konsolidasi buruh

Selasa, 13 Oktober 2020

Alasan penolakan UU OMNIBUS LAW khusus kluster ketenagakerjaan:

Oleh: Eduard P. Marpaung

Saya sengaja membuat judul UU OMNIBUS LAW. Karena naskah UU Cipta Kerja sampai saat ini tidak  dipublikasikan secara terbuka. Naskah yang dikritisi ini adalah naskah yang berjumlah 905 halaman, yang menurut beberapa pihak tidak  banyak revisi kecuali merapikan saja.

Ini perlu dilakukan  sebagai upaya counter atas statement yang mengatakan bahwa demo dilakukan berdasarkan HOAKS.

Ada beberapa kritik atas UU ini diataranya:

1.       UU ini mengurangi atau mendegradasi hak-hak buruh yang sudah ada di UU No. 13/2003

2.       UU ini butuh banyak sekali interpretasi dalam bentuk turunan Peraturan Pemerintah yang sebelumnya sudah diatur dengan jelas oleh UU No. 13/2003. Sehingga UU ini menimbulkan interpretasi beragam dari masyarakat atas pasal-pasal yang belum jelas dan kabur.

3.        UU  ini banyak sekali menghilangkan hak Serikat Buruh, baik di Bipartit untuk merundingkan upah oleh Serikat Buruh maupun di Tripartit sebagai Dewan yang berhak dan memiliki suara. Sebagai anggota Dewan Tripartit Serikat buruh hanya dijadikan boneka oleh Pemerintah. Tidak sebagai mitra yang sejajar untuk mengkonsultasi dan mendialogkan kebijakan ketenagakerjaan khususnya Pengupahan.

4.     Banyak sekali  hak-hak buruh yang didegradasi dengan sangat terbuka yang membuat UU Omnibus Law ini patut ditolak.

5.     UU ini sangat sentralis, hanya mementingkan investor  dan otoriter. Sangat bertentangan dengan semangat reformasi.

6.   Berikut kami jelaskan pasal-pasal yang kontroversial dan mendegradasi hak buruh yang telah ada diatur sebelumnya di dalam UU 13/2003:

DEGRADASI OMNIBUS LAW TERHADAP UU 13 / 2003



No.

UU Cipta Kerja

UU 13/2003

Degradasi

Catatan

1

Pasal 89 Omnibus Law, mengubah pasal 156 ayat 1 UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan

Degradasi dari pasal 156 ayat 1 UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan:

 

Uang pesangon diturunkan nilainya dari maksimal 32 bulan gaji  menjadi 25 bulan gaji. 25 bulan gaji juga hanya 19 bulan dibayarkan kepada buruh. Sedangkan yang 6 bulan akan disetorkan ke BPJS dalam bentuk premi bulanan dari gaji buruh yang besarnya akan  dihitungkan berdasarkan penghitungan aktuaria/bulan. Artinya setoran untuk jaminan kehilangan pekerjaan sesuai asuransi sosial BPJS akan ditanggung 100% oleh buruh, bukan merupakan tanggungan pengusaha.

1. Terjadi pengurangan nilai pesangon buruh dari maksimal 35 bulan gaji menjadi  19 bulan gaji dan dibebankan lagi buruh untuk membayar premi Jaminan Sosial BPJS sekitar prakiraan 2% dari gaji per bulan.

 

2. Omnibus Law hanya mengatur maksimal pesangon. Sesuai Pasal 156 ayat 2: Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak sesuai ketentuan sebagai berikut:…..  

Tidak ada batasan minimum, sehingga tidak ada sanksi bila membayar pesangon dibawah ketentuan.

 

3. Bahwa Pesangon buruh prinsipnya adalah ptongan upah yang ditabungkan. Ini dibuktikan oleh para pengusaha yang menabungkan pesangon buruh di DPLK dengan rata-rata potongan upah 8%/bulan. Ketika UU Omnibus Law ini diundangkan, maka buruh akan kehilangan nilai tabungannya pada masa lampau. UU ini tidak menjelaskan  penggantian upah/premi   yang dipotongkan  masa lampau. Artinya UU ini telah merampok hak masa lalu buruh atas pesangonnya.  Uang itu otomatis menjadi  keuntungan pengusaha dan DPLK sebagai penagih premi bulanan.

Uang Pesangon tetap ada?

 

Ya, tapi nilainnya turun dan tidak ada sanksi bila memberikan kompensasi atau remedy  sesuka hati.

 

Selain itu, upah buruh berpotensi akan dipotongkan lagi untuk kontribusi BPJS untuk program Jaminan kehilangan pekerjaan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

2.

Penambahan Pasal 151 A Omnibus Law

 

Menghilangkan fungsi Pengawasan Serikat Buruh di Perusahaan terkait:

Kontrak yang tidak sah, pengunduran diri yang tidak sah dan dalam tekanan, pemberian tunjangan kompensasi PHK karena pensiun dan meninggal dunia.

 

Menghapus pasal 166 UU No. 13 2003 (Kompensasi pesangon atas buruh meninggal dunia), pasal  167 (Menghapus Kompensasi pesangon karena usia pensiun)

Mengubah Pasal 151 UU No. 13 2003.

Mewajibkan bagi semua pihak untuk menghindari PHK dalam bentuk apapun.

 

Diskriminasi terhadap buruh yang meninggal dunia dan karena pensiun.  Mereka tidak lagi diperhitungkan jasanya di perusahaan. Kompensasi PHK nya tidak lagi diatur UU dan dihapuskan. Diberikan kepada pihak-pihak untuk mendiskusikan didalam perjanjian Kerja dan PKB. Buruh yang telah lama bekerja di perusahaan akan cenderung tidak produktif dan mencari kesalahan agar dapat di PHK sebelum usia pensiun.

 

 

 

Agar tidak terjadi diskriminasi dalam hal pesangon, dan buruh produktif, sebaiknya Pemerintah Membuat Peraturan Perundangan untuk mewajibkan Pengusaha menabungkan kewajiban pesangon masa lalu dan akan datang ke DPLK. Sehingga pengusaha  dan buruh akan cenderung memberi  kontribusi positif dalam hubungan kerja.

2

 

 

 

 

 

 

Pasal 88B UU Omnibus Law.

Pasal (1) Upah ditetapkan berdasarkan:

a. Satuan waktu; dan atau

b. Satuan Hasil.

Ketentuan berkenaan pasal  (1) tersebut akan diatur melalui PP

 

 

Pasal 88 B UU/13/2003

Ketentuan penetapan upah berdasarkan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi dihapus.

 

 

Tidak ada kepastian formulasi penetapan upah upah sampai ada PP. Hal ini menimbulkan ketidakpastian system penetapan upah pasca UU ini ditandatangani dan sah.

Upah bisa  dipotong setiap bulan, hanya berdasar hasil kerja atau jam kerja buruh.

 

 

 

3.

Pasal 88C Omnibus Law

Bupati dan Walikota tidak lagi memiliki wewenang menentukan UMK. Penetapan Upah Minimum ditentukan oleh Gubernur di tingkat Provinsi. Gubernur juga dapat menentukan Upah Minimum di Kabupaten Kota dengan syarat tertentu.

Tidak ada penjelasan dasar  pencapaian hidup layak komponen Upah Layak sesuai dengan Ketentuan Pasal 27 ayat (2)  UUD 1945.

Adanya kecenderungan standar Kebutuhan Hidup Layak akan diserahkan ke Badan Statistik yang ditentukan Pemerintah sesuai Pasal 90B.

 

Kewenangan Tripartit Dewan Pengupahan sebagai Perumus sudah tidak ada lagi.

Tripartit sudah tidak berguna sebagai Lembagai Sosial dialog sesuai Konvensi ILO 144.

 

Upah Minimum Sektoral  dihapus.

 

Pasal 88 dan 89, 98, UU 13/2003

 

Dihapus.

Upah Minimum direkomendasikan oleh Bupati dan Walikota.

Adanya tahapan pencapaian Kebutuhan hidup layak  (KHL) dengan rinci.

 

Kewenangan Tripartit Dewan Pengupahan sebagai Perumus.

 

Tripartit sangat berfungsi untuk menentukan Komponen KHL dan tim Perumus sesuai Konvensi ILO 144 sebagai Tripartit yang setara.

 

 

 

 

 

 

Dengan ketentuan ini, akan terjadi penurunan nilai upah setiap tahun bagi buruh yang upahnya sudah ditetapkan sesuai standard Kabupaten Kota di daerah tertentu tinggi.  Sementara bagi Kabupaten Kota yang minus, akan terjadi kenaikan upah yang tinggi.

 

Mengacu pada pasal 90B, maka tidak ada lagi fungsi Dewan Pengupahan sebagai Lembaga Tripartit yang akan melakukan penelitian dan negoisasi  Tripartit tentang KHL.

 

Sesuai pasal 88 (3) Pemerintah pusat menetapkan kebijakan pengupahan terkait: Upah Minimum, Struktur skala upah, upah kerja lembur, upah tidak masuk kerja atau karena alasan tertentu, bentuk dan cara pembayaran upah, hal-hal yang diperhitungkan dengan upah, upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya.

 

Serikat buruh tugasnya hanya sebagai penasehat pemerintah dalam hal pengupahan. Sesuai pasal 98 Omnibus Law.

 

Dengan pengeluaran Konsumsi rata-rata di masyarakat, akan terjadi degradasi KHL yang sudah ada saat ini. Karena BPS hanya menghitung berdasarkan konsumsi pangan saja.

Akan terjadi gejolak  konflik pengupaan di daerah.  Daerah yang minus infrastruktur akan terus tertinggal.

 

Ketentuan Tripartit Dewan Pengupahan hanya sebagai pemberi saran dan bukan merupakan perumus, melanggar Konvensi ILO 144. Dalam Mekanisme Tripartit, setiap pihak memiliki hak dan suara masing-masing. Tidak ada yang superioritas. Bahkan dapat dilakukan mekanisme Voting. Tidak sekedar memberi saran dan Pemerintah mengabaikan suara SP/SB.

4.

Pasal 90B Omnibus Law

Penetapan Upah menjadi diskriminatif. Di UU ini dijelaskan bahwa Upah di usaha Kecil dan Mikro mengacu pada persentase tertentu rata-rata konsumsi masyarakat dari lembaga yang berwenang dibidang statistik. Lebih detail daripada Ketentuan standard  kebutuhan  hidup  layak bagi pekerja di usaha menengah dan besar.

Semoga tidak ada diskriminasi upah

 

Tidak ada di UU 13/2003

Satu standar pengupahan dan non diskriminatif kepada masyarakat.

Pemerintah akan kesulitan membuat klausul terpisah dari Upah Minimum di tingkat Regional. Karena Negara tidak boleh diskriminatif dalam membuat kebijakan kepada masyarakat.

Usaha saat ini justru semakin mengecil dalam rantai pasok. Perusahaan induk semakin meminimalisir Core Bisnisnya. Usaha-usaha kecil dengan omset  besar juga semakin menjamur. Seperti bisnis influencer, Youtober, Distribusi on line, Marketing on line, dll. Negara justu harus melindungi dengan tidak mendiskriminasi para pekerja/buruh di sektor ini.

UU yang lama lebih efisien dan efektif. Karena turunan PP untuk penjelasan diskriminasi upah akan menyulitkan.

5.

 Pasal 90 A Omnibus Law

Hanya mengatur ketentuan upah diatas upah minimum untuk dirundingkan antara pengusaha dan pekerja/buruh di perusahaan

Pasal 89 dan 90 /UU No. 13/2003 Dihapus.

Serikat Pekerja Serikat Buruh baik di tingkat perusahaan maupun di tingkat Regional, hanya memiliki hak untuk menegoisasikan upah sesuai dengan UMP dan UMK dengan persyaratan khusus yang ditentukan Gubernur. Sementara Upah di atas minimum hanya dinegoisasikan oleh Buruh/pekerja bersama dengan pengusaha di perusahaan.

Mengkebiri hak Serikat Buruh untuk menegoisasikan upah.

(Pasal 88 A UU Omnibus Law, dan Pasal 90 A Omnibus Law)

6.

Pasal 59 Omnibus Law

Menghapus syarat-syarat yang ketat untuk PKWT. Diantaranya:

Menghapus pasal (1) dan Pasal  (4) yang mensyaratkan waktu paling lam 2 tahun dan hanya dapat diperpanjang 1 tahun.

 

Merubah Pasal 59 UU No 13/2003

Menerapkan syarat yang ketat untuk jangka waktu paling lama 3 tahun untuk penggunaan PKWT.

Persyaratan lebih lanjut diatur melalui PP

Hal ini dapat mengakibatkan perdebatan dan konflik. Padahal UU 13/2003 telah mengatur dengan rinci.

7

Pasal 66 Omnibus Law

Menghilangkan tanggung jawab Perusahaan Pemberi Pekerjaan.

 

Tidak membatasi kluster pekerjaan yang dapat dialihdayakan.

Pasal 66 UU No. 13/2003

Bila persyaratan berkenaan  dengan alih daya tidak terpenuhi, maka hubungan kerja antara Buruh dan pengusaha alih daya beralih  menjadi hubungan kerja antara buruh dan  pemberi pekerjaan.

 

Membatasi kluster yang dapat dialih daya:

Cleaning Service, Security, Catering, Usaha Penunjang Pertambangan dan Perminyakan, dan angkutan karyawan.

Tidak ada prinsip Remedy atau tanggung jawab atas hubungan kerja yang telah dilakukan, kendati ada pelanggaran hukum atau pelanggaran ketentuan alih daya.

 

Memperluas Outsoursing ke semua sektor pekerjaan.

Pemerintah membiarkan Mafia tenaga kerja  bekerja tanpa tanggung jawab.

 

Akan bertambah pekerjaan buruh dengan kontrak pendek. Hal ini akan menurunkan kualitas produktivitas dan kesejahteraan buruh Indonesia.

8

Pasal 79 Omnibus Law

Menghapuskan pasal tentang cuti panjang, setelh bekerja  6 tahun.

Pasal 79, UU No. 13/2003

Cuti Panjang diatur selama 1 bulan.

Penghargaan kemanusiaan harus diapresiasi.

Memandang buruh hanya sebagai factor produksi.

 

 

 

 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar