Blog ini sebelumnya adalah blok komunikasi Sekjen KSBSI Eduard P. Marpaung (Eduard Parsaulian Marpaung) untuk sosialisasi topik2 internal dan perburuhan kepada anggota. Sepenuhnya menjadi tanggungjawab mandat organisasi. Sejak Juli 2019 Blok ini menjadi blok untuk Politik Perburuhan Indonesia. Mengulas kondisi perburuhan dan politik perburuhan. Juga keterkaitannya dengan Ekonomi, Politik, Hukum dan HAM, Sosial Budaya dan Pertahanan. Blok ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab pribadi penulis.
konsolidasi buruh
Rabu, 28 Oktober 2020
Kebijakan Tidak Naikkan Upah Menyengsarakan Buruh
Selasa, 13 Oktober 2020
Alasan penolakan UU OMNIBUS LAW khusus kluster ketenagakerjaan:
Oleh: Eduard P. Marpaung
Saya sengaja membuat judul UU OMNIBUS LAW. Karena naskah UU Cipta Kerja sampai saat ini tidak dipublikasikan secara terbuka. Naskah yang dikritisi ini adalah naskah yang berjumlah 905 halaman, yang menurut beberapa pihak tidak banyak revisi kecuali merapikan saja.
Ini perlu dilakukan sebagai upaya counter atas statement yang
mengatakan bahwa demo dilakukan berdasarkan HOAKS.
Ada beberapa kritik atas UU ini
diataranya:
1. UU
ini mengurangi atau mendegradasi hak-hak buruh yang sudah ada di UU No. 13/2003
2. UU
ini butuh banyak sekali interpretasi dalam bentuk turunan Peraturan Pemerintah
yang sebelumnya sudah diatur dengan jelas oleh UU No. 13/2003. Sehingga UU ini
menimbulkan interpretasi beragam dari masyarakat atas pasal-pasal yang belum
jelas dan kabur.
3. UU ini
banyak sekali menghilangkan hak Serikat Buruh, baik di Bipartit untuk
merundingkan upah oleh Serikat Buruh maupun di Tripartit sebagai Dewan yang
berhak dan memiliki suara. Sebagai anggota Dewan Tripartit Serikat buruh hanya
dijadikan boneka oleh Pemerintah. Tidak sebagai mitra yang sejajar untuk
mengkonsultasi dan mendialogkan kebijakan ketenagakerjaan khususnya Pengupahan.
4. Banyak sekali hak-hak buruh yang didegradasi dengan sangat
terbuka yang membuat UU Omnibus Law ini patut ditolak.
5. UU ini sangat sentralis,
hanya mementingkan investor dan otoriter.
Sangat bertentangan dengan semangat reformasi.
6. Berikut kami jelaskan
pasal-pasal yang kontroversial dan mendegradasi hak buruh yang telah ada diatur
sebelumnya di dalam UU 13/2003:
DEGRADASI OMNIBUS LAW TERHADAP UU 13 / 2003
No. |
UU Cipta Kerja |
UU 13/2003 |
Degradasi |
Catatan |
1 |
Pasal 89 Omnibus Law, mengubah pasal
156 ayat 1 UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan |
Degradasi dari pasal 156 ayat 1 UU
13/2003 tentang Ketenagakerjaan: Uang pesangon diturunkan nilainya dari
maksimal 32 bulan gaji menjadi 25
bulan gaji. 25 bulan gaji juga hanya 19 bulan dibayarkan kepada buruh.
Sedangkan yang 6 bulan akan disetorkan ke BPJS dalam bentuk premi bulanan
dari gaji buruh yang besarnya akan dihitungkan berdasarkan penghitungan
aktuaria/bulan. Artinya setoran untuk jaminan kehilangan pekerjaan sesuai
asuransi sosial BPJS akan ditanggung 100% oleh buruh, bukan merupakan
tanggungan pengusaha. |
1. Terjadi pengurangan nilai pesangon
buruh dari maksimal 35 bulan gaji menjadi 19 bulan gaji dan dibebankan lagi buruh
untuk membayar premi Jaminan Sosial BPJS sekitar prakiraan 2% dari gaji per
bulan. 2. Omnibus Law hanya mengatur maksimal
pesangon. Sesuai Pasal 156 ayat 2: Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberikan paling banyak sesuai ketentuan sebagai berikut:….. Tidak ada batasan minimum, sehingga
tidak ada sanksi bila membayar pesangon dibawah ketentuan. 3. Bahwa Pesangon buruh prinsipnya
adalah ptongan upah yang ditabungkan. Ini dibuktikan oleh para pengusaha yang
menabungkan pesangon buruh di DPLK dengan rata-rata potongan upah 8%/bulan.
Ketika UU Omnibus Law ini diundangkan, maka buruh akan kehilangan nilai
tabungannya pada masa lampau. UU ini tidak menjelaskan penggantian upah/premi yang
dipotongkan masa lampau. Artinya UU
ini telah merampok hak masa lalu buruh atas pesangonnya. Uang itu otomatis menjadi keuntungan pengusaha dan DPLK sebagai
penagih premi bulanan. |
Uang Pesangon tetap ada? Ya, tapi nilainnya turun dan tidak ada
sanksi bila memberikan kompensasi atau remedy
sesuka hati. Selain itu, upah buruh berpotensi akan
dipotongkan lagi untuk kontribusi BPJS untuk program Jaminan kehilangan
pekerjaan. |
2. |
Penambahan Pasal 151 A Omnibus Law Menghilangkan fungsi Pengawasan
Serikat Buruh di Perusahaan terkait: Kontrak yang tidak sah, pengunduran
diri yang tidak sah dan dalam tekanan, pemberian tunjangan kompensasi PHK
karena pensiun dan meninggal dunia. Menghapus pasal 166 UU No. 13 2003
(Kompensasi pesangon atas buruh meninggal dunia), pasal 167 (Menghapus Kompensasi pesangon karena
usia pensiun) |
Mengubah Pasal 151 UU No. 13 2003. Mewajibkan bagi semua pihak untuk
menghindari PHK dalam bentuk apapun. |
Diskriminasi terhadap buruh yang
meninggal dunia dan karena pensiun. Mereka tidak lagi diperhitungkan jasanya di
perusahaan. Kompensasi PHK nya tidak lagi diatur UU dan dihapuskan. Diberikan
kepada pihak-pihak untuk mendiskusikan didalam perjanjian Kerja dan PKB.
Buruh yang telah lama bekerja di perusahaan akan cenderung tidak produktif
dan mencari kesalahan agar dapat di PHK sebelum usia pensiun. |
Agar tidak terjadi diskriminasi dalam
hal pesangon, dan buruh produktif, sebaiknya Pemerintah Membuat Peraturan
Perundangan untuk mewajibkan Pengusaha menabungkan kewajiban pesangon masa
lalu dan akan datang ke DPLK. Sehingga pengusaha dan buruh akan cenderung memberi kontribusi positif dalam hubungan kerja. |
2 |
Pasal 88B UU Omnibus Law. Pasal (1) Upah ditetapkan berdasarkan:
a. Satuan waktu; dan atau b. Satuan Hasil. Ketentuan berkenaan pasal (1) tersebut akan diatur melalui PP |
Pasal 88 B UU/13/2003 Ketentuan penetapan upah berdasarkan
golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi dihapus. |
Tidak ada kepastian formulasi penetapan
upah upah sampai ada PP. Hal ini menimbulkan ketidakpastian system penetapan
upah pasca UU ini ditandatangani dan sah. |
Upah bisa dipotong setiap bulan, hanya berdasar hasil
kerja atau jam kerja buruh. |
3. |
Pasal 88C Omnibus Law Bupati dan Walikota tidak lagi
memiliki wewenang menentukan UMK. Penetapan Upah Minimum ditentukan oleh Gubernur
di tingkat Provinsi. Gubernur juga dapat menentukan Upah Minimum di Kabupaten
Kota dengan syarat tertentu. Tidak ada penjelasan dasar pencapaian hidup layak komponen Upah Layak
sesuai dengan Ketentuan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945. Adanya kecenderungan standar Kebutuhan
Hidup Layak akan diserahkan ke Badan Statistik yang ditentukan Pemerintah
sesuai Pasal 90B. Kewenangan Tripartit Dewan Pengupahan
sebagai Perumus sudah tidak ada lagi. Tripartit sudah tidak berguna sebagai
Lembagai Sosial dialog sesuai Konvensi ILO 144. Upah Minimum Sektoral dihapus. |
Pasal 88 dan 89, 98, UU 13/2003 Dihapus. Upah Minimum direkomendasikan oleh
Bupati dan Walikota. Adanya tahapan pencapaian Kebutuhan hidup
layak (KHL) dengan rinci. Kewenangan Tripartit Dewan Pengupahan
sebagai Perumus. Tripartit sangat berfungsi untuk
menentukan Komponen KHL dan tim Perumus sesuai Konvensi ILO 144 sebagai
Tripartit yang setara. |
Dengan ketentuan ini, akan terjadi
penurunan nilai upah setiap tahun bagi buruh yang upahnya sudah ditetapkan
sesuai standard Kabupaten Kota di daerah tertentu tinggi. Sementara bagi Kabupaten Kota yang minus,
akan terjadi kenaikan upah yang tinggi. Mengacu pada pasal 90B, maka tidak ada
lagi fungsi Dewan Pengupahan sebagai Lembaga Tripartit yang akan melakukan
penelitian dan negoisasi Tripartit
tentang KHL. Sesuai pasal 88 (3) Pemerintah pusat
menetapkan kebijakan pengupahan terkait: Upah Minimum, Struktur skala upah,
upah kerja lembur, upah tidak masuk kerja atau karena alasan tertentu, bentuk
dan cara pembayaran upah, hal-hal yang diperhitungkan dengan upah, upah
sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya. Serikat buruh tugasnya hanya sebagai
penasehat pemerintah dalam hal pengupahan. Sesuai pasal 98 Omnibus Law. Dengan pengeluaran Konsumsi rata-rata
di masyarakat, akan terjadi degradasi KHL yang sudah ada saat ini. Karena BPS
hanya menghitung berdasarkan konsumsi pangan saja. |
Akan terjadi gejolak konflik pengupaan di daerah. Daerah yang minus infrastruktur akan terus
tertinggal. Ketentuan Tripartit Dewan Pengupahan hanya
sebagai pemberi saran dan bukan merupakan perumus, melanggar Konvensi ILO
144. Dalam Mekanisme Tripartit, setiap pihak memiliki hak dan suara
masing-masing. Tidak ada yang superioritas. Bahkan dapat dilakukan mekanisme
Voting. Tidak sekedar memberi saran dan Pemerintah mengabaikan suara SP/SB. |
4. |
Pasal 90B Omnibus Law Penetapan Upah menjadi diskriminatif.
Di UU ini dijelaskan bahwa Upah di usaha Kecil dan Mikro mengacu pada
persentase tertentu rata-rata konsumsi masyarakat dari lembaga yang berwenang
dibidang statistik. Lebih detail daripada Ketentuan standard kebutuhan
hidup layak bagi pekerja di
usaha menengah dan besar. Semoga tidak ada diskriminasi upah |
Tidak ada di UU 13/2003 Satu standar pengupahan dan non
diskriminatif kepada masyarakat. |
Pemerintah akan kesulitan membuat
klausul terpisah dari Upah Minimum di tingkat Regional. Karena Negara tidak
boleh diskriminatif dalam membuat kebijakan kepada masyarakat. Usaha saat ini justru semakin mengecil
dalam rantai pasok. Perusahaan induk semakin meminimalisir Core Bisnisnya.
Usaha-usaha kecil dengan omset besar
juga semakin menjamur. Seperti bisnis influencer, Youtober, Distribusi on
line, Marketing on line, dll. Negara justu harus melindungi dengan tidak
mendiskriminasi para pekerja/buruh di sektor ini. |
UU yang lama lebih efisien dan
efektif. Karena turunan PP untuk penjelasan diskriminasi upah akan
menyulitkan. |
5. |
Pasal 90 A Omnibus Law Hanya mengatur ketentuan upah diatas
upah minimum untuk dirundingkan antara pengusaha dan pekerja/buruh di
perusahaan |
Pasal 89 dan 90 /UU No. 13/2003
Dihapus. |
Serikat Pekerja Serikat Buruh baik di
tingkat perusahaan maupun di tingkat Regional, hanya memiliki hak untuk
menegoisasikan upah sesuai dengan UMP dan UMK dengan persyaratan khusus yang
ditentukan Gubernur. Sementara Upah di atas minimum hanya dinegoisasikan oleh
Buruh/pekerja bersama dengan pengusaha di perusahaan. |
Mengkebiri hak Serikat Buruh untuk
menegoisasikan upah. (Pasal 88 A UU Omnibus Law, dan Pasal
90 A Omnibus Law) |
6. |
Pasal 59 Omnibus Law Menghapus syarat-syarat yang ketat
untuk PKWT. Diantaranya: Menghapus pasal (1) dan Pasal (4) yang mensyaratkan waktu paling lam 2
tahun dan hanya dapat diperpanjang 1 tahun. |
Merubah Pasal 59 UU No 13/2003 Menerapkan syarat yang ketat untuk
jangka waktu paling lama 3 tahun untuk penggunaan PKWT. |
Persyaratan lebih lanjut diatur
melalui PP |
Hal ini dapat mengakibatkan perdebatan
dan konflik. Padahal UU 13/2003 telah mengatur dengan rinci. |
7 |
Pasal 66 Omnibus Law Menghilangkan tanggung jawab
Perusahaan Pemberi Pekerjaan. Tidak membatasi kluster pekerjaan yang
dapat dialihdayakan. |
Pasal 66 UU No. 13/2003 Bila persyaratan berkenaan dengan alih daya tidak terpenuhi, maka
hubungan kerja antara Buruh dan pengusaha alih daya beralih menjadi hubungan kerja antara buruh dan pemberi pekerjaan. Membatasi kluster yang dapat dialih
daya: Cleaning Service, Security, Catering,
Usaha Penunjang Pertambangan dan Perminyakan, dan angkutan karyawan. |
Tidak ada prinsip Remedy atau tanggung
jawab atas hubungan kerja yang telah dilakukan, kendati ada pelanggaran hukum
atau pelanggaran ketentuan alih daya. Memperluas Outsoursing ke semua sektor
pekerjaan. |
Pemerintah membiarkan Mafia tenaga
kerja bekerja tanpa tanggung jawab. Akan bertambah pekerjaan buruh dengan
kontrak pendek. Hal ini akan menurunkan kualitas produktivitas dan
kesejahteraan buruh Indonesia. |
8 |
Pasal 79 Omnibus Law Menghapuskan pasal tentang cuti panjang,
setelh bekerja 6 tahun. |
Pasal 79, UU No. 13/2003 Cuti Panjang diatur selama 1 bulan. |
Penghargaan kemanusiaan harus
diapresiasi. |
Memandang buruh hanya sebagai factor produksi. |
|
|
|
|
|