Kebijakan Omnibus Law Cipta Kerja
Adalah Kebijakan Perdagangan bukan Ketenagkerjaan
Oleh: Eduard P. Marpaung
Dari 11 kluster Cipta Kerja:
1. Penyederhanaan perizinan tanah 2. Persyaratan investasi 3. Ketenagakerjaan 4. Kemudahan dan perlindungan UMKM 5. Kemudahan berusaha 6. Dukungan riset dan invoasi 7. Administrasi pemerintahan 8. Pengenaan sanksi 9. Pengendalian lahan 10. Kemudahan proyek pemerintah 11. Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)
Semuanya adalah titipan Perdagangan Bebas atau WTO melalui WB, kecuali ketenagakerjaan. Karena ketenagakerjaan bukanlah bagian dari proteksi perdagangan. Namun anehnya WB selalu memasukkan Ketenagakerjaan menjadi salahsatu list hambatan dalam Kemudahan Berinvestasi.Negara-negara maju biasanya lebih menuntut keterbukaan perdagangan, padahal sebnarnya mereka membungkus proteksi dengan alasan sektoral. Pertanian, logam, dan beberapa sektor unggulan biasanya mereka kecualikan. Tapi sangat keras menekan Negara miskin dan berkembang untuk membuka pasar seluas-luasnya untuk membuka hambatan perdagangan (yang mereka cover dengan idiom investasi).
Dalam tulisan L. Alan Winters sebelumnya telah dikupas bagaimana Kebijakan perdagangan bukan merupakan kebijakan ketenagakerjaan dan seharusnya tidak diharapkan memiliki efek besar pada keseluruhan pekerjaan. Ketika itu terjadi, itu karena ia berinteraksi dengan distorsi di pasar tenaga kerja, yang bervariasi dari satu negara ke negara dan dari waktu ke waktu. Tidak ada generalisasi yang layak, dan berusaha untuk membuatnya cukup banyak merupakan tugas orang bodoh. Pembuat kebijakan yang ingin meningkatkan lapangan kerja, harus memikirkan tentang keseimbangan ekonomi agregat dan institusi pasar tenaga kerja, dan tidak mengganggu perdagangan internasional.
Kebijakan stimulus terus menerus untuk memancing
investor masuk atau memenuhi semua keinginan dan peluang membuka sebebas-bebasnya
pasar adalah tindakan bodoh. Bahkan
proteksi diperlukan untuk sektor tertentu dalam rangka mempertahankan
pekerjaan, walaupun dalam jangka panjang juga tidak positif. Membuka
perdagangan seluas-luasnya untuk memudahkan hambatan pajak, tariff dan bea juga
tidak punya pengaruh cepat terhadap penciptaan lapangan kerja. Justru
mengakibatkan banyaknya kehilangan pekerjaan, mengingat akan sangat terbuka
peluang bagi import atau produk barang atau teknologi dari luar masuk dan mematikan produk dan
hilangnya peluang kerja dalam negeri.
Mungkin jangka panjang dapat menyerap tenaga kerja, namun itupun belum
ada kepastian, karena ada banyak aspek dalam ekonomi makro yang juga dapat
menghambat perdagangan.
Kebijakan
pemerintah untuk memberi stimulus berlebihan dalam struktur OLCK sama sekali
tidak memiliki premis atau riset yang konkrit. Bahkan berdasarkan riset L. Alan Winters tidak ada kaitan sama sekali
cipta kerja dengan kebijakan stimulus perdagangan.
Lalu untuk
apa kebijakan OLCK ini dibuat? Tidak lain untuk memenuhi keinginan para
investor tertentu dari lokal dan global yang memiliki kategori kerakusan.
Karena kenyataannya dalam OLCK ini memuat berbagai produk pengurangan hak-hak
buruh dan kenyamanan dari para mavia pemodal untuk memeras buruh.
1.
Penghilangan kewajiban Negara dalam perlindungan kehilangan pekerjaan secara
konstitusi
2.
Memfleksibelkan seluas-luasnya alih daya dan membuka peluang tidak adanya
tanggungjawab atas hak-hak buruh baik oleh pemberi pekerjaan maupun kontraktor.
3. Tidak
adanya pengecualian bagi pekerjaan yang dapat dilakukan kontrak jangka pendek
atau sifat pekerjaan yang bisa dikerjakan secara tidak layak. Negara
melegitimasi pekerjaan buruk secara konstitusi menjadi halal.
4.
Pengurangan pesangon dengan alasan pesangon Indonesia terbesar di Asean.
Padahal Pengusaha Indonesia adalah pembayar kontribusi
terendah untuk jaminan sosial termasuk untuk
pensiun dan hari tua. Bahkan tidak sampai setengah Vietnam yang
disebut-sebut sukses menyabet hati para investor. Bila dihitung pesangon buruh hanya 8%
kontribusi dari pengusaha per bulan,
bila ditambahkan ke kontribusi lain tidak sampai 15%. Sementara Vietnam
pengusahanya membayar kontribusi 18% belum ditambah pesangon yang sekitar 4% an
per bulan. Bahkan dari segi Upah Minimum, di Vietnam tidak ada lagi yang
dibawah 2 juta per bulan, sementara di Jawa Barat dan Jawa Tengah masih ada
yang 1,6 s/d 1,8 juta per bulan. Yang
nyata adalah bahwa banyak pengusaha yang tidak menabungkan uang pesangon pada
lembaga keuangan atau asuransi, tapi dikantongi di dompet kas perusahaan.
Sehingga ketika tiba pembayaran pesangon menjadi berat dan menyalahkan
pemerintah. Pegusaha seperti ini adalah pengusaha rakus yang mau enaknya saja. Memang
ada tambahan jaminan kehilagan pekerjaan, tapi sepenuhnya diambil dari iuran
buruh yang akan dikurangkan dari hak upahnya.
5.
Perpanjangan Lembur.
Ini juga,
konsep yang tidak nyambung. Negara-negara maju berlomba mengurangi jam kerja dengan
tanpa mengurangi konpensasi, agar produktivitas meningkat. Di samping itu ada prinsip
solidaritas, agar tenaga kerja yang menganggur dapat terserap. Dengan
pengurangan jam kerja 5 jam seminggu, maka untuk 7 orang buruh dapat menambah
satu penganggur masuk dalam angkatan kerja. Di Indonesia justru menambah lembur
satu jam per hari. Artinya bila seminggu buruh masuk 6 hari, maka aka nada 6
jam kerja yang bertambah. Untuk 6 orang yang lembur telah hilang satu peluang
kerja. Bila ada 10 juta saja yang lembur maka akan ada 1,6 juta buruh yang
terhambat masuk ke dunia kerja. Bukankah bila ini konsep pemerintah , ini merupakan konsep yang
tolol untuk CIPTA KERJA? Dari analisa
ini saja gampang sekali menilai bahwa RUU ini tidak untuk Ketenagakerjaan.
6. Cuti
Besar dan cuti Maternitas dihapus
Buruh tidak
diperkenankan cuti Besar, Cuti Haid, Melahirkan, Keguguran, menghitankan,
membabtiskan anak, Cuti Menjalankan tugas Negara atau Serikat Buruh, Cuti Istri
melahirkan, Sakit, dengan mendapat upah.
Tidak ada
lagi peri kemanusiaan dan keberadaban budaya. Juga Kebebasan berserikat untuk
menjalankan tugas organisasi atau Negara dengan kompensasi upah. Negara tidak memproteksi kebebasan berserikat
sesuai Konvensi ILO 98. Tidak boleh ada tindakan yang menyebabkan
pemberhentian, atau secara lain merugikan buruh berdasarkan keanggotaan serikat
buruh atau karena turut serta dalam
tindakan-tindakan serikat buruh di luar jam-jam bekerja atau dengan persetujuan
majikan dalam waktu jam bekerja. Negara dalam hal ini diabaikan dan tidak dihargai dan dilecehkan. Hak-hak
perempuan tidak dihargai dan Negara abai memberi perlindungan reproduksi dan
maternitas sesuai Konvensi ILO, Universal Social Security Coverage.
7.
Mengijinkan pekerjaan berbasis satuan dan hasil.
Kosep ini
tidak jelas sama sekali. Karena tidak ada kejelasan bagaimana hinungan keja dan
bagaimana kompensasinya dibayarkan. Karena basis satuan waktu dan hasil
biasanya sifatnya borongan ke alih daya dan pihak alih daya yang memanage
pekerjaan dan kompensasi, yang pada gilirannya kompensasi dibayarkan mingguan,
harian dan bulanan. Karena tidak ada managemen yang mau repot ngurusin
konpensasi berdasarkan konsep tradisional. Kecuali ini diberlakukan untuk
kemitraan. Namun kemitraan seperti online transport, taxi, transporter, tidak
dijelaskan dalam konsep ini. Bahkan RUU ini terkesan melempar semua ke
Peraturan Pelaksana.
8. Struktur
Upah
Sruktur Upah
dibagi dalam 3: UMP, Upah Padat Karya dan Upah Buruh Mikro. 1. Untuk UMP, tetap
ditentukan oleh Gubernur, dan bila UMP dengan rumus Nasional tidak ditaati maka
dikenakan sanksi tidak hanya bagi Gubernur tapi juga Buruh dengan menerima UMP
tahun sebelumnya. 2. Untuk upah Padat Karya (tidak jelas devinisinya) karena
mayoritas manufaktur kita mengandalkan keunggulan komparatif tenaga kerja
murah. Untuk UPK ini dibayarkan dengan system negoisasi Bipartit. Sementara untuk
Upah Mikro, dapat dibayarkan sebatas garis kemiskinan Rp. 425.250/bulan, sesuai
hasil hitungan BPS tahun ini. Para Pelaksanan alih daya yang memiliki buruh
sampai 50 TK dengan modal dibawah 1 Milyar, bolehlah dapat untung besar, perbanyak
lembur dan tidak perlu banyak pekerja. Buruhnya paling banter dapat 1,5 juta
sebulan dengan bekerja 12 jam sehari. 7
to 7 selama 6 hari. Dijamin anak gak pernah ketemu dan libur ambir
lembur besar.
Kesimpulan:
1. Bahwa
Omnibus Law Cipta Kerja OLCK adalah konsep RUU Perdagangan yang memaksakan
konteks ketenagakerjaan masuk menjadi objek eksploitasi.
2. Tidak ada
hubungan yang secara teoritis dan empirik
bahwa kebijakan perdagangan akan berdampak terhadap penyerapan tenaga
kerja apalagi terhadap peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh. Justru yang
diekspose secara langsung dalam RUU ini adalah eksploitasi terhadap ketenagakerjaan.
3. Bahwa
system Ketenagakerjaan di Indonesia tidak lebih kaku dari system
ketenagakerjaan di Asean lainnya. Baik dari segi pesangon (konpensasi jaminan
sosial yang dibayar pengusaha), upah, kebebasan berserikat dan hubungan
ketenagkerjaan. Justru 4 tahun
belakangan ini pemogokan jauh berkurang,
dialog sosial membaik, bahkan pada saat May Day dilakukan ekspose dan kampanye
dengan damai.
4. RUU ini
layak untuk ditolak oleh buruh yang dijadikan objek, seolah-olah diciptakan
untuk penyerapan tenaga kerja, padahal yang terjadi justru sebaliknya yang
terlihat kontras di peningkatan jam lembur. Pemerintah telah menjadikan
Liberalisme Perdagangan sebagai agama untuk penciptaan lapangan kerja. Reseach
di banyak Negara membuktikan bahwa tidak ada kaitan sama sekali keterkaitan
antara kebijakan perdagangan meningkatkan penyerapan tenaga kerja.
5.
Pemerintah tidak memiliki konsep dan bangunan narasi yang terstruktur berkenaan
OLCK ini, terbukti banyaknya pasal yang membutuhkan interpretasi dalam bentuk
peraturan. Hal ini justru akan menambah banyaknya peraturan baru, uji di MK dan memancing banyak mafia hukum untuk bermain
di ranah birokrasi.
6. Meminta
pemerintah untuk focus membenahi perekonomian melalui implementasi
kebijakan-kebijakan yang cepat dan berdampak. Karena ada urgensi penurunan
pertumbuhan ekonomi yang cukup tajam dalam bidang investasi dari berbagai Negara baik sektor perkebunan, Olahan Sawit, pariwisata, industry
dan transportasi akibat wabah virus Corona.