Petani harus membeli
bibit, obat-obatan hama, pupuk yang mahal. Karena Negara dilarang intervensi.
BPJS Bangkrut, Karena monopoli merek dan hak intelektual
terhadap obat-obatan dan rumah sakit global yang memboikot pasien. Obat generic sulit diproduksi.
Pembangunan infrakstruktur terkendala, karena BUMN harus
diliberalisasi. Negara dilarang monopoli.
Banyak buruh yang menganggur, karena hak otomatisasi dan investasi asing 100% tanpa kemitraan.
Ekspor terhambat karena akses intelijen ekonomi yang kuat
menarget pemain lokal dan informal yang
kurang kredible dan standard dan menundukkannya ke pemain global.
Pengangguran intelektual
dan pendidikan menengah meningkat dan menjadi beban politk dan ekonomi Negara yang tinggi.
Negara akan tidak berdaya mengantisipasi serangan Investor dari Negara bersangkutan karena
penandatanganan perdagangan bebas seperti biasanya tidak pernah terbuka. Isi
dari klausul-klausul dalam perjanjian
tidak pernah diinformasikan transparan kepada masyarakat.
Apakah tujuan dari perdagangan bebas?
FTA (Perjanjian Perdagangan Bebas) sebenarnya ditujuakan untuk membuka peluang
perkembangan bisnis yang cepat bagi Negara pelaku. Teorinya dilatari oleh Teori
David Ricardo tentang Comparative Advantage.
Teori ini memiliki kelemahan karena tidak memperhitungkan distribusi
kekayaan secara keseluruhan. Teori ini
lebih kepada percepatan pertumbuhan secara ekonomi tanpa mempertimbangkan aspek
sosial.
Indonesia saat ini telah terikat Perdangangan bebas dengan
beberapa Negara diantaranya:
World Trade Organization (WTO) yang melibatkan 153
negara, ASEAN Free Trade Agreement (AFTA), dan Indonesia-Jepang Economic
Partnership Agreement. Sebagai bagian dari ASEAN, Indonesia juga terlibat FTA
dengan Korea Selatan, India, China, Australia dan Selandia Baru. Sedangkan
dengan Amerika Serikat (AS), diberlakukan sebagai perjanjian perdagangan antar
negara, tetapi hanya perjanjian bisnis antara sektor-sektor usaha tertentu di
Indonesia dan AS.
Perjanjian Perdagangan Bebas biasanya dilakukan oleh Negara maju
dengan dengara yang berkembang. Hal ini
biasanya dilakukan dengan keyakinan untuk
meningkatkan dan mempercepat dan mempermudah bisnis antar kedua Negara atau antar beberapa Negara.
Namun kecepatan ini sering sekali
mengabaikan kepentingan para pelaku informal, buruh, petani, nelayan,
dan kelompok buruh migran.
Perjanjian biasanya lebih focus melindungi Negara yang lebih dominan. Pilihan perjanjian
biasanya pada pokok yang melindungi Negara Kaya.
Lihat saja issu yang berkembang berkenaan dengan perjanjian
penandatanganan Perdagangan Bebas dengan Uni Eropa:
pembukaan
pasar di sektor barang, liberalisasi sektor jasa-jasa, pembukaan pasar
pembelanjaan pemerintah, pengaturan BUMN (badan usaha milik negara), penguatan
di bidang HKI (hak kekayaan intelektual), perlindungan investor asing, kepabean
dan fasilitasi perdagangan, dan kerjasama.
Bahkan
Kadin merilis selama pemberlakukan FTA, kinerja perdagangan produk industri
tahun 2007-2011 justru defisit, kecuali India. Pertumbuhan impor 2-3 kali lebih
tinggi dari pertumbuhan ekspor. Dengan Jepang, pertumbuhan impor Indonesia
mencapai 31,2 persen. Namun pertumbuhan ekspor Indonesia hanya 7,07 persen.
Dengan China, pertumbuhan impor lebih dari 300 persen, sehingga defisit
perdagangan semakin besar.
Memang Perjanjian Perdagangan dengan Uni
Eropa menjanjikan persyaratan peningkatan hak buruh dengan kerja layak dan SDG.
Namun dengan kuatnya UU Ketenagakejaan Indonesia sekarang pun kerja layak tidak
tercapai dengan baik. Pengawasan perburuhan masih lemah dan aparat pemerintah
tidak dapat menjalankan kinerjanya karena aroigansi investor asing. Pemerintah juga tidak berdaya menegakkan
aturan perburuhan karena masing-masing pemerintah daerah melindungi dan
menginginkan investasi asing yang lebih
dominan dan cepat.
FTA hanya menghasilkan pertumbuhan
penyerapan tenaga kerja Precarious Work. Peningkatan Penguasaan Kapital dan
lahan pada segelintir pemain global. Indeks ketimpangan sosial yang tinggi dan
kesemrautan ekonomi karena birokrasi jadi korup dan hanya tunduk pada otoritas
Pemain Bisnis Global.
Perjanjian FTA hanya akan berdampak pada
kenyamanan segelintir Pemodal dan penurunan jumlah kelas menengah kepada
kelompok menengah miskin perkotaan yang tidak mandiri. Kurangnya perlindungan
sosial karena LSM NGO’s dan Serikat Buruh tidak lagi mendapat dukungan yang
memadai dari dana sosial karena penurunan jumlah pendapatan pajak Negara.
Sementara Bantuan Global untuk sosial berkurang karena pertumbuhan PDB akibat
peningkatan pertumbuhan ekonomi Makro membuat Indonesia dianggap tidak lagi
layak mendapatkan hibah dana sosial. Padahal kondisi sosial mayoritas buruh dan rakyat
mengah miskin dan miskin justru merangkak naik.
Kita butuhkan Perdagagan yang adil, bukan
perdagangan yang bebas.
Penulis:
Eduard P. Marpaung (Sekjen DEN KSBSI)