OPINI: EDUARD PARSAULIAN MARPAUNG
Mengingat kembali tujuan deklarasi kemerdekaan Indonesia dengan kutipan pembukaan UUD 1945:
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah
sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan
rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Dan mengutip pertimbangan dari tujuan Sistem Jaminan Sosial
diadakan:
Menimbang : a. bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial
untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak dan meningkatkan
martabatnya menuju terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan
makmur; b. bahwa untuk memberikan jaminan sosial yang menyeluruh, negara
mengembangkan Sistem Jaminan Sosial Nasional bagi seluruh rakyat Indonesia; c.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b,
perlu membentuk Undang-Undang tentang Sistem Jaminan Sosial Tenaga Kerja;
Bangunlah Jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia
Raya. Kita mengenal pepatah, “di dalam
badan yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Untuk memenuhi kesejahteraan nya,
seseorang perlu ditunjang oleh kesehatan fisik dan jiwa.
Berturut-turut tahun 2018 dan 2019 BPJS Kesehatan dirundung
devisit, dan di tahun 2020 terdapat sedikit surplus ditunjang oleh kenaikan
iuran dan keengganan masyarakat datang berobat ke rumah sakit karena ketakutan
akan tertular virus Covid-19. Kenaikan iuran BPJS Kesehatan sesungguhnya hanya
mengikuti kenaikan inflasi, hanya
berpengaruh kecil terhadap kesehatan keuangan BPJS Kesehatan.
Berdasarkan data BPJS yang dipublikasi Desember 2019, capaian
peserta sudah mencapai 83%, 224,1 juta jiwa dari total 269 juta penduduk.
Pemerintah mentarget agar 100% dari penduduk dapat dilindungi oleh program JKN.
Namun ada banyak kendala dalam mencapai universal coverage bagi seluruh rakyat
sesuai amanat UUD 1945 pasal 28 H ayat 3: "Setiap orang berhak atas
jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai
manusia yang bermartabat". Yang diimplementasikan dengan Sistem Jaminan
Sosial Nasional (UU No 40. Tahun 2004) dan Badan Pelaksana Jaminan Sosial (UU
No 24 tahun 2011).
Bahwa Negara Kita telah memilih system Asuransi Sosial
sebagai system untuk perlindungan Kesehatan semesta, dimana seluruh peserta
wajib untuk mengiur secara gotong- royong sesuai dengan Prinsip SJSN. Iuran
tersebut dibagi dalam kategori: 1. Iuran yang dibayarkan oleh Negara: Peserta
Bantuan Iuran (PBI) . 2. Iuran yang dibayarkan oleh Peserta Bukan Penerima Upah
(PBPU) 3. Iuran yang dibayarkan oleh Pemberi Kerja swasta dan Pemerintah. Dari
laporan Keuangan dan operasinal BPJS 2018 dan 2019 didapati bahwa sektor PBPU
adalah penyumbang Devisit terbesar untuk Dana BPJS Kesehatan, dimana kontribusi
iuran yang disetorkan jauh dibawah jumlah klaim bagi peserta PBPU. Iuran BPJS
Kesehatan mengalami beban secara hitungan aktuaria. Hal ini diakibatkan oleh
jumlah pengiur yang baru tercakup sekitar 83% jumlah penduduk. Sekitar 17% lagi
belum tertanggung yang jumlahnya cukup besar.
Sehingga secara aktuaria peserta pengiur menanggung biaya
bagi peserta yang belum tercakup kepesertaan. Seharusnya iuran bisa lebih
ringan dengan manfaat bisa lebih besar bila ada ketaatan dan cakupan yang
semesta. Selain pendapatan dari PBPU, BPJS juga memperoleh iuran dari PBI
kontribusi Pemerintah. Kontribusi pemerintah daerah perlu diintensifkan termasuk
kontribusi dari Cukai Rokok sebagai persentase imbal hasil dari penghasilan
asli daerah dari cukai rokok. Kontribusi dari cukai rokok ini masih sangat
minim dari dana yang seharusnya disetorkan dari daerah.
Bagaimana penanganan masalah keuangan dan pelayanan ini?
Peningkatan
Pembayaran Iuran dari Sektor PBPU Jumlah sektor informal di Indonesia terus
meningkat, seiring informalisasi sektor formal. Hal ini terjadi di berbagai sektor
seperti financial, transportasi, distribusi, jasa marketing, dll. Sektor
informal jenis seperti ini sebenarnya dapat dikategorikan setengah formal.
Karena masih ada hubungan kontrak kerja kemitraan yang legal. Operator juga
dapat dilibatkan dalam pembayaran iuran, apabila pemerintah dapat meregulasi
sector Industri yang termasuk dalam Industri Digital ini (4.0). Para penyedia
kontrak kemitraan seperti transportasi online, online distribusi, online
marketing, dll. dapat dikerjasamakan dalam bentuk MOU atau sejenisnya untuk
mengutipkan pembayaran iuran BPJS Kesehatan. Namun hal ini harus bekerjasama
dengan multi departemen yang merupakan wilayah Kementerian Keuangan dan Kementerian
Ketenagakerjaan. Diperlukan juga
sinkronisasi pendataan karena beberapa dari mereka juga memiliki double atau
triple job yang salah satunya telah tercover oleh BPJS Kesehatan.
Untuk mengcover sector informal yang rentan dan tidak tetap,
dapat dikolaborasikan dengan BPJS Tenaga Kerja yang telah memiliki Perisai
sebagai alat kolektor yang melibatkan pemangku kepentingan. Dengan system ini
peserta BPJS Kesehatan dapat memperoleh manfaat tabungan JHT, Pensiun, Kematian
dan Kecelakaan kerja. Sehingga mereka tidak merasa uang yang disetorkan hangus
bila tidak ada pelayanan Kesehatan selama menjadi peserta. Iuaran
yang dibayarkan oleh Negara dalam bentuk PBI Pemerintah mengkontribusi iuran
BPJS Kesehatan bagi PBI secara berkala sesuai dengan data Terpadu Kesejahteraan
Sosial (DTKS) yang jumlahnya saat ini mencapai 97,3 juta orang. Sebenarnya
kontribusi PBI dan anggaran pemerintah untuk Kesehatan saat ini baru berkisar
5% dari PDB (Pendapatan Domestik Bruto), masih jauh dibawah pembiayaan
Kesehatan negara-negara lain yang berkisar 10% sampai 30% PDB. Sehingga ruang
fiscal negara berbanding negara lain masih renggang untuk pembiayaan Kesehatan
dalam kondisi normal. Kontribusi kenaikan untuk bantuan pemerintah juga
dimungkinkan undang-undang, sehingga pemerintah dapat mencadangkan anggaran
setiap tahunnya kepada BPJS Kesehatan sebagai dana talangan dan elemen
investasi.
Untuk memastikan likuiditas dan pelayanan, BPJS dalam jangka
Panjang perlu memiliki data terintegrasi sendiri, yang dapat bersinergi dengan
data BPJS Ketenagakerjaan. Sehingga tidak tergantung pada data dari Kementerian
Sosial. Karena data BPJS seharusnya lebih focus dan terintegrasi secara
langsung. Hal ini diakibatkan oleh turn over dalam pekerjaan dan angka turn
over yang tinggi bagi pekerja PBPU atau informal. Data tersebut harus
bersinergi dengan data BPJS Ketenagakerjaan. Integrasi data tersebut akan
memungkinkan pelayanan terpadu dan efisiensi pelayanan BPJS di masa depan.
Korea Selatan misalnya memiliki data terintegrasi dalam
system employment insurance nya. Sehingga pendataan berkenaan jaminan sosial
mulai dari system iuran, pendataan keanggotaan, klaim, PHK, pensiun, sampai meninggal
dunia dari setiap peserta dan anggota keluarga dapat terdata dan terintegrasi
dengan cepat. Sehingga klaim dan pencairan anggaran menggunakan system
informasi managemen yang efisien. Pelayanan jaminan yang terintegrasi pendataan
yang sinergi ini akan meningkatkan kepuasan peserta dalam hal pelayanan.
Iuran yang dibayarkan oleh Pemberi Kerja, termasuk
Pemerintah. Tahun 2019, pekerja Formal mencapai 55.272.968 orang, sementara pekerja informal
74.093.224 orang. Sekitar 40 juta pekerja penerima upah menjadi peserta secara
aktif termasuk pekerja yang diiur oleh pemerintah sebagai pemberi kerja. Jumlah
ini adalah jumlah potensi untuk kontribusi Jaminan Sosial karena kolektifitas
iurannya paling tinggi baik dari segi jumlah maupun ketaatan. Pembayar di sektor
formal ini harus dipertahankan dan diadakan pendekatan persuasive dalam rangka
peningkatan jumlah kepesertaan di sektor swasta. Kordinasi dan kolaborasi
dengan Kementerian Ketenagakerjaan sebagai pembina hubungan insdustri dan
pengawasan harus ditingkatkan dalam rangka pengembangan sosial dialog.
Ketegasan penegakan hukum harus dilakukan dengan pendekatan persuasive dan
simulasi. Pelatihan dan sosialisasi dalam rangka penyadaran hukum
ketenagakerjaan dan strategi untuk menang Bersama dan sejahtera bersama bagi
kedua pihak. Aktivitas perlu dilakukan dengan melibatkan kedua belah pihak baik
pengusaha dan buruh. Pendekatan lunak ini akan menimbulkan inisiatif
kedisiplinan berbanding tindakan keras yang justru meningkatkan potensi korupsi
dan fraud.
Tindakan Preventif Bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan,
preventif untuk terjadinya pembengkakan biaya perawatan di fasilitas Kesehatan
lanjutan dapat diminimalisasi. Mengingat rumah sakit rujukan juga tidak semua
memiliki fasilitas yang terintegrasi. Rumah Sakit saat ini sudah lebih mengarah
ke spesifikasi. BPJS sudah memberi kategori A sampai dengan E untuk kategori
rumah sakit, agar peserta dapat memilih rumah sakit sesuai dengan fasilitas
yang ada. Juga BPJS Kesehatan akan menyetop kerjasama dengan rumah sakit yang
dianggap tidak memenuhi standard. Fasilitas dan higienis di faskes tingkat
pertama seperti puskesmas saat ini harus lebih ditingkatkan. Karena faskes
tingkat pertama ini merupakan ujung tombak pelayanan Kesehatan sampai ke
tingkat paling terpencil.
Dengan perbaikan fasilitas di tingkat I ini, rujukan ke
rumah sakit lanjutan bisa berkurang dan dana BPJS Kesehatan dapat dihemat tanpa
mengurangi pelayanan yang ada. Puskesmas juga harus menjadi ujung tombak
informasi masyarakat untuk hidup lebih sehat yang diprakarsai dengan meniru pengembangan informasi berbasis pelayanan
POSYANDU. Hal ini untuk menurunkan tingkat jenis penyakit katastropik yang
terus naik tajam. Dimana penyakit katastropik ini menyedot lebih dari 30%
seluruh anggaran biaya BPJS termasuk operasional. Penyakit ini diakibatkan oleh
kebiasaan konsumsi dan hidup yang tidak sehat seperti merokok, ritme hidup
tidak teratur, konsumsi lemak jenuh, kimia berbahaya dan karbohidrat tinggi.
Presentasi makalah ini saya presentasikan di DPR ketika uji
kelayakan calon DEWA BPJS Kesehatan. Saya fokus pada perbauikan masalah kinerja
keuangan, karena prihatin atas kinerja keuangan yang terus memburuk. Bahkan
dalam dengar pendapat baru-baru ini peimisme Direksi BPJS Kesehatan akan
kesehatan keuangan BPJS masih terus menghantui. Bila ini terus berlanjut tanpa
niat baik untuk melakukan reformasi
sebagian telah saya urai di atas, maka kita sebagai rakyat akan pesimis
BPJS Kesehatan dapat melayani rakyat dengan baik secara berkelanjutan.