konsolidasi buruh

Sabtu, 20 Maret 2021

Mewujudkan Keadilan Sosial melalui Perbaikan Kinerja BPJS Kesehatan

OPINI: EDUARD PARSAULIAN MARPAUNG

Mengingat kembali tujuan deklarasi kemerdekaan Indonesia dengan kutipan pembukaan UUD 1945:

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Dan mengutip pertimbangan dari tujuan Sistem Jaminan Sosial diadakan:

Menimbang : a. bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak dan meningkatkan martabatnya menuju terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur; b. bahwa untuk memberikan jaminan sosial yang menyeluruh, negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial Nasional bagi seluruh rakyat Indonesia; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang-Undang tentang Sistem Jaminan Sosial Tenaga Kerja;

Bangunlah Jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya.  Kita mengenal pepatah, “di dalam badan yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Untuk memenuhi kesejahteraan nya, seseorang perlu ditunjang oleh kesehatan fisik dan jiwa.

Berturut-turut tahun 2018 dan 2019 BPJS Kesehatan dirundung devisit, dan di tahun 2020 terdapat sedikit surplus ditunjang oleh kenaikan iuran dan keengganan masyarakat datang berobat ke rumah sakit karena ketakutan akan tertular virus Covid-19. Kenaikan iuran BPJS Kesehatan sesungguhnya hanya mengikuti  kenaikan inflasi, hanya berpengaruh kecil terhadap kesehatan keuangan BPJS Kesehatan.

Berdasarkan data BPJS yang dipublikasi Desember 2019, capaian peserta sudah mencapai 83%, 224,1 juta jiwa dari total 269 juta penduduk. Pemerintah mentarget agar 100% dari penduduk dapat dilindungi oleh program JKN. Namun ada banyak kendala dalam mencapai universal coverage bagi seluruh rakyat sesuai amanat UUD 1945 pasal 28 H ayat 3: "Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat". Yang diimplementasikan dengan Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU No 40. Tahun 2004) dan Badan Pelaksana Jaminan Sosial (UU No 24 tahun 2011).

Bahwa Negara Kita telah memilih system Asuransi Sosial sebagai system untuk perlindungan Kesehatan semesta, dimana seluruh peserta wajib untuk mengiur secara gotong- royong sesuai dengan Prinsip SJSN. Iuran tersebut dibagi dalam kategori: 1. Iuran yang dibayarkan oleh Negara: Peserta Bantuan Iuran (PBI) . 2. Iuran yang dibayarkan oleh Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) 3. Iuran yang dibayarkan oleh Pemberi Kerja swasta dan Pemerintah. Dari laporan Keuangan dan operasinal BPJS 2018 dan 2019 didapati bahwa sektor PBPU adalah penyumbang Devisit terbesar untuk Dana BPJS Kesehatan, dimana kontribusi iuran yang disetorkan jauh dibawah jumlah klaim bagi peserta PBPU. Iuran BPJS Kesehatan mengalami beban secara hitungan aktuaria. Hal ini diakibatkan oleh jumlah pengiur yang baru tercakup sekitar 83% jumlah penduduk. Sekitar 17% lagi belum tertanggung yang jumlahnya cukup besar.

Sehingga secara aktuaria peserta pengiur menanggung biaya bagi peserta yang belum tercakup kepesertaan. Seharusnya iuran bisa lebih ringan dengan manfaat bisa lebih besar bila ada ketaatan dan cakupan yang semesta. Selain pendapatan dari PBPU, BPJS juga memperoleh iuran dari PBI kontribusi Pemerintah. Kontribusi pemerintah daerah perlu diintensifkan termasuk kontribusi dari Cukai Rokok sebagai persentase imbal hasil dari penghasilan asli daerah dari cukai rokok. Kontribusi dari cukai rokok ini masih sangat minim dari dana yang seharusnya disetorkan dari daerah.

Bagaimana penanganan masalah keuangan dan pelayanan ini?

 Peningkatan Pembayaran Iuran dari Sektor PBPU Jumlah sektor informal di Indonesia terus meningkat, seiring informalisasi sektor formal. Hal ini terjadi di berbagai sektor seperti financial, transportasi, distribusi, jasa marketing, dll. Sektor informal jenis seperti ini sebenarnya dapat dikategorikan setengah formal. Karena masih ada hubungan kontrak kerja kemitraan yang legal. Operator juga dapat dilibatkan dalam pembayaran iuran, apabila pemerintah dapat meregulasi sector Industri yang termasuk dalam Industri Digital ini (4.0). Para penyedia kontrak kemitraan seperti transportasi online, online distribusi, online marketing, dll. dapat dikerjasamakan dalam bentuk MOU atau sejenisnya untuk mengutipkan pembayaran iuran BPJS Kesehatan. Namun hal ini harus bekerjasama dengan multi departemen yang merupakan wilayah Kementerian Keuangan dan Kementerian Ketenagakerjaan.  Diperlukan juga sinkronisasi pendataan karena beberapa dari mereka juga memiliki double atau triple job yang salah satunya telah tercover oleh BPJS Kesehatan.

Untuk mengcover sector informal yang rentan dan tidak tetap, dapat dikolaborasikan dengan BPJS Tenaga Kerja yang telah memiliki Perisai sebagai alat kolektor yang melibatkan pemangku kepentingan. Dengan system ini peserta BPJS Kesehatan dapat memperoleh manfaat tabungan JHT, Pensiun, Kematian dan Kecelakaan kerja. Sehingga mereka tidak merasa uang yang disetorkan hangus bila tidak ada pelayanan Kesehatan selama menjadi peserta.   Iuaran yang dibayarkan oleh Negara dalam bentuk PBI Pemerintah mengkontribusi iuran BPJS Kesehatan bagi PBI secara berkala sesuai dengan data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang jumlahnya saat ini mencapai 97,3 juta orang. Sebenarnya kontribusi PBI dan anggaran pemerintah untuk Kesehatan saat ini baru berkisar 5% dari PDB (Pendapatan Domestik Bruto), masih jauh dibawah pembiayaan Kesehatan negara-negara lain yang berkisar 10% sampai 30% PDB. Sehingga ruang fiscal negara berbanding negara lain masih renggang untuk pembiayaan Kesehatan dalam kondisi normal. Kontribusi kenaikan untuk bantuan pemerintah juga dimungkinkan undang-undang, sehingga pemerintah dapat mencadangkan anggaran setiap tahunnya kepada BPJS Kesehatan sebagai dana talangan dan elemen investasi.

Untuk memastikan likuiditas dan pelayanan, BPJS dalam jangka Panjang perlu memiliki data terintegrasi sendiri, yang dapat bersinergi dengan data BPJS Ketenagakerjaan. Sehingga tidak tergantung pada data dari Kementerian Sosial. Karena data BPJS seharusnya lebih focus dan terintegrasi secara langsung. Hal ini diakibatkan oleh turn over dalam pekerjaan dan angka turn over yang tinggi bagi pekerja PBPU atau informal. Data tersebut harus bersinergi dengan data BPJS Ketenagakerjaan. Integrasi data tersebut akan memungkinkan pelayanan terpadu dan efisiensi pelayanan BPJS di masa depan.

Korea Selatan misalnya memiliki data terintegrasi dalam system employment insurance nya. Sehingga pendataan berkenaan jaminan sosial mulai dari system iuran, pendataan keanggotaan, klaim, PHK, pensiun, sampai meninggal dunia dari setiap peserta dan anggota keluarga dapat terdata dan terintegrasi dengan cepat. Sehingga klaim dan pencairan anggaran menggunakan system informasi managemen yang efisien. Pelayanan jaminan yang terintegrasi pendataan yang sinergi ini akan meningkatkan kepuasan peserta dalam hal pelayanan.

Iuran yang dibayarkan oleh Pemberi Kerja, termasuk Pemerintah. Tahun 2019, pekerja Formal mencapai  55.272.968 orang, sementara pekerja informal 74.093.224 orang. Sekitar 40 juta pekerja penerima upah menjadi peserta secara aktif termasuk pekerja yang diiur oleh pemerintah sebagai pemberi kerja. Jumlah ini adalah jumlah potensi untuk kontribusi Jaminan Sosial karena kolektifitas iurannya paling tinggi baik dari segi jumlah maupun ketaatan. Pembayar di sektor formal ini harus dipertahankan dan diadakan pendekatan persuasive dalam rangka peningkatan jumlah kepesertaan di sektor swasta. Kordinasi dan kolaborasi dengan Kementerian Ketenagakerjaan sebagai pembina hubungan insdustri dan pengawasan harus ditingkatkan dalam rangka pengembangan sosial dialog. Ketegasan penegakan hukum harus dilakukan dengan pendekatan persuasive dan simulasi. Pelatihan dan sosialisasi dalam rangka penyadaran hukum ketenagakerjaan dan strategi untuk menang Bersama dan sejahtera bersama bagi kedua pihak. Aktivitas perlu dilakukan dengan melibatkan kedua belah pihak baik pengusaha dan buruh. Pendekatan lunak ini akan menimbulkan inisiatif kedisiplinan berbanding tindakan keras yang justru meningkatkan potensi korupsi dan fraud.

Tindakan Preventif Bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan, preventif untuk terjadinya pembengkakan biaya perawatan di fasilitas Kesehatan lanjutan dapat diminimalisasi. Mengingat rumah sakit rujukan juga tidak semua memiliki fasilitas yang terintegrasi. Rumah Sakit saat ini sudah lebih mengarah ke spesifikasi. BPJS sudah memberi kategori A sampai dengan E untuk kategori rumah sakit, agar peserta dapat memilih rumah sakit sesuai dengan fasilitas yang ada. Juga BPJS Kesehatan akan menyetop kerjasama dengan rumah sakit yang dianggap tidak memenuhi standard. Fasilitas dan higienis di faskes tingkat pertama seperti puskesmas saat ini harus lebih ditingkatkan. Karena faskes tingkat pertama ini merupakan ujung tombak pelayanan Kesehatan sampai ke tingkat paling terpencil.

Dengan perbaikan fasilitas di tingkat I ini, rujukan ke rumah sakit lanjutan bisa berkurang dan dana BPJS Kesehatan dapat dihemat tanpa mengurangi pelayanan yang ada. Puskesmas juga harus menjadi ujung tombak informasi masyarakat untuk hidup lebih sehat yang diprakarsai dengan meniru  pengembangan informasi berbasis pelayanan POSYANDU. Hal ini untuk menurunkan tingkat jenis penyakit katastropik yang terus naik tajam. Dimana penyakit katastropik ini menyedot lebih dari 30% seluruh anggaran biaya BPJS termasuk operasional. Penyakit ini diakibatkan oleh kebiasaan konsumsi dan hidup yang tidak sehat seperti merokok, ritme hidup tidak teratur, konsumsi lemak jenuh, kimia berbahaya dan karbohidrat tinggi.

Presentasi makalah ini saya presentasikan di DPR ketika uji kelayakan calon DEWA BPJS Kesehatan. Saya fokus pada perbauikan masalah kinerja keuangan, karena prihatin atas kinerja keuangan yang terus memburuk. Bahkan dalam dengar pendapat baru-baru ini peimisme Direksi BPJS Kesehatan akan kesehatan keuangan BPJS masih terus menghantui. Bila ini terus berlanjut tanpa niat baik untuk melakukan reformasi  sebagian telah saya urai di atas, maka kita sebagai rakyat akan pesimis BPJS Kesehatan dapat melayani rakyat dengan baik secara berkelanjutan.

 

Senin, 15 Maret 2021

Serikat Buruh Hadir Setelah Lama Absen

Penulis: Sarah O’Connor

MARCH 9, 2021

Kliping dari:  Financial Times

Diterjemahkan dari bahasa ingris

Di usia 21 tahun, Alfie sudah tahu sedikit tentang kehidupan kerja di anak tangga terbawah perekonomian Inggris. Dia telah bekerja di pabrik sabuk pengaman ("pada dasarnya Anda hanya berada di sana untuk menjaga mesin"), pabrik kertas toilet, dan jaringan kedai kopi populer. Tetapi tidak pernah terpikir olehnya untuk bergabung dengan serikat pekerja sampai pandemi melanda.

 Khawatir tentang kebijakan kafe tentang pengendalian infeksi, cuti dan gaji sakit, dia dan sekelompok staf lain mulai berbagi cerita di Facebook. Mereka membuat petisi di platform digital yang menghubungkan pekerja dan membantu mereka menjalankan kampanye. Sekarang memiliki lebih dari 37.000 tanda tangan. Alfie telah bergabung dengan Bakers, Food and Allied Workers Union, yang membantu kampanye tersebut.

 “Berkat pandemi, saya pikir gagasan serikat pekerja akan bangkit kembali karena begitu banyak orang, terutama kaum muda, telah menyadari betapa rentannya mereka terhadap keinginan majikan mereka,” katanya. "Mereka merasa tidak punya kekuatan apa pun."

 Jika dia benar, itu berarti pembalikan tren yang telah berlangsung lebih dari 30 tahun dan berlangsung di sebagian besar negara maju. Sejak 1985, keanggotaan serikat pekerja rata-rata telah berkurang setengahnya di negara-negara OECD, sementara cakupan perjanjian bersama yang ditandatangani di tingkat nasional, sektor, atau perusahaan telah menurun sepertiga.

 Masih ada variasi yang sangat besar antar negara dalam hal pentingnya dan popularitas serikat (4,7 persen karyawan di Estonia adalah anggota, 93 persen di Islandia). Namun sebagian besar tempat telah mengalami penurunan. Tidak ada tempat yang lebih nyata selain di antara kaum muda. Pada tahun 1995, satu dari lima anak berusia 20 sampai 25 tahun di Inggris menjadi anggota serikat pekerja; sekarang sekitar satu dari 10.

 Sekarang ada beberapa alasan bagi anggota serikat pekerja untuk optimis. Ketika Boris Johnson, perdana menteri Inggris, memberi tahu orang-orang untuk kembali bekerja setelah penguncian pertama, situs web yang membantu orang-orang menemukan serikat pekerja untuk bergabung memiliki lebih banyak hit daripada sebelumnya. Organize, platform kampanye pekerja, memiliki kurang dari 100.000 anggota kali ini tahun lalu; sekarang memiliki lebih dari 1juta.

 Di gudang Amazon di Alabama, sementara itu, hampir 6.000 pekerja memberikan suara bulan ini apakah akan berserikat. Dorongan untuk penggerak serikat bukan tentang gaji dan lebih banyak tentang cara pekerja digerakkan oleh robot dan dipantau oleh algoritme. Ini adalah pertarungan total bagi serikat pekerja AS yang terkepung, yang ingin menunjukkan bahwa mereka memiliki peran dalam ekonomi abad ke-21.

 Politik juga telah bergeser di beberapa negara. Joe Biden, presiden AS, telah memperingatkan Amazon untuk tidak mengintimidasi pekerja di Alabama, dan telah mengarahkan institusi seperti Dewan Hubungan Perburuhan Nasional ke arah yang lebih pro-serikat. Selandia Baru, yang menderegulasi dan menghapus serikat pekerja pada tahun 1990-an, sekarang merencanakan sebuah sistem di mana pekerja dan pemberi kerja akan melakukan tawar-menawar untuk memberi dasar pada upah dan kondisi di sektor atau pekerjaan tertentu.
 

Ini mencerminkan perubahan diam-diam dalam ortodoksi ekonomi. Seperti yang dikatakan Alan Manning, profesor ekonomi di London School of Economics: "Sangat populer di kalangan ekonom muda sekarang untuk berpikir bahwa keseimbangan kekuatan antara tenaga kerja dan modal telah berjalan terlalu jauh." OECD, yang bukan sarang sosialisme, berpendapat bahwa perundingan bersama “harus dimobilisasi untuk membantu pekerja dan perusahaan menghadapi transisi dan memastikan masa depan kerja yang inklusif dan sejahtera”. Organisasi tersebut beralasan bahwa meskipun penting, undang-undang dan peraturan tidak responsif seperti hubungan industrial yang baik, terutama yang berkaitan dengan penerapan otomatisasi atau pengawasan elektronik.
 
Pertanyaannya adalah apakah serikat itu sendiri cocok untuk masa depan. Beberapa telah beradaptasi dengan baik dengan perubahan kebutuhan pekerja. IG Metall Jerman, misalnya, telah membuka diri untuk wiraswasta dan berkolaborasi dengan serikat pekerja kerah putih Swedia, Unionen, untuk membantu pekerja di platform "kerumunan pekerja". Tetapi yang lain terjebak di masa lalu, didominasi oleh struktur dan budaya kerja dari tahun 1970-an yang membuat mereka tidak memiliki dasar yang tinggi untuk mengkritik pengusaha sektor swasta.
GMB, salah satu serikat pekerja besar Inggris, menugaskan penyelidikan oleh seorang pengacara tahun lalu atas tuduhan pelecehan seksual. Laporan itu mengatakan "intimidasi, kebencian terhadap wanita, kronisme, dan pelecehan seksual adalah endemik" di serikat pekerja, yang dijalankan seperti serangkaian "wilayah kekuasaan". GMB, yang mempublikasikan investigasi secara lengkap, mengatakan akan “menghadapi dan mengatasi” masalah tersebut.
 
Platform seperti Organize dan start-up union baru seperti Independent Workers Union of Great Britain, yang tidak terbebani oleh struktur lama, telah menemukan cara untuk menjangkau orang-orang yang sulit direkrut oleh serikat tradisional, seperti pengendara Deliveroo dan pekerja pertunjukan lainnya. IWGB telah memenangkan beberapa kemenangan hukum yang besar, tetapi pekerjaannya sehari-hari melibatkan membantu pekerja aplikasi dengan masalah praktis seperti dinonaktifkan tanpa penjelasan. Sementara beberapa serikat tradisional berusaha untuk berkolaborasi dan belajar dari para pendatang baru ini, yang lain memperlakukan mereka dengan kecurigaan atau penyangkalan. “Kami hanya akan dimakan seperti Netflix memakan Blockbuster jika kami tidak menghentikannya,” kata seorang anggota serikat buruh.
 
Pandemi tersebut telah mendorong para pekerja seperti Alfie untuk bersuara dan melihat-lihat. Ini berarti bahwa serikat pekerja memiliki kesempatan terbaik dalam beberapa dekade untuk memperbarui diri dan posisinya dalam perekonomian. Apakah mereka merebutnya atau tidak, itu terserah mereka.
 
sarah.oconnor@ft.com

 

Rabu, 10 Maret 2021

Serikat Buruh "ANAK HARAM" Reformasi?

Opini:

Eduard Parsaulian Marpaung

Sejak Reformasi tahun 1998, Keberadaan Serikat Pekerja/Serikat Buruh di Indonesia mulai berkembang. Reformasi telah mengakibatkan terbukanya kesempatan untuk semua orang untuk berorganisasi secara bebas sesuai konstitisi.

Pada tahun 2000, keluarlah perundangan untuk menjamin kebebasan berserikat dengan UU 21 tahun 2000. Ketentuan tentang pencatatan SP/SB.

Namun ketentuan kebebasan berserikat ini, tidak diikuti oleh perlindungan hukum. Karena status pencatatan tersebut ternyata bisa digugat di hak cipta dan HAKI, padahal sudah ada UU no 21 tahun 2000 leks specialis yang mengatur ketentuan berkenaan logo dan nama SP/SB secara detail. Bahkan SP SB yang telah terlebih dahulu mencatatkan organisasinya berikut lambang dan logonya bisa dikalahkan oleh Mahkamah Agung dengan menggunakan Hak Cipta. Seharusnya ini dipertimbangkan dalam UU Hak Cipta dan atau  Hak Merk. 

Begitupun Badan Hukum Pencatatan SP/SB ternyata bukan dianggap organisasi berbadan hukum. Karena untuk membuka rekening organisasi, melakukan transaksi jual beli, dll. harus ditambahkan pencatatan dan status badan hukum ORMAS berbadan hukum. Padahal jelas sekali UU 21 tahun 2000 leks specialis mengatur detail tentang keberadaan badan hukum SP/SB. Seharusnya Kemenaker RI membuat aturan turunan yang jelas untuk kedua produk hukum terkait keberadaan status hukum SP/SB yang tak butuh lagi registrasi, atau terkoneksi langsung ke Hak Cipta terkait Hak Paten logo dan nama Serikat Buruh. Juga regulasi berkenaan Badan Hukum Serikat Buruh yang tak perlu double registrasi lagi sebagai Ormas, dan seharusnya otomatis tercatat di Kemenkum HAM sebagai organisasi berbadan hukum Serikat Pekerja Serikat Buruh. Harus ada reformasi UU Ketenagakerjaan yang bisa mensinkronisasi atau penegasan atas keberadaan Badan Hukum SP/SB. Karena bila tidak Kemenaker RI bisa jadi bulan-bulanan laporan terhadap kebebasan berserikat, bukan karena kesalahannya tapi kesalahan System yang tak ramah SP/SB.

Dengan ketidak jelasan badan hukum tersebut, SP/SB sebenarnya keberadaannya masih tidak jelas. Wajar saja beberapa perannya didegradasi di Bipartit dan Tripartit. SP SB sebenarnya bisa melakukan report ke ILO terkait keberadaan kelembagaan ini. Apalagi ada bukti bahwa SP/SB ternyata bisa digugat keberadaan hukumnya menggunakan UU lain yang dianggap lebih memiliki kekuatan hukum mengikat. Ini terjadi kepada KSBSI (Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia) yang bisa digugat keberadaannya dengan menggunakan Hak Cipta, dan UU Keormasan.

Ini hanya sekelumit analogi "anak haram" dari segi hukum.

Dari segi ekonomi, sejak reformasi. Cuma Menaker Hanif Dakhiri yang memahami keberadaan SP/SB tentang peran ekonomi dan keharusan kontribusi sustainabiliti dari pemerintah. Walaupun masih belum memungkinkan untuk diimplementasikan. Sebelum berakhir masa jabatannya Hanif Dakhiri penah berjanji untuk mengukuhkan kontribusi pemerintah dalam rangka sustainability keuangan dan program SP/SB dengan mengkombinasi system check off iuran anggota yang diadopsi oleh pemerintah melalui system perpajakan modern. Walau belum dijelaskan langkah konkritnya.

Di system kita ada system verifikasi keanggotan SP/SB, namun system ini hanya mengadopsi system keterwakilan dalam media komunikasi tripartit. Bahkan perannya sekarang untuk penentuan upah sudah direduksi. System Tripartit ini hanya formalitas legitimasi untuk kebijakan pemerintah dan alat sosialisasi kekuasaan. Tidak ada system demokrasi dalam Tripartit yang sekarang. Apalagi Demokrasi Ekonomi. Seharusnya system keterwakilan tersebut ditindaklanjuti oleh peran pemerintah untuk mendistribusikan peran dan keterlibatan SP/SB dalam jangkawan untuk meningkatkan kapasitas SP/SB dalam hal sustainability keuangan, Sosial dialog, pengorganisasian, PKB, GBV dan hak buruh perempaun dan pemuda di tempat kerja, perlindungan pekerjaan rentan, adaptasi industri digital dan just transisi, dll. Pemerintah hanya memandang bahwa bidang kerja di atas adalah bidang kerja Kementerian Tenaga Kerja. Pemerintah tidak memandang bahwa SP/SB adalah mitra sejajar dalam system kenegaraan yang paling berwenang untuk melaksanakan program tersebut dalam bentuk sosial dialog, pembangunan kapasitas, kampanye penyadaran, advokasi, dll. Kalau dalam RAPBN ada anggaran untuk berbagai instansi dan kelembagaan kemasyarakatan, tak ada untuk SP/SB. Seharusnya dengan kondisi ini SP/SB wajib memiliki Partai Politik sendiri.

Bagi serikat buruh global seperti  KSBSI (Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia dan KSPI (Konfederasi Serikat Pekerja  Indonesia), mereka bisa mendapatkan bantuan kegiatan dari Internasional melalui mekanisme Tripartit Global ILO. Dimana Indonesia juga adalah anggota yang mengiur. Dengan mekanisme tersebut SP/SB seperti KSBSI dan KSPI dapat mengakses anggaran global untuk sustainability aktivitas tersebut diatas melalui proposal program tahunan. Tapi ketika terjadi asesment tahunan, betapa malunya karena peran Negara sendiri untuk mendistribusikan keadilan pajak untuk aktivitas kerja SP/SB hanya Nol %. SP/SB adalah "anak haram" reformasi yang tak pernah diakui sampai lebih dari 22 tahun. Berganti Presiden, Kelakuan tetap sama, tak satupun partai yang paham masalah atau pura-pura tak paham. 

Begitupun peran pengusaha. Dalam prinsip complience perusahaan. Check kinerja pengusaha untuk Pekerjaan Layak adalah wajib. Sehingga keberadaan lembaga bipartit, SP/SB sebagai mitra, P2K3, dan PKB di perusahaan adalah wajib. Namun tak ada PKB untuk Nasional, baik sektoral maupun multi sektoral. Juga PKB regional bila diperlukan. PKB jenis ini juga diharamkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan, padahal ada di UU Ketenagakerjaan. Sehingga perusahaan yang satu group, atau perusahaan yang sejenis sulit untuk bernegoisasi efektif dengan SP/SB yang bersifat sektoral, regional atau nasional. Seharusnya Kementerian Ketenagakerjaan mengadopsi hal ini dalam rangka efektifitas sosial dialog.

Pemerintah hanya bisa ngomel dan cerewet ketika SP/SB selalu mogok dan demo massal mengajukan tuntutan. Ibarat anak di rumah, mak cuma bisa cerewet karena anaknya bodoh, mak cuma cerewet karena anaknya malas pergi ke sekolah. Padahal kemalasan pergi ke sekolah karena sepatu sudah diikat dengan tali rapiah, anak malas belajar di sekolah karena mengantuk kurang gizi.

Mak... terlanjur menstreotif SP/SB sebagai "anak haram" reformasi. Karena sesungguhnya tak ada anak yang haram, orang tualah yang berbuat dosa.