konsolidasi buruh

Minggu, 10 Juni 2018

CEPA, FTA dan Dampaknya Bagi Buruh Indonesia



Petani  harus membeli bibit, obat-obatan hama, pupuk yang mahal. Karena Negara dilarang intervensi.
BPJS Bangkrut, Karena monopoli merek dan hak intelektual terhadap obat-obatan dan rumah sakit global yang memboikot  pasien.  Obat generic  sulit diproduksi.
Pembangunan infrakstruktur terkendala, karena BUMN harus diliberalisasi. Negara dilarang monopoli.  
Banyak buruh yang menganggur, karena hak  otomatisasi dan investasi  asing 100% tanpa kemitraan.
Ekspor terhambat karena akses intelijen ekonomi yang kuat menarget  pemain lokal dan informal yang kurang kredible dan standard dan menundukkannya ke pemain global.
Pengangguran intelektual  dan pendidikan menengah meningkat dan menjadi  beban politk dan ekonomi Negara yang tinggi.

Negara akan tidak berdaya mengantisipasi serangan Investor  dari Negara bersangkutan karena penandatanganan perdagangan bebas seperti biasanya tidak pernah terbuka. Isi dari klausul-klausul  dalam perjanjian tidak pernah diinformasikan transparan kepada masyarakat.
Apakah tujuan dari perdagangan bebas?
FTA (Perjanjian Perdagangan Bebas)  sebenarnya ditujuakan untuk membuka peluang perkembangan bisnis yang cepat bagi Negara pelaku. Teorinya dilatari oleh Teori David Ricardo tentang Comparative Advantage.  Teori ini memiliki kelemahan karena tidak memperhitungkan distribusi kekayaan secara keseluruhan.  Teori ini lebih kepada percepatan pertumbuhan secara ekonomi tanpa mempertimbangkan aspek sosial.

Indonesia saat ini telah terikat Perdangangan bebas dengan beberapa Negara diantaranya:
World Trade Organization (WTO) yang melibatkan 153 negara, ASEAN Free Trade Agreement (AFTA), dan Indonesia-Jepang Economic Partnership Agreement. Sebagai bagian dari ASEAN, Indonesia juga terlibat FTA dengan Korea Selatan, India, China, Australia dan Selandia Baru. Sedangkan dengan Amerika Serikat (AS), diberlakukan sebagai perjanjian perdagangan antar negara, tetapi hanya perjanjian bisnis antara sektor-sektor usaha tertentu di Indonesia dan AS.

Perjanjian Perdagangan Bebas biasanya dilakukan oleh Negara maju dengan dengara yang berkembang.  Hal ini biasanya dilakukan dengan keyakinan untuk  meningkatkan dan mempercepat dan mempermudah bisnis  antar kedua Negara atau antar beberapa Negara. Namun  kecepatan ini  sering sekali  mengabaikan kepentingan para pelaku informal, buruh, petani, nelayan, dan kelompok buruh migran.
Perjanjian biasanya lebih focus melindungi  Negara yang lebih dominan. Pilihan perjanjian biasanya pada pokok yang melindungi Negara Kaya.
Lihat saja issu yang berkembang berkenaan dengan perjanjian penandatanganan Perdagangan Bebas dengan Uni  Eropa:
pembukaan pasar di sektor barang,  liberalisasi sektor jasa-jasa, pembukaan pasar pembelanjaan pemerintah, pengaturan BUMN (badan usaha milik negara), penguatan di bidang HKI (hak kekayaan intelektual), perlindungan investor asing, kepabean dan fasilitasi perdagangan, dan kerjasama.
Bahkan Kadin merilis selama pemberlakukan FTA, kinerja perdagangan produk industri tahun 2007-2011 justru defisit, kecuali India. Pertumbuhan impor 2-3 kali lebih tinggi dari pertumbuhan ekspor. Dengan Jepang, pertumbuhan impor Indonesia mencapai 31,2 persen. Namun pertumbuhan ekspor Indonesia hanya 7,07 persen. Dengan China, pertumbuhan impor lebih dari 300 persen, sehingga defisit perdagangan semakin besar.
Memang Perjanjian Perdagangan dengan Uni Eropa menjanjikan persyaratan peningkatan hak buruh dengan kerja layak dan SDG. Namun dengan kuatnya UU Ketenagakejaan Indonesia sekarang pun kerja layak tidak tercapai dengan baik. Pengawasan perburuhan masih lemah dan aparat pemerintah tidak dapat menjalankan kinerjanya karena aroigansi investor asing.  Pemerintah juga tidak berdaya menegakkan aturan perburuhan karena masing-masing pemerintah daerah melindungi dan menginginkan investasi  asing yang lebih dominan dan cepat.
FTA hanya menghasilkan pertumbuhan penyerapan tenaga kerja Precarious Work. Peningkatan Penguasaan Kapital dan lahan pada segelintir pemain global. Indeks ketimpangan sosial yang tinggi dan kesemrautan ekonomi karena birokrasi jadi korup dan hanya tunduk pada otoritas Pemain Bisnis Global.
Perjanjian FTA hanya akan berdampak pada kenyamanan segelintir Pemodal dan penurunan jumlah kelas menengah kepada kelompok menengah miskin perkotaan yang tidak mandiri. Kurangnya perlindungan sosial karena LSM NGO’s dan Serikat Buruh tidak lagi mendapat dukungan yang memadai dari dana sosial karena penurunan jumlah pendapatan pajak Negara. Sementara Bantuan Global untuk sosial berkurang karena pertumbuhan PDB akibat peningkatan pertumbuhan ekonomi Makro membuat Indonesia dianggap tidak lagi layak mendapatkan hibah dana sosial.  Padahal kondisi sosial mayoritas buruh dan rakyat mengah miskin dan miskin justru merangkak naik.
Kita butuhkan Perdagagan yang adil, bukan perdagangan yang bebas.
Penulis:
Eduard P. Marpaung (Sekjen DEN KSBSI)