahkan ketika ORDE BARU, Praktek perlontean ekonomi dan politik kebijakan ini dipraktekkan secara terbuka dan nasional. Pemerintah menanamkan dan mensosialisasikan ideologi perlontean ini secara terus menerus. Menjelaskan bahwa Pemerintah harus memperbesar kue ekonomi bagi sekelompok elit orang kaya dan nati setelah besar baru dibagi. Ups…. Jelas sekali, ideologi perpolitikan ini memberikan kesenangan hanya kepada sekelompok kecil orang kaya dan seluruh rakyat kebanyakan hanya diminta mengabdi kepada para elit kaya dan dijanjikan mimpi akan mendapat kenikmatan masa depan bila orang kaya sudah muntah.
Begitupun kebijakan Ekonomi Global yang sekarang kita sebut Investor. “Please invest in my country” Silahkan investasi ke negeri saya, karena di negeri saya anda bisa disenangkan dengan berbagai fasilitas. Kemudahan pajak dan berproduksi di Kawasan EPZ. Emh, bukankah ini hampir menyamai yang dulu kita sebut Kawasan Dolly? Kita menjual kenikmatan seluruh rakyat yang seharusnya menerima kenikmatan sosial dari penghasilan pajak. Kita menjual kenormalan dengan menjualnya ke orang kaya Global? Dalam Omnibus Law, kita mendeformasi kenikmatan tabungan ketika akan menerima pemutusan hubungan kerja, memperpanjang jam kerja, menjual kenormalan hubungan kerja dengan memberikan kemudahan semudah-mudahnya untuk fleksibilitas hubungan kerja dengan hubungan outsoursing tanpa batas, meminimalisasi upah tanpa berbagi kue pertumbuhan ekonomi, membuka semua sector untuk kontrak kerja jangka pendek. Apakah semua kemudahan ini merupakan aktivitas menjual dan mengeksploitasi kebanyakan rakyat untuk kepentingan segolongan kelompok kaya domestic dan global yang kita sebut INVESTOR?
Apa ukuran kita untuk sebuah kenormalan? Sebelumnya untuk upah, kita sudah menemukan sebuah pola kenormalan “Standard Upah Layak” yang kita buat sebagai sebuah ukuran untuk pencapaian. Paling tidak kita adalah sebuah negara yang berbudaya yang memiliki ukuran dan standard capaian. Kita membatasi diri untuk tidak dapat dieksploitasi secara mudah, dengan membatasi hubungan kerja yang sifatnya precarious atau buruk dengan membatasi sektor.
Secara global, kelompok kaya moralis, menetapkan standard capaian adalah KONVENSI ILO, DAN STANDARD HAM GLOBAL. Para Negara maju menyepakati petunjuk moral berinvestasi dengan petunjuk OECD GUIDLINE. Bahkan dibuatkan Petunjuk Bisnis untuk bisnis dan HAM. Karena konvensi ILO juga adalah standard HAM. Workers right is human right. Hak Buruh adalah hak azasi yang diakui secara global.
Negara harus memiliki standard layak untuk dicapai, selain membuat batasan di mana rakyat bisa hidup secara layak. Jangan sampai rakyat hidup miskin dan mereka yang bekerja cuma jadi lonte bagi sekelompok orang. Apalagi perlontean ini dilegalisasi secara formal. Tidak boleh ada sebauah aturan yang membebaskan seluas-luasnya eksploitasi tanpa adanya sebuah standard capaian idealis seperti perluasan seluas luasnya outsoursing dan kontrak jangka pendek. Melakukan penetapan upah tanpa ada standard capaian upah layak yang akan perlu dicapai. Tidak boleh ada Batasan upah bawah atau minimum yang direkomendasikan pemerintah bagi rakyat kebanyakan dengan batasan hidup dibawah standard hidup rakyat global sebagai rakyat berpenghasilan normal dan menengah. Karena sesungguhnya orang bekerja hendaklah mereka hidup secara layak dan normal tidak berpenghasilan rendah. Kalaupun ada praktek eksploitasi negara tidak boleh mengamini apalagi menetapkan dalam regulasi. Negara seharusnya hadir dengan membatasi batas minimum untuk kerja secara layak, dan bila ada yang tidak layak harus difasilitasi dalam sebuah aturan karantina ekonomi subsidi, baik itu skill, modal, fasilitas, dll.
Apakah Praktek Perlontean Global juga terjadi? Statistik dengan jelas memaparkan bahwa Negara Jepang memperoleh GNI (Groos National Income negaranya dari Investasi dari Luar Negeri dan mayoritas diperoleh dari keuntungan investasi di Negara Asean.
Juga berbagai negara seperti Singapore, Malaysia, Amerika, Eropa, Cina, dll. Adalah bagian investor global yang berinvestasi di Indonesia. Negara Asean berkembang dan miskin dengan senang hati menerima investasi dari negara Cina dan Jepang yang tidak menerapkan standard ILS dan HAM sebagai syarat investasi. Padahal syarat yang dimintakan adalah standard moral yang telah disepakati dalam Deklarasi HAM, ILS, dan bahkan tahapan SDG’s. Cina, Jepang dan Brands negara investor dari Asia seperti Cina, Korea Selatan, dll. Adalah negara dengan Brands global yang paling sulit diajak untuk melakukan dan menerapkan Standard Global sebagai standard investasi. Padahal investasi tanpa standard capaian moral etik bisnis dan investasi adalah merupakan praktek perlontean secara global, negara yang dengan senang menerimanya adalah praktek PERGERMOAN GLOBAL PULA.
PARTAI ADALAH KELOMPOK MASYARAKAT yang dengan sadar menerima sebuah kondisi organisasi. Apakah kita bagian dari PARTAI PERLONTEAN NASIONAL? Partai mana yang menolak untuk BERLONTE? Pantas lah ada SODOM GOMORA, karena ternyata prkatek moral etik tidak hanya melulu tentang sex, tapi evaluasi prilaku secara menyeluruh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar