konsolidasi buruh

Sabtu, 15 Februari 2020

Kebijakan Omnibus Law Cipta Kerja Adalah Kebijakan Perdagangan bukan Ketenagkerjaan


Kebijakan Omnibus Law Cipta Kerja 
Adalah Kebijakan Perdagangan bukan Ketenagkerjaan

 Oleh: Eduard P. Marpaung

Dari 11 kluster Cipta Kerja:

 1. Penyederhanaan perizinan tanah
2. Persyaratan investasi
3. Ketenagakerjaan
4. Kemudahan dan perlindungan UMKM
5. Kemudahan berusaha
6. Dukungan riset dan invoasi
7. Administrasi pemerintahan
8. Pengenaan sanksi
9. Pengendalian lahan
10. Kemudahan proyek pemerintah
11. Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)
Semuanya adalah titipan Perdagangan Bebas atau WTO melalui WB, kecuali ketenagakerjaan. Karena ketenagakerjaan bukanlah bagian dari proteksi perdagangan. Namun anehnya WB selalu memasukkan Ketenagakerjaan menjadi salahsatu list hambatan dalam Kemudahan Berinvestasi.Negara-negara maju biasanya lebih menuntut keterbukaan perdagangan, padahal sebnarnya mereka membungkus proteksi dengan alasan sektoral. Pertanian, logam, dan beberapa sektor unggulan biasanya mereka kecualikan. Tapi sangat keras menekan Negara miskin dan berkembang untuk  membuka pasar seluas-luasnya untuk membuka hambatan perdagangan (yang mereka cover dengan idiom investasi).



Dalam tulisan L. Alan Winters sebelumnya telah dikupas bagaimana  Kebijakan perdagangan bukan merupakan kebijakan ketenagakerjaan dan seharusnya tidak diharapkan memiliki efek besar pada keseluruhan pekerjaan. Ketika itu terjadi, itu karena ia berinteraksi dengan distorsi di pasar tenaga kerja, yang bervariasi dari satu negara ke negara dan dari waktu ke waktu. Tidak ada generalisasi yang layak, dan berusaha untuk membuatnya cukup banyak merupakan tugas orang bodoh. Pembuat kebijakan yang ingin meningkatkan lapangan kerja, harus memikirkan tentang keseimbangan ekonomi agregat dan institusi pasar tenaga kerja, dan tidak mengganggu perdagangan internasional.


Kebijakan  stimulus terus menerus untuk memancing investor masuk atau memenuhi semua keinginan dan peluang membuka sebebas-bebasnya pasar adalah tindakan bodoh.  Bahkan proteksi diperlukan untuk sektor tertentu dalam rangka mempertahankan pekerjaan, walaupun dalam jangka panjang juga tidak positif. Membuka perdagangan seluas-luasnya untuk memudahkan hambatan pajak, tariff dan bea juga tidak punya pengaruh cepat terhadap penciptaan lapangan kerja. Justru mengakibatkan banyaknya kehilangan pekerjaan, mengingat akan sangat terbuka peluang bagi import atau produk barang atau teknologi  dari luar masuk dan mematikan produk dan hilangnya peluang kerja dalam negeri.  Mungkin jangka panjang dapat menyerap tenaga kerja, namun itupun belum ada kepastian, karena ada banyak aspek dalam ekonomi makro yang juga dapat menghambat perdagangan.

Kebijakan pemerintah untuk memberi stimulus berlebihan dalam struktur OLCK sama sekali tidak memiliki premis atau riset yang konkrit. Bahkan berdasarkan riset  L. Alan Winters tidak ada kaitan sama sekali cipta kerja dengan kebijakan stimulus perdagangan.
Lalu untuk apa kebijakan OLCK ini dibuat? Tidak lain untuk memenuhi keinginan para investor tertentu dari lokal dan global yang memiliki kategori kerakusan. Karena kenyataannya dalam OLCK ini memuat berbagai produk pengurangan hak-hak buruh dan kenyamanan dari para mavia pemodal untuk memeras buruh.


1. Penghilangan kewajiban Negara dalam perlindungan kehilangan pekerjaan secara konstitusi
2. Memfleksibelkan seluas-luasnya alih daya dan membuka peluang tidak adanya tanggungjawab atas hak-hak buruh baik oleh pemberi pekerjaan maupun kontraktor.
3. Tidak adanya pengecualian bagi pekerjaan yang dapat dilakukan kontrak jangka pendek atau sifat pekerjaan yang bisa dikerjakan secara tidak layak. Negara melegitimasi pekerjaan buruk secara konstitusi menjadi halal.
4. Pengurangan pesangon dengan alasan pesangon Indonesia terbesar di Asean.
Padahal  Pengusaha Indonesia adalah pembayar kontribusi terendah untuk jaminan sosial termasuk untuk  pensiun dan hari tua. Bahkan tidak sampai setengah Vietnam yang disebut-sebut sukses menyabet hati para investor.  Bila dihitung pesangon buruh hanya 8% kontribusi dari pengusaha  per bulan, bila ditambahkan ke kontribusi lain tidak sampai 15%. Sementara Vietnam pengusahanya membayar kontribusi 18% belum ditambah pesangon yang sekitar 4% an per bulan. Bahkan dari segi Upah Minimum, di Vietnam tidak ada lagi yang dibawah 2 juta per bulan, sementara di Jawa Barat dan Jawa Tengah masih ada yang 1,6 s/d 1,8 juta  per bulan. Yang nyata adalah bahwa banyak pengusaha yang tidak menabungkan uang pesangon pada lembaga keuangan atau asuransi, tapi dikantongi di dompet kas perusahaan. Sehingga ketika tiba pembayaran pesangon menjadi berat dan menyalahkan pemerintah. Pegusaha seperti ini adalah pengusaha rakus yang mau enaknya saja. Memang ada tambahan jaminan kehilagan pekerjaan, tapi sepenuhnya diambil dari iuran buruh yang akan dikurangkan dari hak upahnya.
5. Perpanjangan Lembur.
Ini juga, konsep yang tidak nyambung. Negara-negara maju berlomba mengurangi jam kerja dengan tanpa mengurangi konpensasi, agar produktivitas meningkat. Di samping itu ada prinsip solidaritas, agar tenaga kerja yang menganggur dapat terserap. Dengan pengurangan jam kerja 5 jam seminggu, maka untuk 7 orang buruh dapat menambah satu penganggur masuk dalam angkatan kerja. Di Indonesia justru menambah lembur satu jam per hari. Artinya bila seminggu buruh masuk 6 hari, maka aka nada 6 jam kerja yang bertambah. Untuk 6 orang yang lembur telah hilang satu peluang kerja. Bila ada 10 juta saja yang lembur maka akan ada 1,6 juta buruh yang terhambat masuk ke dunia kerja. Bukankah bila ini  konsep pemerintah , ini merupakan konsep yang tolol untuk CIPTA KERJA?  Dari analisa ini saja gampang sekali menilai bahwa RUU ini tidak untuk Ketenagakerjaan.
6. Cuti Besar dan cuti Maternitas dihapus
Buruh tidak diperkenankan cuti Besar, Cuti Haid, Melahirkan, Keguguran, menghitankan, membabtiskan anak, Cuti Menjalankan tugas Negara atau Serikat Buruh, Cuti Istri melahirkan, Sakit, dengan mendapat upah.
Tidak ada lagi peri kemanusiaan dan keberadaban budaya. Juga Kebebasan berserikat untuk menjalankan tugas organisasi atau Negara dengan kompensasi upah.  Negara tidak memproteksi kebebasan berserikat sesuai Konvensi ILO 98. Tidak boleh ada tindakan yang menyebabkan pemberhentian, atau secara lain merugikan buruh berdasarkan keanggotaan serikat buruh atau karena  turut serta dalam tindakan-tindakan serikat buruh di luar jam-jam bekerja atau dengan persetujuan majikan dalam waktu jam bekerja. Negara dalam hal ini diabaikan dan tidak dihargai dan dilecehkan. Hak-hak perempuan tidak dihargai dan Negara abai memberi perlindungan reproduksi dan maternitas sesuai Konvensi ILO, Universal Social Security Coverage.   
7. Mengijinkan pekerjaan berbasis satuan dan hasil.
Kosep ini tidak jelas sama sekali. Karena tidak ada kejelasan bagaimana hinungan keja dan bagaimana kompensasinya dibayarkan. Karena basis satuan waktu dan hasil biasanya sifatnya borongan ke alih daya dan pihak alih daya yang memanage pekerjaan dan kompensasi, yang pada gilirannya kompensasi dibayarkan mingguan, harian dan bulanan. Karena tidak ada managemen yang mau repot ngurusin konpensasi berdasarkan konsep tradisional. Kecuali ini diberlakukan untuk kemitraan. Namun kemitraan seperti online transport, taxi, transporter, tidak dijelaskan dalam konsep ini. Bahkan RUU ini terkesan melempar semua ke Peraturan Pelaksana.  
8. Struktur Upah  
Sruktur Upah dibagi dalam 3: UMP, Upah Padat Karya dan Upah Buruh Mikro. 1. Untuk UMP, tetap ditentukan oleh Gubernur, dan bila UMP dengan rumus Nasional tidak ditaati maka dikenakan sanksi tidak hanya bagi Gubernur tapi juga Buruh dengan menerima UMP tahun sebelumnya. 2. Untuk upah Padat Karya (tidak jelas devinisinya) karena mayoritas manufaktur kita mengandalkan keunggulan komparatif tenaga kerja murah. Untuk UPK ini dibayarkan dengan system negoisasi Bipartit. Sementara untuk Upah Mikro, dapat dibayarkan sebatas garis kemiskinan Rp. 425.250/bulan, sesuai hasil hitungan BPS tahun ini. Para Pelaksanan alih daya yang memiliki buruh sampai 50 TK dengan modal dibawah 1 Milyar, bolehlah dapat untung besar, perbanyak lembur dan tidak perlu banyak pekerja. Buruhnya paling banter dapat 1,5 juta sebulan dengan bekerja 12 jam sehari. 7  to 7 selama 6 hari. Dijamin anak gak pernah ketemu dan libur ambir lembur besar.


Kesimpulan:
1. Bahwa Omnibus Law Cipta Kerja OLCK adalah konsep RUU Perdagangan yang memaksakan konteks ketenagakerjaan masuk menjadi objek eksploitasi.
2. Tidak ada hubungan yang secara teoritis dan empirik  bahwa kebijakan perdagangan akan berdampak terhadap penyerapan tenaga kerja apalagi terhadap peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh. Justru yang diekspose secara langsung dalam RUU ini adalah eksploitasi terhadap ketenagakerjaan.
3. Bahwa system Ketenagakerjaan di Indonesia tidak lebih kaku dari system ketenagakerjaan di Asean lainnya. Baik dari segi pesangon (konpensasi jaminan sosial yang dibayar pengusaha), upah, kebebasan berserikat dan hubungan ketenagkerjaan.  Justru 4 tahun belakangan ini pemogokan  jauh berkurang, dialog sosial membaik, bahkan pada saat May Day dilakukan ekspose dan kampanye dengan damai.
4. RUU ini layak untuk ditolak oleh buruh yang dijadikan objek, seolah-olah diciptakan untuk penyerapan tenaga kerja, padahal yang terjadi justru sebaliknya yang terlihat kontras di peningkatan jam lembur. Pemerintah telah menjadikan Liberalisme Perdagangan sebagai agama untuk penciptaan lapangan kerja. Reseach di banyak Negara membuktikan bahwa tidak ada kaitan sama sekali keterkaitan antara kebijakan perdagangan meningkatkan penyerapan tenaga kerja.
5. Pemerintah tidak memiliki konsep dan bangunan narasi yang terstruktur berkenaan OLCK ini, terbukti banyaknya pasal yang membutuhkan interpretasi dalam bentuk peraturan. Hal ini justru akan menambah banyaknya peraturan baru, uji di MK  dan memancing banyak mafia hukum untuk bermain di ranah birokrasi.  
6. Meminta pemerintah untuk focus membenahi perekonomian melalui implementasi kebijakan-kebijakan yang cepat dan berdampak. Karena ada urgensi penurunan pertumbuhan ekonomi yang cukup tajam dalam bidang investasi dari  berbagai Negara baik sektor perkebunan, Olahan Sawit,  pariwisata, industry dan transportasi akibat wabah virus Corona.



Jumat, 14 Februari 2020

Kebijakan Perdagangan Bukan Kebijakan Ketenagakerjaan

Peraturan perdagangan internasional 
dan penciptaan lapangan kerja
Kebijakan perdagangan bukan merupakan kebijakan ketenagakerjaan
dan seharusnya tidak diharapkan memiliki efek besar pada ketenagakerjaan secara keseluruhan
L. Alan Winters
Universitas Sussex dan CEPR, Inggris, Jaringan Pengembangan Global (GDN), India, dan IZA, Jerman

Pengantar
Peraturan perdagangan dapat menciptakan lapangan kerja di sektor-sektor yang dilindungi atau dipromosikannya, tetapi hampir selalu dengan mengorbankan jumlah yang kira-kira setara di tempat lain dalam perekonomian. Pada tingkat spesifik produk atau mikro dan dalam jangka pendek, mengendalikan perdagangan dapat mengurangi impor yang menyinggung dan menyelamatkan pekerjaan, tetapi untuk perekonomian secara keseluruhan dan dalam jangka panjang, posisi ini tidak memiliki dukungan teoretis maupun bukti empiris yang mendukungnya.  Mengingat bahwa perlindungan mungkin memiliki efek lain — biasanya merugikan —, memahami kesulitan dalam menggunakannya untuk mengelola pekerjaan penting bagi kebijakan ekonomi.

Pesan utama penulis
Kebijakan perdagangan bukan merupakan kebijakan ketenagakerjaan dan seharusnya tidak diharapkan memiliki efek besar pada keseluruhan pekerjaan. Ketika itu terjadi, itu karena ia berinteraksi dengan distorsi di pasar tenaga kerja, yang bervariasi dari satu negara ke negara dan dari waktu ke waktu. Tidak ada generalisasi yang layak, dan berusaha untuk membuatnya cukup banyak merupakan tugas orang bodoh. Pembuat kebijakan yang ingin meningkatkan lapangan kerja, harus memikirkan tentang keseimbangan ekonomi agregat dan institusi pasar tenaga kerja, dan tidak mengganggu perdagangan internasional.
 
Motivasi
Impor menyebabkan hilangnya pekerjaan di sektor-sektor yang bersaing dengan impor, sehingga menghentikannya tampaknya akan mempertahankan pekerjaan. Ini juga merupakan politik yang 
menarik, karena dapat disajikan sebagai politisi yang melindungi (perhatikan kata) konstituen mereka dari bahaya yang dihasilkan oleh pasukan asing yang merugikan di mana mereka tidak memiliki
kendali. Ini semua sangat baik, tetapi mengabaikan efek yang melindungi Paul terhadap kemampuan Peter untuk mencari nafkah. Melalui berbagai mekanisme yang dipahami dengan baik, melindungi 
beberapa sektor biasanya membahayakan yang lain dan menghancurkan pekerjaan di sektor-sektor
lainnya, dengan hasil bahwa seseorang berakhir dengan ekonomi yang terdistorsi tetapi sangat sedikit perubahan dalam pekerjaan secara keseluruhan.
 
Diskusi pro dan kontra Dalam versi paling sederhana dari model neoklasik ekonomi yang berlaku saat ini, tingkat pekerjaan dan pengangguran jangka panjang ditentukan oleh variabel ekonomi makro dan lembaga pasar tenaga kerja, bukan oleh perdagangan dan tidak sama sekali oleh kebijakan perdagangan. Jadi, menurut pandangan ini, kebijakan perdagangan tidak memiliki dampak jangka panjang pada tingkat pekerjaan. Akan tetapi, bahkan neoklasik, mengakui bahwa, dalam jangka pendek, tingkat kegiatan ekonomi dapat dipengaruhi oleh guncangan perdagangan atau perubahan kebijakan perdagangan; 
Namun, mereka berpendapat bahwa dengan tidak adanya perubahan lain, pasar tenaga kerja pada akhirnya akan kembali ke ekuilibrium sebelumnya.
 
Sebaliknya, sekolah strukturalis menolak Hukum Say’s yang menuntut ekspansi untuk menyerap pasokan, dan mendalilkan bahwa guncangan kebijakan perdagangan dan perdagangan dapat
memengaruhi pekerjaan secara permanen dengan menciptakan atau menghancurkan pekerjaan dengan sedikit atau tanpa penyesuaian di sektor-sektor ekonomi yang tidak secara langsung dipengaruhi oleh syok [1].
 
Perbedaan dalam pendekatan mencerminkan penyederhanaan spesifik dalam strategi pemodelan yang berbeda, yang pada gilirannya berasal dari persepsi yang berbeda tentang kecepatan penyesuaian dan periode waktu yang tepat untuk dianalisis. Teori neoklasik berfokus pada jangka panjang. Teori strukturalis berfokus pada periode waktu yang cukup singkat sehingga penyesuaian penuh belum terjadi dan mengingatkan kita bahwa, tentu saja bagi orang-orang yang terkena dampak, jalur penyesuaian bisa cukup panjang dan menyakitkan untuk mendominasi pandangan mereka tentang kebijakan perdagangan yang tepat.
 
Faktanya, dikotomi tidak harus ekstrem seperti yang disarankan paragraf sebelumnya. Para ahli teori telah memodifikasi model neoklasik untuk ditambahkan jenis ketidaksempurnaan pasar tenaga kerja yang menciptakan pengangguran bahkan dalam ekuilibrium. Memperkenalkan upah efisiensi dan pencarian pekerjaan ke dalam model perdagangan dapat menyebabkan banyak keseimbangan, dan prediksi tentang keduanya (tidak) pekerjaan dan dampak kesejahteraan dari liberalisasi perdagangan menjadi ambigu secara kualitatif [2]. Dalam dukungan empiris parsial dari spesifikasi yang lebih umum dari model perdagangan, pergantian tenaga kerja dan sikap terhadap liberalisasi perdagangan konsisten dengan keberadaan jenis-jenis gesekan ini selama periode waktu yang signifikan.
 
Sayangnya heterogenitas ekonomi dan kesulitan mengisolasi kebijakan perdagangan dari kebijakan lain dan dari pengaruh hasil pasar kerja membuat uji statistik sederhana antara kedua pandangan ini menjadi tidak mungkin. Jadi, itu menyisakan hasil parsial dan perkiraan, yang pada gilirannya meninggalkan banyak ruang untuk penilaian oleh pembuat kebijakan.
 
Pekerjaan agregat
Bukti empiris yang lebih langsung, berdasarkan data panel, menunjukkan bahwa ketika perdagangan didorong terutama oleh keunggulan komparatif Ricardian (berdasarkan perbedaan teknologi antar negara), perlindungan meningkatkan tingkat pengangguran di seluruh negara [3]. Beberapa liberalisasi perdagangan permanen mengungkapkan perbedaan mencolok dalam tingkat pengangguran jangka pendek dan jangka panjang terhadap liberalisasi perdagangan. Sementara efek langsung mengurangi hambatan perdagangan cenderung menjadi peningkatan pengangguran, jangka panjang melihat pembalikan kenaikan ini dan akhirnya penurunan pengangguran. Artinya, penyesuaian membutuhkan waktu tetapi, setidaknya dalam dimensi ini, menawarkan pengembalian positif dalam jangka panjang.
 
Di mana perdagangan lebih ditentukan oleh perbedaan faktor pendukung (kerangka kerja Heckscher-Ohlin) daripada oleh perbedaan teknologi, teori perdagangan internasional standar  memprediksi bahwa di negara-negara kaya modal liberalisasi perdagangan akan meningkatkan pengembalian modal dan (dalam bentuk paling sederhana dari model) benar-benar mengurangi mereka menjadi tenaga kerja (seperti yang diprediksi oleh teorema Stolper-Samuelson). Jika friksi' pencarian kerja ditambahkan ke pasar tenaga kerja, itu juga menghasilkan pengangguran yang lebih
tinggi. Dalam ekonomi yang berlimpah tenaga kerja, tenaga kerja adalah pemenang dari liberalisasi perdagangan, dan hasilnya adalah pengangguran yang lebih rendah. Ada bukti empiris yang lemah untuk hasil ini, tetapi didominasi oleh hasil pada paragraf sebelumnya.
 
Tekanan untuk menggunakan kebijakan perdagangan untuk mendukung pekerjaan mungkin paling kuat di negara-negara maju, seperti Eropa, dan AS. Meskipun kebijakan perdagangan di negara-
negara ini bersifat sektoral (menggunakan kebijakan perdagangan khusus sektor untuk mendukung pekerjaan di, katakanlah, pertanian, baja, atau tekstil), bukti dari negara-negara yang kaya modal mengisyaratkan bahwa mungkin ada efek agregat, di setidaknya untuk beberapa tahun [3]. Pertanyaan kunci untuk hasil agregat bukanlah apakah persaingan impor menghancurkan pekerjaan di sektor- sektor yang terkena dampak, tetapi apakah pekerja yang dipindahkan diserap kembali ke dalam angkatan kerja dengan cepat dan tanpa mengorbankan upah terlalu banyak.
 
Mempekerjakan kembali pekerja yang dipindahkan Bukti akhir abad ke-20 untuk AS menunjukkan bahwa liberalisasi perdagangan secara tidak proporsional menggusur pekerja yang kurang berkualitas dari manufaktur, bahwa sekitar sepertiga dari mereka tidak dipekerjakan kembali dalam beberapa tahun (waktunya tidak tepat dalam pekerjaan ini), dan bahwa mereka yang dipekerjakan kembali mengalami pemotongan rata-rata upah 13% [4]. Pengangguran kembali lebih cepat dan lebih penuh pada 1990-an daripada 1980-an, yang memperkuat titik jelas bahwa lembaga pasar tenaga kerja dan daya apung umum ekonomi dan pasar tenaga kerja merupakan penentu utama kecepatan reabsorpsi. Biaya untuk pekerja ini harus dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan, tetapi mengklaim bahwa mereka adalah faktor dominan tidak dibenarkan dengan baik.

Memukul negara-negara miskin Tidak ada bukti kuat bahwa liberalisasi perdagangan secara tidak proporsional memukul yang lemah dan miskin di negara-negara berkembang. Memang, seseorang dapat mengidentifikasi kasus-kasus di mana liberalisasi perdagangan diikuti oleh pertumbuhan lapangan kerja yang sangat cepat. Masalahnya, tentu saja, adalah bahwa dalam kasus-kasus ini jauh lebih banyak daripada kebijakan perdagangan diubah, sehingga atribusi pasti agak kabur.

Meningkatkan keterbukaan
Sebuah studi makroekonomi menunjukkan bahwa meningkatnya keterbukaan merupakan penyebab penurunan dramatis dalam tingkat pengangguran alamiah di Singapura [5]. Memperkenalkan tawar-menawar upah dan serikat pekerja ke dalam ekonomi dua-sektor faktor-spesifik yang menentukan tingkat pengangguran alamiah secara alami (lihat Endogenitas atau eksogenitas?). Antara 1966 dan 2000 — ketika rasio keterbukaan (jumlah ekspor dan impor relatif terhadap produk domestik bruto (PDB)) meningkat dari sekitar dua menjadi hampir tiga — harga relatif barang-barang ekspor  meningkat, dan terjadi akumulasi modal yang cepat di sektor ekspor. Kedua fenomena ini meningkatkan produk marjinal (dan, karenanya, upah) tenaga kerja dalam hal barang dan jasa yang tidak dapat diperdagangkan, dan membantu memperluas lapangan kerja secara keseluruhan empat kali lipat (ketika populasi meningkat dua kali lipat).
Efek langsung dari akumulasi lebih besar daripada harga relatif, meskipun yang terakhir, konsekuensi alami dari liberalisasi perdagangan, bisa dibilang merupakan faktor penyebab utama di balik pengalaman Singapura. Bahkan jika para pengusaha berinvestasi terlebih dahulu dan kemudian mencari pasar untuk barang-barang mereka, seperti yang dipertahankan oleh beberapa orang, pasar dalam negeri tidak akan pernah bisa menyerap jumlahnya, jadi liberalisasi perdagangan adalah kunci untuk menjual dalam jumlah besar tanpa harga jatuh. Hasilnya kuat apakah harga relatif atau akumulasi, atau keduanya, eksogen atau endogen.
 
Tinjauan sistematis terbaru dan meta-studi literatur menunjukkan bahwa, secara keseluruhan, hasil empiris pada reformasi kebijakan perdagangan dan pekerjaan agregat (tidak) menunjukkan sedikit efek sistematis [6]. Tetapi ada kecenderungan untuk studi yang mengaitkan keterbukaan dengan pekerjaan untuk menemukan hubungan positif di antara mereka.
Pekerjaan sektoral
Banyak studi sektoral menunjukkan bahwa perlindungan untuk sektor yang bersaing dengan impor atau lonjakan ekspor untuk sektor yang dapat diekspor terkait dengan peningkatan lapangan kerja. Menerjemahkan ini ke dalam liberalisasi perdagangan berbasis luas yang mendorong impor dan ekspor akan menyarankan realokasi tenaga kerja dari yang pertama ke yang terakhir. Mauritius, selama periode industrialisasi, 1971-1991, menawarkan beberapa dukungan untuk pandangan ini. Sektor-sektor yang dapat diekspor memperoleh lapangan kerja (dan upah), tetapi sektor-sektor yang dapat diimpor juga melakukan hal yang sama, meskipun ada hambatan perdagangan yang tampaknya membuka mereka untuk kompetisi yang lebih besar. Fakta terakhir dapat dikaitkan dengan efek keseimbangan umum liberalisasi (dan kebijakan lain yang mendorong industrialisasi), yang menyebabkan ekonomi berkembang dengan kuat. Hasil serupa ditemukan di tempat lain untuk beberapa negara — seperti Vietnam.
skenario yang kurang optimis telah ditemukan untuk liberalisasi perdagangan Brasil pada 1990-an 


[7]. Pemotongan tarif atas barang-barang akhir memindahkan pekerja dari sektor-sektor yang bersaing impor, tetapi eksportir gagal menyerap pekerja-pekerja ini, meskipun mereka memperluas 
output mereka. Dengan demikian, tarif produk yang lebih rendah tampaknya mempercepat transisi pekerja menjadi pengangguran atau keluar dari angkatan kerja. Studi yang sama, bagaimanapun, menemukan bahwa tarif yang lebih rendah pada input ke dalam manufaktur meningkatkan lapangan kerja.

Realokasi sektoral
Bagi negara-negara berkembang, sangat masuk akal bahwa sektor-sektor yang bersaing dengan ekspor dan impor berkembang dengan liberalisasi perdagangan: Industrialisasi menarik pekerja keluar dari pertanian subsisten tingkat rendah dan menjadi lapangan kerja terukur di sektor-sektor yang lebih mudah diamati dan seringkali lebih formal. Setidaknya pada awalnya, transfer ini tidak dibatasi oleh kenaikan upah. Untuk negara-negara yang telah melewati tahap surplus tenaga kerja dalam pembangunan, sebaliknya, realokasi yang diprediksi, ditambah dengan pekerjaan agregat yang cukup diam, tampaknya lebih mungkin.
Untuk alasan ini, cukup merupakan misteri mengapa guncangan kebijakan perdagangan atau perdagangan umumnya tidak menghasilkan realokasi dalam jumlah besar. Sebuah studi yang
berpengaruh menguji apakah liberalisasi perdagangan di 25 negara berpenghasilan menengah memiliki efek realokasi yang diprediksi pada pola pekerjaan lintas sektor dan dalam pekerjaan agregat [8]. Pada tingkat sembilan sektor ekonomi yang luas, reformasi perdagangan muncul, jika ada, untuk mengurangi tingkat rata-rata realokasi tenaga kerja di bawah tingkat pra-reformasi dan hanya memiliki sedikit pengaruh secara agregat. Jika kita melihat data pada tingkat disagregasi yang lebih baik dari sektor manufaktur, reformasi perdagangan dikaitkan dengan peningkatan realokasi (meskipun ini kecil, tidak didefinisikan dengan baik dan tidak terlalu kuat) dan kecenderungan untuk pekerjaan manufaktur agregat turun. Dengan demikian, kebijakan perdagangan tampaknya tidak bertanggung jawab atas kontraksi grosir sektor-sektor, walaupun mereka mungkin mendorong perubahan struktural  dalam sektor manufaktur karena sektor tersebut secara keseluruhan menurun.
Pada nilai nominal, hasil-hasil tersebut merupakan tantangan bagi teori neoklasik, yang, setelah semua, mencirikan manfaat perdagangan sebagai menyusutnya produksi yang bersaing impor dan perluasan produksi yang dapat diekspor [8]. Tetapi mereka mungkin bisa dijelaskan dalam sampel liberalisasi yang diteliti. Seperti di Mauritius, liberalisasi yang berhasil menyebabkan ekspansi ekonomi yang memungkinkan semua sektor untuk bertahan hidup, jika tidak berhasil. Dan dalam banyak kasus, reformasi mewakili kemunduran dari kebijakan pengganti impor yang lebih memilih manufaktur, sehingga kontraksi lapangan kerja di bidang manufaktur tidak mengejutkan.

Liberalisasi bervariasi di antara mereka sendiri dalam kedalaman, sifat, dan konteks, sehingga setiap harapan untuk menemukan efek seragam tunggal seharusnya tidak terlalu tinggi! Apakah negara-negara dengan fleksibilitas pasar tenaga kerja yang lebih besar memiliki realokasi yang lebih besar? Ternyata tidak [8]. Tetapi pengejaran aktif kebijakan untuk mendorong mobilitas lintas sektoral efektif dalam mencapai realokasi yang lebih besar. Dengan demikian, sementara kegagalan teori sederhana tentang perdagangan hanya menggeser sumber daya antar sektor dan tidak lagi harus dicatat, tidak jelas bahwa wawasan dasar teori itu cacat.
 
Realokasi antarsektor
Teori dan kerja empiris baru-baru ini oleh para sarjana perdagangan internasional telah mulai membahas respons terhadap reformasi perdagangan, yang mendukung hasil yang sangat alami sehingga berkaitan dengan perusahaan yang berbeda - heterogenitas perusahaan, dalam bahasa sarjana perdagangan. Realisasi tenaga kerja yang terjadi dari perusahaan yang lebih lemah ke daya yang lebih besar, lebih sering dari yang meningkatkan investasi yang meningkat, peningkatan produktivitas yang lebih tinggi, dan pencarian yang lebih rajin untuk tenaga kerja yang lebih baik. 
Hal ini memungkinkan pertumbuhan yang kuat dalam output sektoral tanpa peningkatan signifikan dalam bidang kerja sektoral. Analisis ini juga menunjukkan bahwa realokasi interirmtoral tetapi 
intrasektoral ini sering membantu dengan meningkatkan permintaan tenaga kerja relatif terhadap tenaga kerja tidak meningkatkan. Sebuah studio seminal tentang perusahaan-perusahaan Meksiko yang menunjukkan peningkatan ekspor yang mengikuti devaluasi peso pada tahun 1994 mendorong perusahaan-perusahaan yang lebih kuat untuk meningkatkan kualitas produk dan tenaga kerja mereka, dan untuk membeli upah yang lebih tinggi [9]. Dalam penelitian ini, seperti dalam banyak lainnya, efek ini digunakan untuk menjelaskan premi pelebaran dari tingkat kerja, tetapi memahami dasar menjelaskan dalam ruang
 
Intensitas keterampilan
Untuk dampak penciptaan serikat pabean, MERCOSUR, pada perusahaan Argentina, pertimbangkan model di mana perusahaan memilih antara dua teknologi produksi yang berbeda dalam intensitas keterampilan mereka [10]. Dalam ekuilibrium ada tiga jenis perusahaan: eksportir intensif keterampilan, eksportir tidak terampil, dan perusahaan berorientasi domestik tidak terampil.
Pengurangan tarif di pasar ekspor mendorong lebih banyak perusahaan untuk masuk dan meningkatkan ke teknologi intensif keterampilan, meningkatkan pangsa pasar perusahaan yang lebih produktif. Model ini tampaknya sesuai dengan data dengan cukup baik.
 
Memperluas model menunjukkan bahwa keuntungan dari perusahaan yang lebih baik dan investasi berikutnya menghasilkan permintaan yang lebih tinggi untuk pekerja terampil dan meningkatkan premi keterampilan. Ini memaksa perusahaan yang paling tidak produktif untuk menurunkan keterampilan yang mereka cari. Menguji model terakhir pada data perusahaan Argentina yang mengeksploitasi penurunan diferensial dalam tarif Brasil di seluruh sektor menunjukkan bahwa perusahaan kecil menurunkan keterampilan, sementara perusahaan besar meningkatkannya sebagai respons terhadap penurunan tarif Brasil. Efek bersih pada pangsa tenaga kerja terampil adalah positif dan menyiratkan bahwa sepertiga dari peningkatan pangsa kerja tenaga kerja terampil di Argentina antara tahun 1992 dan 1996 dijelaskan oleh pengurangan tarif Brasil.
 
Perhatikan bahwa analisis melihat pengurangan perlindungan di pasar ekspor utama Argentina, bukan di Argentina sendiri. Tetapi sifat dari perjanjian perdagangan seperti MERCOSUR bahwa untuk memenangkan konsesi oleh mitra, Argentina harus menawarkan untuk mengurangi perlindungannya sendiri. Ini akan memengaruhi perusahaan pesaing impor Argentina, dan hasil lain dalam literatur
sangat menyarankan bahwa meningkatnya persaingan di sektor-sektor ini juga cenderung cenderung lebih kuat daripada perusahaan yang lebih lemah, dan tenaga kerja terampil daripada tenaga kerja tidak terampil.
 
Buruh informal
Salah satu masalah yang menarik komentar kebijakan adalah apakah liberalisasi perdagangan mengarah pada penekanan yang lebih besar pada pasar tenaga kerja informal daripada formal. 
Pertanyaan itu sarat dengan kesulitan karena seseorang perlu memiliki gagasan yang jelas tentang apa tepatnya jumlah informalitas, yang bervariasi di setiap negara dan studi. Meski begitu, buktinya cukup beragam [11]. Hasilnya bisa dibilang tergantung pada seberapa fleksibel pasar tenaga kerja. 
Jika mereka tidak fleksibel — seperti di Kolombia pada akhir 1980-an — perusahaan di sektor yang berkembang akan lebih menyukai pekerjaan informal daripada formal karena lebih murah dan lebih mudah untuk dilepaskan. Tetapi jika mereka lebih fleksibel — seperti di Brasil dan Kolombia setelah 
1990 — ini tidak benar.
 
Keterbatasan dan kesenjangan
Analisis dibatasi oleh beberapa faktor. Tetapi akan keliru untuk menyimpulkan — dari fakta bahwa kesimpulan bahwa kebijakan perdagangan tidak banyak berpengaruh pada ketenagakerjaan memiliki keterbatasan teknis — karena itu dampaknya kuat (dan dari tanda apa pun yang lebih disukai seseorang) Masih menjadi masalah bahwa upaya terbaik kita dalam teori dan empiris menuntun kita untuk berharap sedikit dari kebijakan perdagangan internasional untuk pekerjaan agregat. Batasan tersebut meliputi:
 
Ada bahaya bahwa kebijakan perdagangan dipengaruhi oleh hasil pasar kerja (endogenitas), sehingga mengamati bahwa hubungan dapat bercampur dengan apa pun yang mempengaruhi kebijakan 
perdagangan terhadap pasar tenaga kerja. Mendefinisikan sikap kebijakan perdagangan keseluruhan dan pekerjaan agregat menghadirkan tantangan. Misalnya, haruskah pekerjaan terampil dilihat secara berbeda dari pekerjaan tidak terampil? 
Bagaimana seharusnya seseorang mengukur keterbukaan ekonomi?
Sebagian besar dampak dari perdagangan dan kebijakan perdagangan cenderung pada upah seperti pada pekerjaan. Sampel dari perubahan kebijakan perdagangan utama - yang cukup besar untuk bahkan memiliki pengaruh yang dapat terdeteksi pada pekerjaan agregat - kecil. Ini juga mencerminkan keadaan khusus saat itu terjadi (sekitar 1980-2000) dan banyak heterogenitas di seluruh kasus. Jadi, validitas eksternal dari literatur saat ini masih jauh dari sempurna sebagai panduan menuju liberalisasi di masa depan.
 
Ringkasan dan saran kebijakan
Efek dari perubahan kebijakan perdagangan utama terhadap pekerjaan agregat beragam, meskipun ada bukti bahwa, dalam jangka panjang, liberalisasi perdagangan meningkatkan lapangan kerja (setidaknya di negara-negara berkembang) dan bahwa ekonomi yang lebih terbuka memiliki tingkat pekerjaan yang lebih tinggi, hal-hal lain dianggap sama. . Memang, seseorang dapat mengidentifikasi kasus-kasus di  mana liberalisasi perdagangan diikuti oleh pertumbuhan lapangan kerja yang sangat cepat. Masalahnya, tentu saja, adalah bahwa dalam kasus-kasus ini lebih dari sekedar kebijakan perdagangan telah diubah, sehingga atribusi pasti agak kabur.

Tidak ada hubungan antara Perdagangan Internasional dan Ketenagakerjaan

mereka tawarkan — atau setidaknya mengurangi tingkat penurunan. Tetapi perlindungan seperti itu, melalui pengaruhnya pada bagian ekonomi lainnya, kemungkinan akan mengurangi pekerjaan yang tersedia di sektor-sektor yang berorientasi ekspor.
 
Kebijakan perdagangan bukan merupakan kebijakan ketenagakerjaan dan seharusnya tidak diharapkan memiliki efek besar pada ketenagakerjaan secara keseluruhan. Ketika itu terjadi, alasannya adalah bahwa ia berinteraksi dengan distorsi di pasar tenaga kerja, yang bervariasi dari satu negara ke negara dan dari waktu ke waktu. Sementara efek langsung mengurangi hambatan perdagangan cenderung menjadi peningkatan pengangguran, jangka panjang melihat pembalikan kenaikan ini dan akhirnya penurunan pengangguran. Artinya, penyesuaian membutuhkan waktu, tetapi, setidaknya dalam dimensi ini, menawarkan pengembalian positif dalam jangka panjang.
 
Di mana perdagangan lebih ditentukan oleh perbedaan dalam faktor pendukung daripada oleh perbedaan dalam teknologi, teori memperkirakan bahwa di negara-negara yang kaya modal, liberalisasi perdagangan akan mendorong pengembalian modal dan benar-benar mengurangi mereka menjadi tenaga kerja. Jika friksi pencarian kerja ditambahkan ke pasar tenaga kerja, efek yang terakhir juga menghasilkan pengangguran yang lebih tinggi. Dalam ekonomi yang berlimpah tenaga kerja, tenaga kerja adalah pemenang dari liberalisasi perdagangan, dan hasilnya adalah pengangguran yang lebih rendah.
 
Pertanyaan kunci untuk hasil agregat bukanlah apakah persaingan impor menghancurkan pekerjaan di sektor-sektor yang terkena dampak, tetapi apakah pekerja yang dipindahkan diserap kembali ke dalam angkatan kerja dengan cepat dan tanpa mengorbankan upah terlalu banyak.
 
Banyak studi sektoral menunjukkan bahwa perlindungan untuk sektor yang bersaing dengan impor atau lonjakan ekspor untuk sektor yang dapat diekspor terkait dengan peningkatan lapangan kerja. Menerjemahkan ini ke dalam liberalisasi perdagangan berbasis luas yang mendorong impor dan ekspor akan menyarankan realokasi tenaga kerja dari yang pertama ke yang terakhir. Reformasi perdagangan tampaknya tidak menyebabkan realokasi tenaga kerja yang besar antar sektor, tetapi masih dapat menyebabkan realokasi antar sektor dari perusahaan yang kurang efisien ke sektor yang lebih efisien. Realokasi tenaga kerja terjadi dari perusahaan yang lebih lemah ke yang lebih kuat, sering kali disertai dengan peningkatan investasi yang belakangan, peningkatan produktivitas yang lebih tinggi, dan pencarian yang lebih rajin untuk tenaga kerja yang lebih baik.
 
Pesan kebijakan dari pekerjaan ini jelas: Jangan berharap kebijakan perdagangan internasional memiliki efek besar atau bahkan dapat diprediksi pada pekerjaan agregat. Pembuat kebijakan yang peduli dengan tingkat ketenagakerjaan harus memikirkan tentang keseimbangan ekonomi agregat dan institusi pasar tenaga kerja, dan tidak mengganggu perdagangan internasional.
 
Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan terima kasih kepada wasit anonim dan editor IZA World of Labour untuk banyak saran bermanfaat pada draft sebelumnya.
 
Minat bersaing Proyek Dunia Perburuhan IZA berkomitmen pada Prinsip-prinsip Panduan Integritas Penelitian IZA. 
Penulis menyatakan telah mematuhi prinsip-prinsip ini.
 
© L. Alan Winters
creation/long