konsolidasi buruh

Sabtu, 15 Februari 2020

Kebijakan Omnibus Law Cipta Kerja Adalah Kebijakan Perdagangan bukan Ketenagkerjaan


Kebijakan Omnibus Law Cipta Kerja 
Adalah Kebijakan Perdagangan bukan Ketenagkerjaan

 Oleh: Eduard P. Marpaung

Dari 11 kluster Cipta Kerja:

 1. Penyederhanaan perizinan tanah
2. Persyaratan investasi
3. Ketenagakerjaan
4. Kemudahan dan perlindungan UMKM
5. Kemudahan berusaha
6. Dukungan riset dan invoasi
7. Administrasi pemerintahan
8. Pengenaan sanksi
9. Pengendalian lahan
10. Kemudahan proyek pemerintah
11. Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)
Semuanya adalah titipan Perdagangan Bebas atau WTO melalui WB, kecuali ketenagakerjaan. Karena ketenagakerjaan bukanlah bagian dari proteksi perdagangan. Namun anehnya WB selalu memasukkan Ketenagakerjaan menjadi salahsatu list hambatan dalam Kemudahan Berinvestasi.Negara-negara maju biasanya lebih menuntut keterbukaan perdagangan, padahal sebnarnya mereka membungkus proteksi dengan alasan sektoral. Pertanian, logam, dan beberapa sektor unggulan biasanya mereka kecualikan. Tapi sangat keras menekan Negara miskin dan berkembang untuk  membuka pasar seluas-luasnya untuk membuka hambatan perdagangan (yang mereka cover dengan idiom investasi).



Dalam tulisan L. Alan Winters sebelumnya telah dikupas bagaimana  Kebijakan perdagangan bukan merupakan kebijakan ketenagakerjaan dan seharusnya tidak diharapkan memiliki efek besar pada keseluruhan pekerjaan. Ketika itu terjadi, itu karena ia berinteraksi dengan distorsi di pasar tenaga kerja, yang bervariasi dari satu negara ke negara dan dari waktu ke waktu. Tidak ada generalisasi yang layak, dan berusaha untuk membuatnya cukup banyak merupakan tugas orang bodoh. Pembuat kebijakan yang ingin meningkatkan lapangan kerja, harus memikirkan tentang keseimbangan ekonomi agregat dan institusi pasar tenaga kerja, dan tidak mengganggu perdagangan internasional.


Kebijakan  stimulus terus menerus untuk memancing investor masuk atau memenuhi semua keinginan dan peluang membuka sebebas-bebasnya pasar adalah tindakan bodoh.  Bahkan proteksi diperlukan untuk sektor tertentu dalam rangka mempertahankan pekerjaan, walaupun dalam jangka panjang juga tidak positif. Membuka perdagangan seluas-luasnya untuk memudahkan hambatan pajak, tariff dan bea juga tidak punya pengaruh cepat terhadap penciptaan lapangan kerja. Justru mengakibatkan banyaknya kehilangan pekerjaan, mengingat akan sangat terbuka peluang bagi import atau produk barang atau teknologi  dari luar masuk dan mematikan produk dan hilangnya peluang kerja dalam negeri.  Mungkin jangka panjang dapat menyerap tenaga kerja, namun itupun belum ada kepastian, karena ada banyak aspek dalam ekonomi makro yang juga dapat menghambat perdagangan.

Kebijakan pemerintah untuk memberi stimulus berlebihan dalam struktur OLCK sama sekali tidak memiliki premis atau riset yang konkrit. Bahkan berdasarkan riset  L. Alan Winters tidak ada kaitan sama sekali cipta kerja dengan kebijakan stimulus perdagangan.
Lalu untuk apa kebijakan OLCK ini dibuat? Tidak lain untuk memenuhi keinginan para investor tertentu dari lokal dan global yang memiliki kategori kerakusan. Karena kenyataannya dalam OLCK ini memuat berbagai produk pengurangan hak-hak buruh dan kenyamanan dari para mavia pemodal untuk memeras buruh.


1. Penghilangan kewajiban Negara dalam perlindungan kehilangan pekerjaan secara konstitusi
2. Memfleksibelkan seluas-luasnya alih daya dan membuka peluang tidak adanya tanggungjawab atas hak-hak buruh baik oleh pemberi pekerjaan maupun kontraktor.
3. Tidak adanya pengecualian bagi pekerjaan yang dapat dilakukan kontrak jangka pendek atau sifat pekerjaan yang bisa dikerjakan secara tidak layak. Negara melegitimasi pekerjaan buruk secara konstitusi menjadi halal.
4. Pengurangan pesangon dengan alasan pesangon Indonesia terbesar di Asean.
Padahal  Pengusaha Indonesia adalah pembayar kontribusi terendah untuk jaminan sosial termasuk untuk  pensiun dan hari tua. Bahkan tidak sampai setengah Vietnam yang disebut-sebut sukses menyabet hati para investor.  Bila dihitung pesangon buruh hanya 8% kontribusi dari pengusaha  per bulan, bila ditambahkan ke kontribusi lain tidak sampai 15%. Sementara Vietnam pengusahanya membayar kontribusi 18% belum ditambah pesangon yang sekitar 4% an per bulan. Bahkan dari segi Upah Minimum, di Vietnam tidak ada lagi yang dibawah 2 juta per bulan, sementara di Jawa Barat dan Jawa Tengah masih ada yang 1,6 s/d 1,8 juta  per bulan. Yang nyata adalah bahwa banyak pengusaha yang tidak menabungkan uang pesangon pada lembaga keuangan atau asuransi, tapi dikantongi di dompet kas perusahaan. Sehingga ketika tiba pembayaran pesangon menjadi berat dan menyalahkan pemerintah. Pegusaha seperti ini adalah pengusaha rakus yang mau enaknya saja. Memang ada tambahan jaminan kehilagan pekerjaan, tapi sepenuhnya diambil dari iuran buruh yang akan dikurangkan dari hak upahnya.
5. Perpanjangan Lembur.
Ini juga, konsep yang tidak nyambung. Negara-negara maju berlomba mengurangi jam kerja dengan tanpa mengurangi konpensasi, agar produktivitas meningkat. Di samping itu ada prinsip solidaritas, agar tenaga kerja yang menganggur dapat terserap. Dengan pengurangan jam kerja 5 jam seminggu, maka untuk 7 orang buruh dapat menambah satu penganggur masuk dalam angkatan kerja. Di Indonesia justru menambah lembur satu jam per hari. Artinya bila seminggu buruh masuk 6 hari, maka aka nada 6 jam kerja yang bertambah. Untuk 6 orang yang lembur telah hilang satu peluang kerja. Bila ada 10 juta saja yang lembur maka akan ada 1,6 juta buruh yang terhambat masuk ke dunia kerja. Bukankah bila ini  konsep pemerintah , ini merupakan konsep yang tolol untuk CIPTA KERJA?  Dari analisa ini saja gampang sekali menilai bahwa RUU ini tidak untuk Ketenagakerjaan.
6. Cuti Besar dan cuti Maternitas dihapus
Buruh tidak diperkenankan cuti Besar, Cuti Haid, Melahirkan, Keguguran, menghitankan, membabtiskan anak, Cuti Menjalankan tugas Negara atau Serikat Buruh, Cuti Istri melahirkan, Sakit, dengan mendapat upah.
Tidak ada lagi peri kemanusiaan dan keberadaban budaya. Juga Kebebasan berserikat untuk menjalankan tugas organisasi atau Negara dengan kompensasi upah.  Negara tidak memproteksi kebebasan berserikat sesuai Konvensi ILO 98. Tidak boleh ada tindakan yang menyebabkan pemberhentian, atau secara lain merugikan buruh berdasarkan keanggotaan serikat buruh atau karena  turut serta dalam tindakan-tindakan serikat buruh di luar jam-jam bekerja atau dengan persetujuan majikan dalam waktu jam bekerja. Negara dalam hal ini diabaikan dan tidak dihargai dan dilecehkan. Hak-hak perempuan tidak dihargai dan Negara abai memberi perlindungan reproduksi dan maternitas sesuai Konvensi ILO, Universal Social Security Coverage.   
7. Mengijinkan pekerjaan berbasis satuan dan hasil.
Kosep ini tidak jelas sama sekali. Karena tidak ada kejelasan bagaimana hinungan keja dan bagaimana kompensasinya dibayarkan. Karena basis satuan waktu dan hasil biasanya sifatnya borongan ke alih daya dan pihak alih daya yang memanage pekerjaan dan kompensasi, yang pada gilirannya kompensasi dibayarkan mingguan, harian dan bulanan. Karena tidak ada managemen yang mau repot ngurusin konpensasi berdasarkan konsep tradisional. Kecuali ini diberlakukan untuk kemitraan. Namun kemitraan seperti online transport, taxi, transporter, tidak dijelaskan dalam konsep ini. Bahkan RUU ini terkesan melempar semua ke Peraturan Pelaksana.  
8. Struktur Upah  
Sruktur Upah dibagi dalam 3: UMP, Upah Padat Karya dan Upah Buruh Mikro. 1. Untuk UMP, tetap ditentukan oleh Gubernur, dan bila UMP dengan rumus Nasional tidak ditaati maka dikenakan sanksi tidak hanya bagi Gubernur tapi juga Buruh dengan menerima UMP tahun sebelumnya. 2. Untuk upah Padat Karya (tidak jelas devinisinya) karena mayoritas manufaktur kita mengandalkan keunggulan komparatif tenaga kerja murah. Untuk UPK ini dibayarkan dengan system negoisasi Bipartit. Sementara untuk Upah Mikro, dapat dibayarkan sebatas garis kemiskinan Rp. 425.250/bulan, sesuai hasil hitungan BPS tahun ini. Para Pelaksanan alih daya yang memiliki buruh sampai 50 TK dengan modal dibawah 1 Milyar, bolehlah dapat untung besar, perbanyak lembur dan tidak perlu banyak pekerja. Buruhnya paling banter dapat 1,5 juta sebulan dengan bekerja 12 jam sehari. 7  to 7 selama 6 hari. Dijamin anak gak pernah ketemu dan libur ambir lembur besar.


Kesimpulan:
1. Bahwa Omnibus Law Cipta Kerja OLCK adalah konsep RUU Perdagangan yang memaksakan konteks ketenagakerjaan masuk menjadi objek eksploitasi.
2. Tidak ada hubungan yang secara teoritis dan empirik  bahwa kebijakan perdagangan akan berdampak terhadap penyerapan tenaga kerja apalagi terhadap peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh. Justru yang diekspose secara langsung dalam RUU ini adalah eksploitasi terhadap ketenagakerjaan.
3. Bahwa system Ketenagakerjaan di Indonesia tidak lebih kaku dari system ketenagakerjaan di Asean lainnya. Baik dari segi pesangon (konpensasi jaminan sosial yang dibayar pengusaha), upah, kebebasan berserikat dan hubungan ketenagkerjaan.  Justru 4 tahun belakangan ini pemogokan  jauh berkurang, dialog sosial membaik, bahkan pada saat May Day dilakukan ekspose dan kampanye dengan damai.
4. RUU ini layak untuk ditolak oleh buruh yang dijadikan objek, seolah-olah diciptakan untuk penyerapan tenaga kerja, padahal yang terjadi justru sebaliknya yang terlihat kontras di peningkatan jam lembur. Pemerintah telah menjadikan Liberalisme Perdagangan sebagai agama untuk penciptaan lapangan kerja. Reseach di banyak Negara membuktikan bahwa tidak ada kaitan sama sekali keterkaitan antara kebijakan perdagangan meningkatkan penyerapan tenaga kerja.
5. Pemerintah tidak memiliki konsep dan bangunan narasi yang terstruktur berkenaan OLCK ini, terbukti banyaknya pasal yang membutuhkan interpretasi dalam bentuk peraturan. Hal ini justru akan menambah banyaknya peraturan baru, uji di MK  dan memancing banyak mafia hukum untuk bermain di ranah birokrasi.  
6. Meminta pemerintah untuk focus membenahi perekonomian melalui implementasi kebijakan-kebijakan yang cepat dan berdampak. Karena ada urgensi penurunan pertumbuhan ekonomi yang cukup tajam dalam bidang investasi dari  berbagai Negara baik sektor perkebunan, Olahan Sawit,  pariwisata, industry dan transportasi akibat wabah virus Corona.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar