konsolidasi buruh

Minggu, 11 Agustus 2024

Memenuhi harapan Masyarakat untuk DJSN

 DJSN yang Lebih Efektif, Efisien, dan Berkesinambungan

Pendahuluan

Negara kita telah memilih system Asuransi Sosial melalui UU SJSN yang diselenggarakan oleh Badan Pelaksana Jaminan Sosial agar dapat menjangkau kepesertaan yang lebih luas serta memberikan manfaat yang lebih besar bagi setiap peserta.

Dengan jaminan sosial negara hadir memberi perlindungan yang layak terhadap dampak merugikan atau penurunan pendapatan akibat sakit, kecelakaan kerja, usia lanjut, pension, melahirkan, maupun kematian.

Untuk menjawab tantangan zaman yang semakin kompleks, perlu adanya upaya untuk membangun DJSN yang lebih efektif, efisien, dan berkesinambungan. Makalah ini bertujuan untuk mengeksplorasi strategi-strategi yang dapat diterapkan dalam meningkatkan kualitas dan kinerja DJSN.

Penguatan dalam  Proses Administrasi

Bahwa susunan organisasi dan tata Kelola DJSN telah diatur dalam Peraturan Presiden No. 46 tahun 2014.  DJSN berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Sekretariat DJSN berada dan berkedudukan di Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Sinergi antar Lembaga DJSN dan Kementerian ini diharapkan dapat mendukung efisiensi dan efektifitas kinerja DJSN.

1.    Efektifitas Proses Adnministrasi dan Transparansi

Efisiensi dalam proses administrasi akan mengurangi birokrasi dan meningkatkan kecepatan dalam memberikan layanan kepada peserta. Beberapa langkah yang bisa dilakukan:

Penyederhanan birokrasi dan transparansi: Perlu integrasi kinerja DJSN sampai ke jajaran birokrasi dengan divisi DJSN sampai ke tingkat daerah. Sehingga keluhan Masyarakat ke DJSN dapat ditindaklanjuti lebih cepat dan pendataan statistic pengawasan dapat terkoneksi dan terkoordinasi. Sehingga terjadi transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan jaminan sosial.

Selain itu, DJSN bukanlah Lembaga atau institusi yang gemuk yang memiliki cabang-cabang sampai ke daerah. Selain membangun integrasi dengan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, DJSN juga perlu terus menjalin Kerjasama dengan berbagai instansi terkait seperti Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Keuangan, Kementerian Kesehatan, BPJS Naker dan Kesehatan.

Penerapan Sistem Otomatisasi:

DJSN sama seperti BPJS, harus memanfaatkan jejaring kelembagaan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan dalam rangka peningkatan  teknologi guna  memproses informasi dan perbaikan layanan dengan cepat dan akurat. Sehingga dalam laporan rutin pelaporan atas kinerja dan pengawasan dapat disampaikan secara terstruktur dan sistematis dengan data yang akurat.

2.    Penguatan Infrastruktur Teknologi Informasi:

Penggunaan teknologi informasi yang canggih akan menjadi kunci utama dalam meningkatkan efektivitas DJSN. Langkah-langkah yang dapat dilakukan antara lain:

Pengembangan Sistem Informasi Terintegrasi: Bekerja sama dengan BPJS memastikan semua data terkait jaminan sosial terkoneksi dengan baik untuk memudahkan pengelolaan dan pelayanan.

Penerapan Teknologi Digital:

Memanfaatkan aplikasi mobile dan platform online untuk memudahkan peserta dalam mengakses informasi dan layanan DJSN. DJSN memiliki hal-hal khusus dalam pelaksanaan tugasnya yang bersifat internal. Namun Masyarakat membutuhkan keterbukaan terkait kinerja dan adaptasi pelaporan yang mereka alami terkait pelayanan BPJS.

 

 3. Peningkatan Kualitas Pelayanan DJSN

DJSN  adalah ujung tombak atas pengaduan dan harapan masyarakat. Kontrol atas kualitas pelayanan jaminan sosial  berada dalam tugas dan fungsi DJSN. Monitoring, evaluasi, advokasi dan edukasi menjadi fungsi vital DJSN atas terlaksananya jaminan sosial yang berkualitas dan berkeadilan.

Untuk terlaksananya pelayanan DJSN yang efektif, efisien dan berkelanjutan DJSN perlu meningkatkan kualitas layanan dengan Upaya:

a.     Peningkatan kualitas SDM.

 

Peningkatan kualitas sumber daya manusia, tidak saja kepada para staff sekretariat, namun juga penting bagi para pimpinan dan anggota DJSN. Peningkatan SDM ini dalam berbagai ketrampilan sesuai dengan lini dan bagian tugas yang diemban. Peningkatan kualitas SDM dalam berbagai aktivitas seperti workshop, FGD, Seminar, training, leadership, kemampuan teknis, komunikasi dan studi banding.

b.      Pelayanan terpadu:

Komplain dan permasalahan jaminan sosial sering sekali terjadi di waktu luar jam kerja. Keluhan-keluhan Masyarakat perlu segera terselesaikan, baik yang bersifat temporer maupun jangka Panjang. Dengan adanya ketersediaan jaringan system informasi dan pelayanan terpadu, maka permasalahan masyarakat dapat segera tertangani dengan baik.

 

4. Mendorong Partisipasi dan Kesadaran Masyarakat

Kepercayaan masyarakat adalah kunci. Sistem Asuransi Sosial menuntut kontribusi dari masyarakat luas, selain subsidi negara dalam bentuk penerima bantuan iuran.  Selain itu kesadaran masyarakat pekerja informal dan pengusaha untuk melaporkan keseluruhan pekerjanya dalam program BPJS akan meningkatkan kepesertaan, manfaat  dan kesehatan keuangan BPJS. Hal ini akan meningkatkan Upaya untuk memastikan keberlanjutan program DJSN. Beberapa langkah strategis untuk mencapai hal ini:

Pendidikan, Kampanye  dan Pelibatan Kelompok Masyarakat:

Baik sendiri maupun berkolaborasi dengan BPJS dan Kemenaker, penting bagi DJSN untuk meningkatkan upaya pengenalan dan pendidikan jaminan sosial bagi Masyarakat. Baik dalam bentuk Pendidikan, Latihan, maupun kampanye.

Pelibatan kelompok LSM, Organisasi Masyarakat, Serikat Pekerja/Serikat buruh dalam rangka meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesadaran Masyarakat akan jaminan sosial.

Kesimpulan

Membangun DJSN yang lebih efektif, efisien, dan berkesinambungan membutuhkan kerja sama semua pihak pemangku kepentingan. Dengan menerapkan teknologi informasi, optimalisasi administrasi, peningkatkan kualitas layanan, serta  partisipasi masyarakat, DJSN dapat menjadi instrumen yang lebih efektif dan berkelanjutan dalam mendukung kesejahteraan sosial secara menyeluruh.

Jakarta, 11 Juli 2024

Ditulis oleh:

 

Eduard Parsaulian Marpaung

Bottom of Form

 

Senin, 22 Juli 2024

Pensiun dan Perlindungan Kesejahteraan Sosial

 

Opini Pikiran: Eduard Parsaulian Marpaung

I. Pendahuluan

Pensiun identic dengan masa-masa suram, tak punya penghasilan, tidak ada perhatian dan perawatan, terlantar, gelandangan dan miskin. Akan beruntung bila memiliki keluarga, atau keluarga yang peduli dan bersedia menyokong secara finansial, membantu perawatan, menemani di masa tua. Tidak sedikit kejadian orang tua terlantar, gelandangan, miskin, terbuang dan bahkan hingga meninggal tanpa pertolongan.

Akan terlihat kontras bagi yang memiliki finansial cukup dan memiliki persiapan kemampuan untuk menyediakan perawatan di masa pensiun dan jompo. Dapat menghuni panti yang memiliki fasilitas perawatan dan lingkungan yang baik, atau bisa dirawat di tempat mandiri dengan asisten yang memadai.

Di berbagai negara, usia pensiun sudah diperpanjang, mengingat banyaknya orang tua yang masih memiliki kemampuan fisik memadai harus berhenti beraktifitas secara fungsional, padahal masih memiliki kemampuan fisik yang memadai untuk mengerjakan pekerjaan yang sesuai. Penting negara hadir untuk memastikan jaminan sosial  dan bantuan sosial melindungi para pensioner dan jompo untuk dapat perlindungan yang layak sebagai manusia.

Pasal 34 ayat 1 UUD 1945: Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Negara harus hadir dan menjamin ketersediaan kesejahteraan bagi para pensiunan dan orang jompo untuk mengakses kesejahteraan secara kemanusiaan.

II. Fase Pensiun

  1. Masa  Pensiun

Usia pensiun buruh swasta ditetapkan 56 tahun dan bisa berjenjang sesuai kesepakatan  sampai maksimal usia 60 tahun, dan akan terus meningkat sesuai usia harapan hidup. Bahkan Pegawai negeri sudah mencapai 60-70 tahun sesuai dengan jabatan fungsional yang diemban. Semakin tua usia, maka pemeliharaan kesehatan semakin mahal, biaya kehidupan juga semakin tinggi seiring berkurangnya fungsi-fungsi motorik sehingga membutuhkan banyak bantuan. Sementara penghasilan semakin terbatas, bahkan untuk sebagian Lansia tidak sama sekali memiliki penghasilan. 

  1. Pemasalahan  Finansial

“Baby Boomers” , saat ini sudah memasuki fase menua dan pensiun. Generasi ini adalah generasi dengan angka kelahirn tertinggi. Namun persiapan finansial bagi kelahiran 70 an dengan persiapan jaminan pensiun swasta yang terlambat. Mayoritas bekerja secara kontrak dan outsoursing, tidak membayar jaminan pensiun dan JHT. Uang pesangon juga tidak memadai untuk dipakai dalam rangka persiapan pensiun. Kekhawatiran akan banyaknya korban keterlantaran para orang tua harus diantisipasi semua kalangan terutama pemerintah.

Pentingnya merencanakan keuangan untuk masa pensiun.

Perencanaan keuangan untuk masa pensiun tentunya harus dimanage oleh negara melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Seharusnya pemerintah focus melakukan peningkatan pemasukan untuk menambah kontribusi bagi tabungan jaminan hari tua, pensiun dan kepastian pemenuhan kerja layak untuk kepastian pesangon. Pemerintah akan kedodoran bila keuangan dipersiapkan sendiri hanya melalui anggaran bantuan sosial.

 

  1. Perlindungan Kesejahteraan Sosial

Bagi para pensiunan pegawai negeri perlindungan jaminan Kesehatan dapat disupport melalui anggaran jaminan pensiun yang masih diterima. Namun bagi buruh swasta dan informal, ini akan bermasalah. Pemerintah harus memastikan bagi pensiunan swasta dan informal yang usia pensiun otomatis dicover oleh PBI. Sehingga Kesehatan baik mental dan fisik mereka dapat terjamin di masa tua.

Negara melalui Kemensos dan BPJS harus bekerjasama memberi manfaat dan bantuan sosial bagi pensiunan dan jompo yang diterlantarkan dipelihara oleh negara dengan fasilitas yang manusiawi.

Selain itu dukungan keluarga dan masyarakat juga dibutuhkan dalam rangka inisiatif swasta maupun keluarga untuk membantu negara memfasilitasi dukungan pemenuhan hak para jompo dan pensiunan untuk dapat memperoleh penghidupan dan kesejahteraan yang layak untuk kemanusiaan.

IV. Kesimpulan

Kasus meninggalnya orang tua lanjut usia di Jonggol adalah kasus yang sangat menggetarkan nilai kemanusiaan. Keterlambatan negara dalam merespon keterasingan dan kemiskinan, kendati berada di rumah mewah. Pasangan ini menderita berdua dan akhirnya  meninggal dunia tanpa sepengetahuan dan fasilitasi yang layak menjelang akhir hayatnya. Anak, Masyarakat terdekat Gereja, tak melaporkan adanya keterlantaran ke pemerintah setempat, sehingga negara tak dapat dipersalahkan. Negara perlu segera membuat peraturan terkait keterlibatan unsur pemerintah, untuk pelaksanaan perlindungan bagi fakir miskin dan anak terlantar. Perlu dibentuk gugus tugas di Kementerian Sosial bekerjasama dengan unsur lintas departemen dan organisasi sipil kemasyarakatan.

Peningkatan kontribusi  jaminan sosial melalui penguatan keuangan negara dari berbagai sumber perlu diinisiatipi segera agar penganggaran bagi kesejahteraan sosial dapat berkesinambungan.

Pendidikan dan kampanye kesadaran dan solidaritas  masyarakat untuk peduli bagi perlindungan fakir miskin dan anak terlantar perlu diintervensi melalui kegiatan-kegiatan berbasis kearipan lokal dan budaya setempat.