konsolidasi buruh

Jumat, 16 September 2016

OBVITNAS BISNIS SWASTA MENGGUNAKAN ALAT DAN INFRASTRUKTUR NEGARA


Standard Internasional berkenaan dengan perburuhan harus ditaati Negara di dunia, terutama Negara yang telah meratifikasi seperti Indonesia. Dalam hal ini Indonesia telah meratifikasi 8 konvensi standard ILO termasuk hak berserikat dan berunding yakni Konvensi ILO 89 dan 98. 
Kepres No. 63 mengenai Objek Vital Nasional adalah kebijakan karet yang dapat berpengaruh terhadap pelaksanaan kebebasan berpendapat dan melakukan aksi mogok ataupun demonstrasi pada lokasi yang dianggap Objek Vital Nasional.
Dalam SK 466/M-IND/Kep/8/2014, lebih dari 63 perusahaan dan kawasan industry telah ditetapkan menjadi Objek Vital Nasional. Juga Keputusan Menteri Ekonomi dan Sumber Daya Manusia No. 1610K/02 MEM/2004, dari 252 sektor telah ditetapkan 33 sektor BP Migas, 186 PT Pertamina, 2 PT PGN, 25 PLN dan 6 oleh Departemen Pertanian. Total keseluruhan sekitar 270.
Di dalam Undang-Undang No.9 tahun 2008, pasal 9 ayat
1. Bentuk penyampaian pendapat di muka umum dapat dilaksanakan dengan:
a. Unjuk rasa atau demontrasi;
b. Pawai;
c. Rapat umum; dan atau
d. Mimbar bebas.
2: Penyampaianpendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan ditempat-tempat terbuka untuk umum, kecuali:
a. di lingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah,instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api,terminal angkutan darat, dan
b. objek-objek vital nasional;
c. pada hari besar nasional.
Mogok, hanyalah salah satu unsur dari penyampaian pendapat di muka umum. Dengan menggunakan pasal ini setiap aksi mogok atau unjuk rasa buruh adalah perbuatan melawan hokum/illegal di objek vital nasional dan dapat dipidana.
Selain itu Militer dan polisi juga dapat sewaktu-waktu diminta bantuan untuk melakukan tindakan-tindakan mencampuri urusan hubungan industry yang sebenarnya telah secara spesifik diatur oleh UU Ketenagakerjaan.
Selain itu peluang korupsi menjadi sangat besar, karena pembiayaan pengamanan OBVITNAS dibebankan kepada pengelola OBVITNAS. Kebijakan ini sendiri adalah sebuah kebijakan koruptif yang memungut dana dari masyarakat tanpa kepastian dan pengawasan anggaran oleh Negara. Praktik ini akan menyuburkan budaya pemerasan terhadap perusahaan swasta di luar pajak resmi. Hal ini berbanding terbalik dengan niatan unutk mengundang dan mengamankan investasi.
Berdasarkan laporan keuangan Freeport-McMoRan Copper & Gold, disebutkan anggaran keamanan untuk di Indonesia mencapai US$ 14 juta. Uang keamanan ini menjadi resmi setelah Keputusan Menteri berkenaan dengan Objek Vital Nasional. Bagaimana dengan nasib OBVITNAS lainnya. Berapa setoran mereka ke Polisi dan Militer? Apakah keuangan ini diaudit oleh BPK?
Permainan bisnis keamanan ini telah berdampak pada Hak Azasi Manusia dan Buruknya cermin Negara kita dalam penegakan HAM dan ranking tujuan investasi.
Lantas, apa yang perlu dipertahankan dari Kepmenperin berkenaan dengan OBVITNAS ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar