Perdagangan Bebas dilakukan untuk terjadinya perdagangan yang cepat tanpa
hambatan dalam bentuk tarif, pajak, dan proteksionisme. Namun kenyataannya
aturan WTO juga memungkinkan mengaturan pengecualian produk dan perlindungan terhadap
berbagai subsidi, kekahasan internal untuk berbagai alasan.
Kesepakatan perdagangan dengan Negara anggota EU sudah
banyak dilakukan, wajar bila EU dan Indonesia menginginkan adanya perjanjian
perdagangan yang lebih luas cakupannya ke semua Negara anggota melalui
EU-Indonesia CEPA.
Dengan meluasnya kesepakatan dagang ini, rakyat kedua Negara
yang diwakili oleh organisasi sipil perlu dilibatkan decara terbuka dalam negoisasi
yang dilakukan. Hal ini wajib, karena kesepakatan kedua Negara akan berdampak
terhadap perubahan peraturan perundangan di Negara yang bersangkutan.
Selain dampak tidak
langsung yang diakibatkan peraturan, dampak langsung yang terjadi akibat dari
derasnya arus perdagangan dan investasi yang diantaranya:
1. Termarginalisasinya kelompok rakyat kecil, buruh, nelayan
dan para informal ekonomi.
Dengan arus modal yang cepat, maka akan terjadi modernisasi
alat kerja industry. Cakupan lahan untuk modal semakin luas dengan menggunakan
tenaga kerja yang semakin minim. Jumlah tenaga kerja Indonesia yang besar tidak
akan mampu mengakses pekerjaan yang disediakan mayoritas dikerjakan secara modern dan tenaga
kerja yang minim.
Pendidikan Indonesia masih mayoritas hampir 80% tingkat SD
sampai SMA sederajat. Pendidikan paling tinggi angkanya pada tingkat SD dan
SMP. Kebanyakan putus sekolah karena tingkat pendidikan menengah masih
diwajibkan membayar kendatipun anggaran Negara untuk APBN pendidikan lebih dari
20%.
Akibat Perdagangan Bebas ini akan meningkatkan kesenjangan
yang makin tinggi antara kaya dan miskin. Kelompok menegah bawah dan bawah akan
semakin tinggi. Hal ini menyebabkan kerawanan sosial dan konflik horizontal
yang sekarang sering terjadi.
Untuk mengantisipasi kerawanan sosial tersebut Negara akan
semakin otoriter. Akan semakin luas cakupan wilayah Spesial Ekonomic Zone yang
disebutkan dengan Objek Vital Nasional. Ini dibuktikan dengan KEPMENPERIN yang
meluaskan cakupan luasan Objek Vital Nasional yang hampir 100 Kawasan Industri
dan juga Perusahaan. Luasan wilayah Cakupan mencapai setengah pulau Sumatra
yang mengcover jumlah penduduk Perkotaan ratusan juta jiwa pekerja, penduduk
dan Industri.
Di wilayah Objek Vital Nasional ini, Konvensi ILO 98 dan 97
dan Deklarasi HAM PBB tidak berlaku
untuk hak berekspresi (Mogok dan Unjuk Rasa). Karena sesuai UU No.9 tahun 1998,
pasal 2: Penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan di tempat-tempat terbuka untuk umum,
kecuali: a. di lingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah. instalasi
militer, rumah sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api. terminal
angkutan darat, dan obyek-obyek vital nasional.
Pemandulan hak buruh dan hak azasi manusia ini akan
berlanjut untuk hak-hak lainnya untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi yang
diharapkan dari dampak perdagangan bebas ini.
Penggunaan Pasal-pasal Karet untuk menjerat aktivis buruh
juga akan semakin kencang dalam rangka mengamankan Investasi. Buruh Kelapa
Sawit Pengurus KSBSI PT. Dian Anggara Persada yang merupakan supplier
untuk Perusahaan Ternama ini ditahan 1,5 tahun penjara dengan tuduhan pasal 335
dan 160 KUHP. Pasal ini tentang penghasutan dan Pencemaran nama baik yang di
jaman Suharto sering digunakan untuk menjerat para aktivis buruh di Pusat.
Tuduhan dan penjara ini dilakukan untuk
aktivitas KSBSI mengorganisir dan memperjuangkan hak anggotanya untuk
berserikat dan perolehan upah dan jaminan sosisal yang normative.
Pendekatan pemerintah tidak diarahkan kepada pendekatan sosial
daialog dan pendidikan SDM dari pengurus serikat buruh dengan mengedepankan
inisiatif, tapi pendekatan keamanan sama dengan pendekatan yang dilakukan Regim
Suharto dengan modifikasi yang lebih halus.
2. Jaminan Sosial yang tidak memadai, K3, perempuan kaum
muda dan pekerjaan rentan.
Dengan tergerusnya pendapatan Negara dari tarif dan pajak,
perlindungan Negara terhadap rakyat akan semakin minim. Bantuan untuk fasilitas
pendidikan anak, jaminan kesehatan, hari tua, yang sekarang ada akan semakin
tergerus. Bahkan impian untuk mendapatkan fasilitas jaminan sosial untuk
employment (pengangguran) akan hilang. Rakyat akan berjuang sendiri dengan
membayar semua biaya hidupnya sendiri dengan upah yang murah.
Tuntutan untuk memfleksibelkan aturan perekrutan
ketenagakerjaan akan semakin tinggi. Legalisasi system kerja kontrak jangka
pendek, harian dan harian lepas semakin tinggi. Jumlah angka pengangguran
terbuka dan informalisasi pekerjaan pun semakin tinggi yang mempersulit Jaminan
sosial melakukan deteksi. Gambaran
Perbudakan modern segara terbuka.
UU kita masih merilis pada Perlindungan Konvensi ILO tahun
50 an tentang K3. Padahal perkembangan kimia berbahaya semakin banyak dan
beragam. Begitupun berbagai Konfensi sektoral belum diratifikasi. Seringnya
kasus Pabrik meledak, kecelakaan kerja fatal akan semakin tinggi seiring
derasnya arus modal tanpa perlindungan yang memadai. Asbestos masih menjadi
bahan perbincangan global. Ketidakadaan larangan bagi pemakaian asbes di
Indonesia rentan menyebarkan efek asbestos kepada banyak kalangan wisatawan,
rakyat, keluarga.
Indonesia rentan mewarisi masyarkat yang bodoh dan tanpa
perlindungan memadai. Perlindungan Maternity protection belum kita adopsi dalam
UU atau Peraturan. Kita masih mengunakan libur 12 minggu dari 14 minggu yang
diatur ILO. Hanya sedikit perusahaan yang menyediakan penitipan anak dan pojok
laktasi. Buruh perempuan yang pulang malam rentan dalam kondisi berbahaya.
Laporan Komnas Perempuan dan anak merelease banyaknya perempuan di Jakarta
Utara yang diperkosa. Belum ada mekanisme control sosial yang memadai di
perusahaan untuk tidak terjadi diskriminasi dan kekerasan. Keterbatasan
anggaran serikat dalam pendidikan membuat akses untuk SDM yang minim memperoleh
pengetahuan tentang Gender Base Violence.
Dana BOS cukup membantu, namun pungutan-pungutan masih
terlalu tinggi. Bahkan cenderung dilegalkan di tingkat Menengah. Upah Buruh
masih hanya mengcover buruh lajang, tidak ada coverage untuk buruh berkeluarga
apalagi untuk biaya pendidikan anak. Karena tidak ada Coverage untuk hal ini
seharusnya Negara wajib menyelenggarakan pendidikan gratis untuk semua
tingkatan.
Perdagangan Bebas yang menuntut free tax, tariff, ekspor
impor, pungutan non pajak dll. Hanya punya program charity yang terbatas. Bila
Negara absen melindungi warganya maka masa depan bangs ini menjadi sangat
suram.
3. Akses terhadap obat dan perlindungan ciptaan tradisional.
Monopoli untuk merk-merk dan hak cipta memandulkan kreasi rakyat akan
bibit, obat-obat generic, dan akses untuk produk-produk rakyat, UKM dan UMKM. Akan ada tekanan pada
penghargaan hak cipta yang semakin kuat. KUMHAM yang sekarang Pro Modal besar
dan menghambat tumbuhnya produk tradisional
kendatipun ada aturan yang melegalkan hak cipta tak terdaftar, namum tidak ada
sama sekali perlindungan bagi hak cipta yang sudah dideklarasikan dan diterima
masyarakat secara tradisional. Beberapa bukti menunjukkan bahwa ciptaan rakyat
yang dibuat secara deklaratif dikalahkan dipengadilan. Pendaftaran hak cipta pun semakin komersial,
bahkan untuk akses informasi dipermahal dan dipersulit.
4. Deforestasi.
Telah terbukti bahwa deforestasi bukan monopoli para
Pengusaha dan Kapital. Untuk melempar kesalahan yang terjadi Perhutani telah
membagikan sertifikat olah lahan jutaan hektar sampai lebih 35 tahun kepada
para petani. Memang ini dalam rangka peningkatan produktifitas di Desa. Tapi
zaman membuktikan modal tanah tanpa infrastruktur dan dampingan yang memadai justru akan
memarginalkan para petani. Mereka pada akhirnya akan menjual tanahnya kepada para
Pemodal besar yang akan memonopoli lahan. Ini hanya transisi menuju Deforestasi
yang legal oleh pemodal besar.
Ada banyak para pengusaha sawit yang ditahan di Sumatra
karena melakukan pengalihan lahan secara illegal bekerja sama dengan aparat
setempat. Tapi lahan yang dikuasai tidak dilakukan replanting hutan. Lahan
tersebut justru dijual Negara kepada Kapitalis Asing dengan melegalisasi
pembabatan hutan yang ada.
Brazil dan Indonesia sebagai benteng terakhir sumber bio
untuk medicine, keanegaragaman hayati, Satwa terlindungi, dan sumber ogsigen
dan Air Minum terancam hilang. Perubahan iklim dunia semakin ekstrim. Dunia
terancam menjadi dunia yang dihuni monopoli manusia. Rantai sumber makanan terbatas
pada bahan yang terbatas. Padahal kepunahan pada jenis tanaman dan sepsis tertentu
sangat rentan bila terjadi jenis hayati dan satwa tertentu terserang hama dan
virus. Lihat bagaimana flu burung, wereng, tikus, dll.
Carbon Trade Cuma jadi isapan jempol. Bahkan kecenderungan
saling boikot produk dan proteksionis dari Negara Maju seperti Amerika membuktikan
perdagangan Bebas hanya alat untuk eksploitasi Negara berkembang dan
terbelakang. Terakhir Trump bahkan menolak untuk menjalankan TPP.
Dalam issu perdagangan EU-I-CEPA ada permintaan EU untuk membentuk peradilan dan settlement sendiri yang memungkinkan Swasta menggugat Negara untuk perlindungan khusus yang disebut ISDS investor-state dispute settlement. Perlindungan semacam ini memungkinkan bagi Eropa untuk menggugat Negara diluar mekanisme Nasional. Tindakan perlindungan khusus di SEZ sudah menjadi dilema besar, apalagi tambahan mekanisme khusus yang menempatkan Investor sebagai tuan besar yang tak sejajar.
Dalam issu perdagangan EU-I-CEPA ada permintaan EU untuk membentuk peradilan dan settlement sendiri yang memungkinkan Swasta menggugat Negara untuk perlindungan khusus yang disebut ISDS investor-state dispute settlement. Perlindungan semacam ini memungkinkan bagi Eropa untuk menggugat Negara diluar mekanisme Nasional. Tindakan perlindungan khusus di SEZ sudah menjadi dilema besar, apalagi tambahan mekanisme khusus yang menempatkan Investor sebagai tuan besar yang tak sejajar.
5. Keterbatasan Akses Sipil dalam Negoisasi EU-I-CEPA
Dalam negoisasi sipil round ke 2 di Belgia, tidak ada
keterbukaan sama sekali tentang proses Negoisasi antar kedua pihak kepada
masyarakat sipil. Masyarakat sipil dibiarkan menduga-duga saja tentang hasil
proses negoisasi dengan mengintip berbagai perjanjian perdagangan bebas EU dengan Negara-negara lain seperti Vietnam,
Mercosur, Jepang. Negoisasi perdangangan bebas bukan untuk rakyat, karena
rakyat dihindarkan dari proses negoisasi. Bahkan tim Negoisasi Eropa tidak mau
bertemu dengan organisasi sipil di Belgia. Tim organisasi sipil hanya diterima
tim negoisasi dari Indonesia, kendatipun tidak memperoleh detail proses
negoisasi. Mereka hanya menginginkan adanya Impact Assesment yang hanya
berdurasi beberapa Menit untuk mendengar impact assessment yang dilakukan akhir
tahun ini di Jakarta oleh pihak researcher.
Masyarakat kesulitan memeberikan opininya secara konkrit,
karena proses negoisasi tak pernah jelas. Kendatipun demikian,
sebaiknya tongkat diarahkan dalam bentuk apapun termasuk opini ini agar tidak
masuk ke jurang yang berbahaya.
Ada banyak dampak positif dari Perdagangan Bebas yang mayoritas menguntungkan negara maju dan elit kapital dan birokrat Politik. Tapi rentan bagi kelompok tertentu yang mayoritas ada di Negara yang lemah secara ekonomi dan teknologi.