konsolidasi buruh

Kamis, 12 Agustus 2021

Merdeka Atau Mati Celaka

 Opini: Eduard P. Marpaung

Data BPJS Ketenagakerjaan tahun 2019 terdapat 114.000 kasus kecelakaan kerja, tahun 2020 terjadi peningkatan pada rentang Januari hingga Oktober 2020 BPJS Ketenagakerjaan mencatat terdapat 177.000 kasus kecelakaan kerja.

Angka tersebut tentu lebih besar jumlahnya, karena belum semua tenaga kerja dicover oleh BPJS Ketenagakerjaan.

Berdasarkan data  BPJS Tenaga Kerja  2018 mencapai 147 ribu kasus. Kecelakaan ini menyebabkan 4.678 orang atau 3,18 persen mengalami cacat, sedangkan 2.575 atau 1,7 persen meninggal dunia. Artinya, dalam satu hari sebanyak 19 orang peserta BPJS Ketenagakerjaan mengalami kecacatan dan meninggal dunia.

Tentu angka ini lebih besar juga dari angka sebenarnya yang dicover BPJS Tenaga Kerja. Karena beberapa kecelakaan kerja yang fatal mayoritas buruhnya yang meninggal dunia tidak menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan dan tak memperoleh santunan. Seperti yang terjadi di Medan menewaskan 30 orang, hanya satu orang yang diikutsertakan menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaa dan mendapatkan santunan. Yang lain tidak mendapatkan santunan dan kompensasi struktural dari Negara.

Sama halnya yang terjadi dengan kebakaran terjadi di PT Panca Buana, yang merupakan pabrik pembuatan kembang api di Komplek Pergudangan Kosambi, Kab. Tangerang, Kamis (26/10/2017). Korban meninggal dunia atas peristiwa tersebut mencapai 47 Orang. Dari jumlah tersebut, korban yang terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan sebanyak 3 orang saja yang  menerima santunan.

Bila dihitung berdasarkan perbandingan ini, angka kecelakaan kerja berdasarkan data santunan dari BPJS Ketenagakerjaan angkanya jauh lebih kecil. Angka buruh lepas di perusahaan terus meningkat. Mayoritas buruh yang tidak mendapatkan santunan dari BPJS Tenaga Kerja berstatus kontrak dan harian lepas. Yang justru dipermudah perekrutannya di Omnibus Law Cipta Kerja.

Angka kecelakaan kerja baik yang fatal dan ringan akan terus meningkat sepanjang tahun. Kehilangan angka buruh produktif akan semakin meningkat seiring banyaknya buruh yang mengalami kecacatan tetap.

 

Tidak di perusahaan industry kecil menengah saja kecelakaan kerja fatal bisa terjadi. Di perusahaan Global seperti di Salah satu peristiwa yang menjadi di PT Mandom Indonesia Tbk pada 10 Juli 2015 di kawasan industri MM 2100, Cibitung, Bekasi, Jawa Barat. Kebakaran tersebut  merenggut nyawa 22 orang buruh  dan 37 orang mengalami luka-luka akibat ledakan gas.

Juga  Free Port Papua  sepanjang 2013 dan 2014 berturut-turut terjadi kecelakaan kerja yang merenggut nyawa.

Ada beberapa factor tingginya kecelakaan kerja:

1.      Lemahnya Pengawasan Ketenagkerjaan.

2.      Perlengkapan Alat Perlindungan Diri yang tidak standard.

3.      Kondisi Kerja dan Tempat Kerja dan alat kerja yang tidak standard.

4.      Pendidikan K3 yang rendah dan kurang sosialisasi.

5.      Team K3 yang tidak fungsional di Perusahaan.

6.      Regulasi Perundangan yang lemah dalam penerapan dan sanksi.

7.      Koordinasi antar Lembaga yang kurang efektif.

UU No 1 tahun 1970 tentang K3 sudah terlalu tua dan tidak standard. Salah satunya berkenaan dengan sanksi yang sangat ringan: Pada pasal 15 ayat 2, terdapat pernyataan “Ancaman pidana atas pelanggarannya dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah).

Dengan sanksi yang seperti ini, bagi para penanggung jawab di perusahaan tidak ada rasa takut atau jera untuk melanggar standarisasi di perusahaan untuk melindungi nilai-nilai kemanusiaan dan hak azasi buruh untuk memperoleh tempat kerja yang aman.

Berkenaan dengan perlindungan hak buruh tambang, sebaiknya juga menjadi tanggungjawab Kementerian Ketenagakerjaan, bukan Kementerian Pertambangan. Karena Standard ILO terkait hak buruh tambang di bidang K3 adalah bidang  ketenagakerjaan, bukan bagian dari industry (Pertambangan). Buruh tidak bisa dimanage sebagai komoditas (Industri), tapi harus berbasis kemanusiaan (ketenagakerjaan).

Amandemen UU No. 1 tahun 1970 sudah selayaknya dilakukan, untuk sekaligus meratifikasi beberapa Konvensi ILO terkait K3 untuk buruh tambang Konvensi 176, Konvensi ILO No. 188 tahun 2007 Mengenai Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan. Agar keamanan kerja pada sektor Nelayan dan Kemaritiman juga dapat diadopsi. Karena saat ini, perlindungan kemaritiman dan nelayan justru dibawah pengawasan Kementerian Perhubungan bukan Ketenagakerjaan. Hal ini akan mempersulit akses bagi serikat buruh, dan Pengawasan Ketenagakerjaan melakukan pengawasan dan investigasi.

Amandemen UU No. 1 tahun 1970 ini juga terlalu umum dan tidak menspesifikasi jenis industry dan kimia berbahaya dan prosedur pengawasannya. Sehingga perusahaan dapat secara longgar dan sangat sulit untuk mengukur pelanggaran dalam standarisasi K3.

Sudah selayaknya orang bekerja bebas dari rasa takut untuk kehilangan masa depannya akibat kecelakaan kerja, luka, terpapar radiasi, cacat tetap, kematian, penyakit akibat kerja. Negara harus memberi perlindungan yang kuat melalui UU yang modern dan mengikuti zamannya.