konsolidasi buruh

Kamis, 19 Juli 2018

Kesiapan Masyarakat Rentan menghadapi EU Indonesia CEPA



Perdagangan Bebas dilakukan untuk  terjadinya perdagangan yang cepat tanpa hambatan dalam bentuk tarif, pajak, dan proteksionisme. Namun kenyataannya aturan WTO juga memungkinkan  mengaturan pengecualian produk dan perlindungan terhadap berbagai subsidi,  kekahasan internal untuk berbagai alasan.

Kesepakatan perdagangan dengan Negara anggota EU sudah banyak dilakukan, wajar bila EU dan Indonesia menginginkan adanya perjanjian perdagangan yang lebih luas cakupannya ke semua Negara anggota melalui EU-Indonesia CEPA.
Dengan meluasnya kesepakatan dagang ini, rakyat kedua Negara yang diwakili oleh organisasi sipil perlu dilibatkan decara terbuka dalam negoisasi yang dilakukan. Hal ini wajib, karena kesepakatan kedua Negara akan berdampak terhadap perubahan peraturan perundangan di Negara yang bersangkutan.

Selain dampak tidak langsung yang diakibatkan peraturan, dampak langsung yang terjadi akibat dari derasnya arus perdagangan dan investasi yang diantaranya:

1. Termarginalisasinya kelompok rakyat kecil, buruh, nelayan  dan para informal ekonomi.
Dengan arus modal yang cepat, maka akan terjadi modernisasi alat kerja industry. Cakupan lahan untuk modal semakin luas dengan menggunakan tenaga kerja yang semakin minim. Jumlah tenaga kerja Indonesia yang besar tidak akan mampu mengakses pekerjaan yang disediakan  mayoritas dikerjakan secara modern dan tenaga kerja yang minim.
Pendidikan Indonesia masih mayoritas hampir 80% tingkat SD sampai SMA sederajat. Pendidikan paling tinggi angkanya pada tingkat SD dan SMP. Kebanyakan putus sekolah karena tingkat pendidikan menengah masih diwajibkan membayar kendatipun anggaran Negara untuk APBN pendidikan lebih dari 20%.

Akibat Perdagangan Bebas ini akan meningkatkan kesenjangan yang makin tinggi antara kaya dan miskin. Kelompok menegah bawah dan bawah akan semakin tinggi. Hal ini menyebabkan kerawanan sosial dan konflik horizontal yang sekarang sering terjadi.
Untuk mengantisipasi kerawanan sosial tersebut Negara akan semakin otoriter. Akan semakin luas cakupan wilayah Spesial Ekonomic Zone yang disebutkan dengan Objek Vital Nasional. Ini dibuktikan dengan KEPMENPERIN yang meluaskan cakupan luasan Objek Vital Nasional yang hampir 100 Kawasan Industri dan juga Perusahaan. Luasan wilayah Cakupan mencapai setengah pulau Sumatra yang mengcover jumlah penduduk Perkotaan ratusan juta jiwa pekerja, penduduk dan Industri.

Di wilayah Objek Vital Nasional ini, Konvensi ILO 98 dan 97 dan Deklarasi HAM PBB  tidak berlaku untuk hak berekspresi (Mogok dan Unjuk Rasa). Karena sesuai UU No.9 tahun 1998,  pasal 2:  Penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan di tempat-tempat terbuka untuk umum, kecuali: a. di lingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah. instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api. terminal angkutan darat, dan obyek-obyek vital nasional.

Pemandulan hak buruh dan hak azasi manusia ini akan berlanjut untuk hak-hak lainnya untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi yang diharapkan dari dampak perdagangan bebas ini.
Penggunaan Pasal-pasal Karet untuk menjerat aktivis buruh juga akan semakin kencang dalam rangka mengamankan Investasi. Buruh Kelapa Sawit Pengurus  KSBSI  PT. Dian Anggara Persada yang merupakan supplier untuk Perusahaan Ternama ini ditahan 1,5 tahun penjara dengan tuduhan pasal 335 dan 160 KUHP. Pasal ini tentang penghasutan dan Pencemaran nama baik yang di jaman Suharto sering digunakan untuk menjerat para aktivis buruh di Pusat. Tuduhan  dan penjara ini dilakukan untuk aktivitas KSBSI mengorganisir dan memperjuangkan hak anggotanya untuk berserikat dan perolehan upah dan jaminan sosisal yang normative.  

Pendekatan pemerintah tidak diarahkan kepada pendekatan sosial daialog dan pendidikan SDM dari pengurus serikat buruh dengan mengedepankan inisiatif, tapi pendekatan keamanan sama dengan pendekatan yang dilakukan Regim Suharto dengan modifikasi yang lebih halus.

2. Jaminan Sosial yang tidak memadai, K3, perempuan kaum muda   dan pekerjaan rentan.
Dengan tergerusnya pendapatan Negara dari tarif dan pajak, perlindungan Negara terhadap rakyat akan semakin minim. Bantuan untuk fasilitas pendidikan anak, jaminan kesehatan, hari tua, yang sekarang ada akan semakin tergerus. Bahkan impian untuk mendapatkan fasilitas jaminan sosial untuk employment (pengangguran) akan hilang. Rakyat akan berjuang sendiri dengan membayar semua biaya hidupnya sendiri dengan upah yang murah.

Tuntutan untuk memfleksibelkan aturan perekrutan ketenagakerjaan akan semakin tinggi. Legalisasi system kerja kontrak jangka pendek, harian dan harian lepas semakin tinggi. Jumlah angka pengangguran terbuka dan informalisasi pekerjaan pun semakin tinggi yang mempersulit Jaminan sosial melakukan deteksi.  Gambaran Perbudakan modern segara terbuka.
UU kita masih merilis pada Perlindungan Konvensi ILO tahun 50 an tentang K3. Padahal perkembangan kimia berbahaya semakin banyak dan beragam. Begitupun berbagai Konfensi sektoral belum diratifikasi. Seringnya kasus Pabrik meledak, kecelakaan kerja fatal akan semakin tinggi seiring derasnya arus modal tanpa perlindungan yang memadai. Asbestos masih menjadi bahan perbincangan global. Ketidakadaan larangan bagi pemakaian asbes di Indonesia rentan menyebarkan efek asbestos kepada banyak kalangan wisatawan, rakyat, keluarga.

Indonesia rentan mewarisi masyarkat yang bodoh dan tanpa perlindungan memadai. Perlindungan Maternity protection belum kita adopsi dalam UU atau Peraturan. Kita masih mengunakan libur 12 minggu dari 14 minggu yang diatur ILO. Hanya sedikit perusahaan yang menyediakan penitipan anak dan pojok laktasi. Buruh perempuan yang pulang malam rentan dalam kondisi berbahaya. Laporan Komnas Perempuan dan anak merelease banyaknya perempuan di Jakarta Utara yang diperkosa. Belum ada mekanisme control sosial yang memadai di perusahaan untuk tidak terjadi diskriminasi dan kekerasan. Keterbatasan anggaran serikat dalam pendidikan membuat akses untuk SDM yang minim memperoleh pengetahuan tentang Gender Base Violence.

Dana BOS cukup membantu, namun pungutan-pungutan masih terlalu tinggi. Bahkan cenderung dilegalkan di tingkat Menengah. Upah Buruh masih hanya mengcover buruh lajang, tidak ada coverage untuk buruh berkeluarga apalagi untuk biaya pendidikan anak. Karena tidak ada Coverage untuk hal ini seharusnya Negara wajib menyelenggarakan pendidikan gratis untuk semua tingkatan.
Perdagangan Bebas yang menuntut free tax, tariff, ekspor impor, pungutan non pajak dll. Hanya punya program charity yang terbatas. Bila Negara absen melindungi warganya maka masa depan bangs ini menjadi sangat suram.

3. Akses terhadap obat dan perlindungan ciptaan tradisional.
Monopoli untuk merk-merk dan  hak cipta memandulkan kreasi rakyat akan bibit, obat-obat generic, dan akses untuk produk-produk rakyat,  UKM dan UMKM. Akan ada tekanan pada penghargaan hak cipta yang semakin kuat. KUMHAM yang sekarang Pro Modal besar dan menghambat tumbuhnya produk  tradisional kendatipun ada aturan yang melegalkan hak cipta tak terdaftar, namum tidak ada sama sekali perlindungan bagi hak cipta yang sudah dideklarasikan dan diterima masyarakat secara tradisional. Beberapa bukti menunjukkan bahwa ciptaan rakyat yang dibuat secara deklaratif dikalahkan dipengadilan.  Pendaftaran hak cipta pun semakin komersial, bahkan untuk akses informasi dipermahal dan dipersulit.

4. Deforestasi.
Telah terbukti bahwa deforestasi bukan monopoli para Pengusaha dan Kapital. Untuk melempar kesalahan yang terjadi Perhutani telah membagikan sertifikat olah lahan jutaan hektar sampai lebih 35 tahun kepada para petani. Memang ini dalam rangka peningkatan produktifitas di Desa. Tapi zaman membuktikan modal tanah tanpa  infrastruktur dan  dampingan yang memadai justru akan memarginalkan para petani. Mereka pada akhirnya akan menjual tanahnya kepada para Pemodal besar yang akan memonopoli lahan. Ini hanya transisi menuju Deforestasi yang legal oleh pemodal besar.

Ada banyak para pengusaha sawit yang ditahan di Sumatra karena melakukan pengalihan lahan secara illegal bekerja sama dengan aparat setempat. Tapi lahan yang dikuasai tidak dilakukan replanting hutan. Lahan tersebut justru dijual Negara kepada Kapitalis Asing dengan melegalisasi pembabatan hutan yang ada.

Brazil dan Indonesia sebagai benteng terakhir sumber bio untuk medicine, keanegaragaman hayati, Satwa terlindungi, dan sumber ogsigen dan Air Minum terancam hilang. Perubahan iklim dunia semakin ekstrim. Dunia terancam menjadi dunia yang dihuni monopoli manusia. Rantai sumber makanan terbatas pada bahan yang terbatas. Padahal kepunahan pada jenis tanaman dan sepsis tertentu sangat rentan bila terjadi jenis hayati dan satwa tertentu terserang hama dan virus. Lihat bagaimana flu burung, wereng, tikus, dll.

Carbon Trade Cuma jadi isapan jempol. Bahkan kecenderungan saling boikot produk dan proteksionis dari Negara Maju seperti Amerika membuktikan perdagangan Bebas hanya alat untuk eksploitasi Negara berkembang dan terbelakang. Terakhir Trump bahkan menolak untuk menjalankan TPP.
Dalam issu perdagangan EU-I-CEPA ada permintaan EU untuk membentuk peradilan dan settlement sendiri yang memungkinkan Swasta menggugat Negara untuk perlindungan khusus yang disebut ISDS investor-state dispute settlement. Perlindungan semacam ini memungkinkan bagi Eropa untuk menggugat Negara diluar mekanisme Nasional. Tindakan perlindungan khusus di SEZ sudah menjadi dilema besar, apalagi tambahan mekanisme khusus yang menempatkan Investor sebagai tuan besar yang tak sejajar.

5. Keterbatasan Akses Sipil dalam Negoisasi EU-I-CEPA
Dalam negoisasi sipil round ke 2 di Belgia, tidak ada keterbukaan sama sekali tentang proses Negoisasi antar kedua pihak kepada masyarakat sipil. Masyarakat sipil dibiarkan menduga-duga saja tentang hasil proses negoisasi dengan mengintip berbagai perjanjian perdagangan bebas EU  dengan Negara-negara lain seperti Vietnam, Mercosur, Jepang. Negoisasi perdangangan bebas bukan untuk rakyat, karena rakyat dihindarkan dari proses negoisasi. Bahkan tim Negoisasi Eropa tidak mau bertemu dengan organisasi sipil di Belgia. Tim organisasi sipil hanya diterima tim negoisasi dari Indonesia, kendatipun tidak memperoleh detail proses negoisasi. Mereka hanya menginginkan adanya Impact Assesment yang hanya berdurasi beberapa Menit untuk mendengar impact assessment yang dilakukan akhir tahun ini di Jakarta oleh pihak researcher.

Masyarakat kesulitan memeberikan opininya secara konkrit, karena proses  negoisasi tak pernah jelas. Kendatipun demikian, sebaiknya tongkat diarahkan dalam bentuk apapun termasuk opini ini agar tidak masuk ke jurang yang berbahaya.

Ada banyak dampak positif dari Perdagangan Bebas yang mayoritas menguntungkan negara maju dan elit kapital dan birokrat Politik. Tapi rentan bagi kelompok tertentu yang mayoritas ada di Negara yang lemah secara ekonomi dan teknologi.