Opini: Eduard P. Marpaung
Data BPJS
Ketenagakerjaan tahun 2019 terdapat 114.000 kasus kecelakaan kerja, tahun 2020
terjadi peningkatan pada rentang Januari hingga Oktober 2020 BPJS
Ketenagakerjaan mencatat terdapat 177.000 kasus kecelakaan kerja.
Angka tersebut tentu
lebih besar jumlahnya, karena belum semua tenaga kerja dicover oleh BPJS
Ketenagakerjaan.
Berdasarkan data BPJS Tenaga Kerja 2018 mencapai 147 ribu kasus. Kecelakaan ini
menyebabkan 4.678 orang atau 3,18 persen mengalami cacat, sedangkan 2.575 atau
1,7 persen meninggal dunia. Artinya, dalam satu hari sebanyak 19 orang peserta
BPJS Ketenagakerjaan mengalami kecacatan dan meninggal dunia.
Tentu
angka ini lebih besar juga dari angka sebenarnya yang dicover BPJS Tenaga
Kerja. Karena beberapa kecelakaan kerja yang fatal mayoritas buruhnya yang
meninggal dunia tidak menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan dan tak memperoleh
santunan. Seperti yang terjadi di Medan menewaskan 30 orang, hanya satu orang
yang diikutsertakan menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaa dan mendapatkan santunan.
Yang lain tidak mendapatkan santunan dan kompensasi struktural dari Negara.
Sama
halnya yang terjadi dengan kebakaran terjadi
di PT Panca Buana, yang merupakan pabrik pembuatan kembang api di Komplek
Pergudangan Kosambi, Kab. Tangerang, Kamis (26/10/2017). Korban meninggal dunia
atas peristiwa tersebut mencapai 47 Orang. Dari jumlah tersebut, korban yang
terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan sebanyak 3 orang saja yang menerima santunan.
Bila dihitung
berdasarkan perbandingan ini, angka kecelakaan kerja berdasarkan data santunan
dari BPJS Ketenagakerjaan angkanya jauh lebih kecil. Angka buruh lepas di
perusahaan terus meningkat. Mayoritas buruh yang tidak mendapatkan santunan
dari BPJS Tenaga Kerja berstatus kontrak dan harian lepas. Yang justru
dipermudah perekrutannya di Omnibus Law Cipta Kerja.
Angka kecelakaan kerja
baik yang fatal dan ringan akan terus meningkat sepanjang tahun. Kehilangan
angka buruh produktif akan semakin meningkat seiring banyaknya buruh yang
mengalami kecacatan tetap.
Tidak di perusahaan industry
kecil menengah saja kecelakaan kerja fatal bisa terjadi. Di perusahaan Global
seperti di Salah satu peristiwa yang menjadi
di PT Mandom Indonesia Tbk pada 10 Juli 2015 di kawasan industri MM 2100,
Cibitung, Bekasi, Jawa Barat. Kebakaran tersebut merenggut nyawa 22 orang buruh dan 37 orang mengalami luka-luka akibat
ledakan gas.
Juga Free Port Papua sepanjang 2013 dan 2014 berturut-turut terjadi
kecelakaan kerja yang merenggut nyawa.
Ada beberapa factor tingginya
kecelakaan kerja:
1.
Lemahnya Pengawasan
Ketenagkerjaan.
2.
Perlengkapan Alat Perlindungan
Diri yang tidak standard.
3.
Kondisi Kerja dan
Tempat Kerja dan alat kerja yang tidak standard.
4.
Pendidikan K3 yang
rendah dan kurang sosialisasi.
5.
Team K3 yang tidak
fungsional di Perusahaan.
6.
Regulasi Perundangan
yang lemah dalam penerapan dan sanksi.
7.
Koordinasi antar Lembaga
yang kurang efektif.
UU No 1 tahun 1970
tentang K3 sudah terlalu tua dan tidak standard. Salah satunya berkenaan dengan
sanksi yang sangat ringan: Pada pasal 15 ayat 2, terdapat pernyataan “Ancaman
pidana atas pelanggarannya dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga)
bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah).
Dengan sanksi yang
seperti ini, bagi para penanggung jawab di perusahaan tidak ada rasa takut atau
jera untuk melanggar standarisasi di perusahaan untuk melindungi nilai-nilai
kemanusiaan dan hak azasi buruh untuk memperoleh tempat kerja yang aman.
Berkenaan dengan perlindungan
hak buruh tambang, sebaiknya juga menjadi tanggungjawab Kementerian
Ketenagakerjaan, bukan Kementerian Pertambangan. Karena Standard ILO terkait hak
buruh tambang di bidang K3 adalah bidang ketenagakerjaan, bukan bagian dari industry (Pertambangan).
Buruh tidak bisa dimanage sebagai komoditas (Industri), tapi harus berbasis
kemanusiaan (ketenagakerjaan).
Amandemen UU No. 1
tahun 1970 sudah selayaknya dilakukan, untuk sekaligus meratifikasi beberapa
Konvensi ILO terkait K3 untuk buruh tambang Konvensi 176, Konvensi ILO No. 188 tahun 2007
Mengenai Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan. Agar keamanan kerja pada sektor Nelayan
dan Kemaritiman juga dapat diadopsi. Karena saat ini, perlindungan kemaritiman
dan nelayan justru dibawah pengawasan Kementerian Perhubungan bukan
Ketenagakerjaan. Hal ini akan mempersulit akses bagi serikat buruh, dan
Pengawasan Ketenagakerjaan melakukan pengawasan dan investigasi.
Amandemen
UU No. 1 tahun 1970 ini juga terlalu umum dan tidak menspesifikasi jenis industry
dan kimia berbahaya dan prosedur pengawasannya. Sehingga perusahaan dapat
secara longgar dan sangat sulit untuk mengukur pelanggaran dalam standarisasi
K3.
Sudah
selayaknya orang bekerja bebas dari rasa takut untuk kehilangan masa depannya
akibat kecelakaan kerja, luka, terpapar radiasi, cacat tetap, kematian, penyakit
akibat kerja. Negara harus memberi perlindungan yang kuat melalui UU yang
modern dan mengikuti zamannya.