Oleh: Eduard P. Marpaung
Analogi OMNIBUS LAW CIKA sangat bertentangan dengan tujuan jangka panjang pembangunan berkelanjutan dan perkembangan Industri 4.0. Future of Work, pekerjaan masa depan, justru adalah pekerjaan yang manusiawi yang tidak bisa dikerjakan oleh robot yang sifatnya pengulangan atau repeating.
OMNIBUS LAW CIKA dalam visinya adalah mengundang sebesar-besarnya investor, untuk itu perlu pekerjaan dan peraturan yang fleksibel dan menawarkan keunggulan komparative yakni pengurangan kompensasi, upah murah, pembatasan hak buruh untuk berserikat, permudahan PHK, permudah pekerjaan temporer, kurangi intervensi negara baik dalam hal jaminan sosial maupun pengawasan, dll. Ini pengulangan kebijakan ORDE BARU.
Bagaimana Future of Work yang diinginkan? Future of work yang sekarang didesign adalah future of work untuk memanusiakan manusia. Pekerjaan Perbankan yang bersifat repeating diambil alih oleh Kapitalis Global dengan metode pembayaran dan penyimpanan uang baru melalui e- transaction. Perdagangan dipermudah melalui e- marketing. Pekerjaan pabrik yang berbahaya dan beracun yang bersifat repeating diambil alih oleh mesin-mesin dan robot. Bahkan sebagian pekerjaan pertanian dikontrol dan diambil alih oleh robot.
Pertanyaannya, bagaimana dengan pekerjaan manusia?
Ada banyak pekerjaan baru yang membutuhkan detailing dan kreatifitas. Pekerjaan seperti youtober, selebgram, media on line, online marketing, live streaming, on line driver, order pekerjaan base on line, dan pekerjaan kreative lainnya yang berbasis teknologi semakin bertumbuh menggantikan pekerjaan repeating di pabrik. Pekerjaan mandiri mendapat tambahan order dan pendapatan sepanjang mereka menguasai teknologi, seperti pedagang pasar, penjahit, reparasi elektrik dan perbengkelan, pedagang makanan jadi, bangunan, loundri, dll. Pekerjaan yang dahulu informal mendapat tambahan pendapatan yang layak melalui teknologi. Bahkan ketika Covid-19 mereka dapat menopang ekonomi industri formal yang melemah karena permintaan pasar internasional yang protektif.
Apakah di perusahaan industri pekerjaan manusia masih mendominasi? Kenyataannya bahkan di Indonesia pekerjaan yang sifatnya repeating sudah hampir 50% otomatisasi. Hanya pertanian yang berjalan lamban. Ini karena masih tersedianya lahan yang luas untuk pertanian di Indonesia. Juga akibat kurangnya para lulusan pertanian yang bersedia memberikan perhatian penuh untuk modernisasi dan inovasi pertanian di Indonesia.
Dengan diambil alihnya banayak pekerjaan manusia oleh otomatisasi, maka negara harus hadir ikut campur tangan untuk mengkreasi pekerjaan yang layak bagi manusia. Ini wajib. Dibutuhkan regulasi untuk memanusiakan pekerjaan manusia dengan menjamin pekerjaan yang layak dan pengurangan jam kerja agar para pekerja yang tidak terserap pasar dapat masuk ke dunia kerja. Ini artiya pengusaha harus mengalihkan anggaran yang semakin murah untuk memproduksi produk untuk kesejahteraan dan penyerapan manusia di dalam pekerjaan yang semakin layak dan minimalisasi resiko.
Kita ambil contoh produk minuman air dalam kemasan. Pengusaha hanya butuh mengebor sekali saja mata air, pajak untuk sumber daya alam ini juga tidak begitu diatur dan mahal. Air yang masuk ke pabrik langsung diproses oleh mesian sampai pengemasan, semua menggunakan robot. Hanya kontrol komputer, maintenance mesin, kontrol produksi, dan pengemasan akhir membuthkan intervensi manusia. Namun harga satu liter botol air kemasan sampai pemakai akhir bisa lebih mahal dari satu liter bensin.
Selayaknya lah pabrik ini dapat memberikan kesejahteraan dan penyerapan tenaga lebih di pabrik dengan mengurangi jam kerja dengan mebayar gaji penuh. Namun apa faktanya? Di salah satu perusahaan lokal domestik di Jawa Timur yang memproduksi air minum langsung dari sumber mata air , 4 orang buruh harus meregang nyawa untuk menuntut hak normatif yang seharusnya diintervensi negara tanpa butuh didemonstrasi. Mereka meninggal dunia ditabrak mobil yang terindikasi disengaja karena persis mengarah melindas buruh yang sedang demo di trotoar tanpa melakukan pengereman dan berhenti sama sekali sejauh 50 meter.
Eropa, negara-negara Scandinavia, Rusia dan beberapa negara lain mulai mengurangi jam kerja tanpa mengurangi upah untuk mengadopsi perkembangan teknologi. Ini sama halnya ketika terjadi Revolusi Industri yang memungkinkan mesin-mesin melakukan produksi Masal. Tuntutan 8 jam kerja ini dimulai 1 Mei 1886 di Amerika. Sebelumnya jam kerja adalah 12 jam kerja sehari bahkan lebih. Dengan berkembangnya teknologi, manusia mulai meningkatkan kebutuhan pribadi, produk-produk membutuhkan pasar, manusia semakin perlu menikmati produk yang dihasilkan oleh dirinya di pasar dengan tentunya topangan penghasilan yang layak. Untuk menikmati hasil produksi itu butuh waktu lebih. Contoh sederhana, ada produk gatget, tentu anda harus menyediakan waktu untuk menikmatinya, ada produk mobil, butuh waktu untuk mengendarai, ada produk hotel dan restoran anda perlu lebih banyak libur, ada produk pakaian mewah, anda perlu waktu untuk memamerkannya, ada produk bioskop, youtobe, pertunjukan, dll. Semakin banyak produk dihasilkan, anda membutuhkan waktu dan orang untuk menikmatinya. Bagaimana bila produk banyak dihasilkan teknologi tapi waktu dan jumlah manusia penikmat terbatas? Yang terjadi pasti kelebihan produk dipasar dengan permintaan yang minim. Para produsen akan bersaig untuk harga yang murah dan akibatnya buruh akan dibayar murah. Ini seperti siklus keseimbangan alam.
Semua itu adalah analogi ekonomi sederhana. Yang terjadi sekarang adalah, para investor kurang tertarik berinvestasi di negara India dan Indonesia walau penduduknya besar, karena pasarnya tidak memadai. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan juga staknan. Gini Rasio indonesia yang termasuk tertinggi di dunia membuat indonesia tidak diminati oleh produk-produk berteknologi modern.
Negara-negara yang mulai memangkas jam kerja ternyata mampu meningkatkan pertumbuhan ekonominya yang sebelumnya merosot tajam. Ini membuktikan bahwa perkembangan teknologi harus seiring dengan permintaan pasar. Robot tidak dapat menikmati hasil produknya sendiri tentunya. Manusialah yang menjadi pusat dari segala produk, oleh karena itu semua produk dibuat harus untuk meningkatkan kesejahteraan manusia.
Apakah yang seharusnya dilakukan:
- Bahwa UU No. 13/ 2003 masih cukup relevan untuk industri formal.
- Menambah Jam Kerja lembur akan menghilangkan 1,5 juta pekerjaan untuk kaum muda. Mahasiswa harus menolak RUU ini, karena mereka terancam jadi penganggur massal.
- Pengurangan jam kerja bertahap dari 40 jam seminggu, 38, 37 sampai 35 dalam 6 tahun ke depan. Karena 6 tahun ke depan Indonesia akan dibanjiri teknologi modern bila konsisten mengurangi jam kerja dan meningkatkan kemampuan serapan pasar dengan peningkatan kesejahteraan.
- Melakukan sosialisasi yang massif untuk menabungkan dana pesangon ke DPLK agar para buruh yang di PHK akibat perubahan teknologi mendapatkan kepastian kompensasi yang layak dan pengusaha tidak diberatkan oleh pesangon karena dana yang tidak tersedia.
- Memprioritaskan anggaran BPJS TK untuk investasi Pra Kerja.
- DPR RI menghentikan dan menolak pembahasan Omnibus Law Cika yang bersifat eksploitatif, karena memungkinkan terciptanya pemerintahan yang otoriter dan system perburuhan yang menghancurkan ekonomi negara diakibatkan konsep OLCK yang berdampak pada: #Membanjirnya pekerjaan temporer dan tak terkontrol. #Sulitnya mendapatkan para pekerja yang loyal dan mudah akibat banyaknya agen dan mafia #ketenagakerjaan yang diakibatkan perluasan outsoursing dan buruh kontrak. #Tingkat pengangguran yang semakin tinggi akibat kegamangan mengadaptasi perubahan teknologi yang menghilangkan peluang kerja 1,5 juta pekerjaan per tahun dan 1,5 juta akibat penambahan jam lembur. # Ketimpangan sosial semakin tinggi, dan angka kejahatan meningkat tajam. # Kas BPJS TK dan PBJS Kesehatan jebol. Diakibatkan oleh peningkatan iuran yang tinggi dan biaya operasional yang tinggi untuk marketing karena meningkatnya pekerjaan informal atau informalisasia pekerjaan formal. Akibatnya biaya kesehatan makin mahal dan BPJS TK tekor. #Para pengusaha kepayahan, biaya siluman dan korupsi meningkat drastis karena pengawasan perburuhan baik oleh serikat maupun pemerintah dilemahkan, dengan cara menghapus peran pemerintah dalam melarang PHK yang tidak sesuai ketentuan dan prosedur. #Rating Indonesia sebagai tujuan investasi jeblok dan Indonesia terancam menjadi negara gagal, karena system perburuhan yang dimiliki tidak compliance dan bertentanngan dengan International Labor Standard (ILS) dan Guideline Prinsip Global Bisnis yang mensyaratkan Due Diligent.
- Bahwa Produktivitas, Inflasi, dan Pertumbuhan Ekonomi adalah faktor penghitungan upah yang perlu dipertimbangkan dalam perturan dan rancangan perundangan. Menghitung kenaikan upah hanya berdasarkan pertumbuhan ekonomi saja adalah merupakan tindakan eksploitatif. Karena pertumbuhan ekonomi pada saat pandemi Covid 19 dan pada saat transisi ekonomi sangat minim bahkan minus. Peningkatan nilai upah bersinergi dengan serapan produk di pasar sehingga sangat menentukan bagi kontribusi pertumbuhan dan transisi yang baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar