konsolidasi buruh

Rabu, 17 Oktober 2018

Asuransi Jaminan Pekerjaan Adalah Kewajiban Negara


Opini: Eduard P. Marpaung (Sekjen DEN KSBSI)

Kunjungan ke fasilitas dan kantor KEIS (Korea Employment Service)

Ada banyak interpretasi untuk menterjemahkan Unemployment Insurance atau Employment Insurance. Namun  saya kurang merasa cocok dengan terjemahan Asuransi Pengagngguran atau Asuransi Tenaga Kerja.
Asuransi Jaminan Pekerjaan lebih cocok. Karena Asuransi ini ditujukan untuk program:
1. Memberikan akses penghasilan ketika kehilangan pekerjaan,
2. Membantu mencarikan  pekerjaan baru atau tambahan dengan cara konsultasi, informasi, dan  bursa kerja.
3. Memberikan pelatihan ketrampilan sesuai kebutuhan baik individu maupun industry.

Mengapa harus mengasuransikan pekerjaan?

Bukankah setiap warga Negara dijamin haknya sesuai UUD untuk memperoleh pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan?

Kedua pertanyaan ini seringkali menjadi hal serius dalam perdebatan berkenaan perlu tidaknya asuransi jaminan pekerjaan. Pekerjaan adalah kebutuhan utama bagi seorang dewasa. Tanpa pekerjaan kita tidak dapat memperoleh penghasilan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 5,13%, sementara jumlahnya akan lebih besar lagi bila dihitungkan dengan Penduduk yang sebesar 7,64 persen masuk kategori setengah menganggur dan 23,83 persen pekerja paruh waktu. Dalam setahun terakhir, setengah penganggur dan pekerja paruh waktu naik masing-masing sebesar 0,02 persen poin dan 1,31 persen poin. Penduduk bekerja sebanyak 127,07 juta orang, bertambah 2,53 juta orang dibanding Februari 2017.
Sebanyak 73,98 juta orang (58,22 persen) penduduk bekerja di kegiatan informal, akan tetapi persentasenya menurun sebesar 0,13 persen poin dibanding Februari 2017.

Mengambil data BPJS TK ada 27,9 juta pekerja yang membayar iuran BPJS TK secara aktiv. Dari data ini ada hampir 30 juta orang pekerja formal aktiv memiliki resiko kehilangan pekerjaan dan tidak dijamin oleh BPJS kendatipun mereka sudah menjadi anggota BPJS TK. Padahal dengan menambahkan 0,5% iuran saja pengalaman Malaysia, mereka sudah bisa menjalankan Asuransi Jaminan Pekerjaan. Jumlah yang dibayarkan hanya setengah dari iuran Serikat Buruh atau seharga sebungkus  rokok filter. Tidak perlu mengganggu kompensasi pesangon yang sering menjadi penghambat dalam negoisasi asuransi jaminan pekerjaan.

Bagaimana bila anda seorang ibu yang menjadi tulangpunggung keluarga memiliki tanggungan bayi, kemudian terkena PHK sepihak dan perselisihan penyelesaian industry belum selesai? Siapakah bertanggungjawab? Begitupun bila anda seorang bapak yang memeiliki tanggungjawab keluarga.

Bagaimana pula bagi anda seorang lajang yang tengah merencanakan pernikahan dan mengeluarkan banyak tabungan untuk menikah, kemudian tiba-tiba perusahaan anda tutup dan anda tidak memiliki jaminan penghasilan paska pernikahan.

Dengan Asuransi Jaminan Pekerjaan, sesuai pengalaman di Korea Selatan anda tidak perlu ragu dengan ketidakpastian kerja, anda tinggal registrasi, bisa online. Anda telah berhak memperoleh penghasilan sementara sekitar 6 bulan sampai satu tahun. Anda bisa meregistrasi untuk dicarikan atau mencari pekerjaan yang sesuai dengan data bursa tenaga kerja yang lengkap secara online. Bila anda tidak bisa online, bisa datang langsung, bahkan berkonsultasi. Semua bisa dilakukan karena ada kepastian anggaran. Perusahaan juga tidak perlu deg-degan karena masalah PHK merupakan pilihan perjuangan  hidup dan mati. Perselisihan dapat berjalan lebih normal dan damai. Negara hadir sebagai pihak yang memberi kepastian saat hubungan kerja terputus.  

Memang dalam  UUD 1945 Negara menjamin untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, namun bagaimana mengimplementasikannya?

John Fitzgerald Kennedy — 'Jangan tanyakan apa yang negara ini berikan kepadamu tapi tanyakan apa yang telah kamu berikan kepada negaramu.

Dalam prinsip Asuransi Sosial kata mutiara ini  sangat tepat. Ada sekelompok buruh di Indonesia yang sering berdemonstrasi menolak BPJS dengan alasan bahwa Jaminan Sosial itu tanggungjawab Negara bukan penduduk sipil. Hal ini keliru dan merupakan sebuah pendapat yang kurang informasi.

Negara hadir dalam beberapa model untuk menjamin keadilan  sosial bagi rakyatnya:
Model Pertama, William Beveridge, penemu Sistem Kesehatan Nasional (National Health Service/NHS). Dalam sistem ini, setiap warga negara berhak menggunakan layanan jaminan sosial dan tidak akan pernah menerima tagihan karena pembiayaannya didanai oleh pajak. Inggris, Spanyol, dan Selandia Baru adalah contoh negara yang menggunakan sistem ini.
Kedua, model Bismarck, dinamai dari Kanselir Jerman pertama, Otto von Bismarck. Sistem ini menggunakan system asuransi sosial yang didanai oleh penyedia kerja dan karyawan melalui pemotongan gaji.  Asuransi ini wajib melindungi seluruh warga negara dan tidak diperbolehkan mengambil keuntungan. Model Bismarck di antaranya digunakan di Jerman, Perancis, Belanda, dan Jepang.
Ketiga, model Asuransi Sosial Nasional  yang merupakan gabungan dari model Beveridge dan Bismarck. Disamping fasilitas negara, Sistem ini menggunakan pihak swasta sebagai penyedia layanan  dengan pembayaran klaim yang didanai dari program asuransi nasional. Program asuransi ini dikelola pemerintah dan setiap warga negara wajib membayar premi. Sistem ini dapat ditemui di Kanada, Taiwan, dan Korea Selatan.
Indonesia dengan Sistem SJSN menggunakan model gabungan Beveridge dan Bismarck. Namun ada dua coverage sesuai rekomendasi ILO yang belum ada dalam program BPJS Indonesia, yakni program untuk Asuransi Jaminan Pekerjaan dan Jaminan Sosial untuk persalinan (Maturnity Protection).
Bila seandainya setoran sebungkus rokok per bulan dapat menjamin pekerjaan dan buruh bersedia membayar, apakah pengusaha tidak punya kepentingan dalam asuransi jaminan pekerjaan ini?
Sebagian besar dana perusahaan digunakan untuk perencanan dan pengembangan HRD (Human Resource Development). Perusahaan sangat menghindarkan anggaran yang tidak evisien dan sebisa mungkin mengoutsource bidang yang mereka anggap banyak tidak evisien karena bukan merupakan bidang yang dapat dikelola secara profesional.
Dengan adanya ketersediaan layanan public yang lengkap berkenaan statistic Sumberdaya Manusia, Data Kebutuhan Skill yang lengkap secara online dan transparan, kemungkinan bantuan promosi ketenagakerjaan atas kinerja perusahaan untuk mempromosikan pekerjaan layak, Konflik
ketenagakerjaan yang semakin damai di tingkat perusahaan. Apakah perusahaan akan merugi bila berkontribusi? Apakah perusahaan tidak merasa malu menggunakan banyak sekali fasilitas yang
diberikan Negara dengan gratis? Bahkan seharusnya promosi Asuransi Jaminan Pekerjaan ini dipromosikan oleh perusahaan untuk kepentingan kebutuhan membangun Sumberdaya Manusia dengan mengacu pada kebutuhan pasar yang pasti. Hal ini juga sangat berkontribusi bagi pengembangan Universitas yang sekarang banyak diinisiatipi oleh kalangan bisnis yang merasa kekurangan tenaga skill sesuai kebutuhan pasar. Asuransi Jaminan Pekerjaan bagi bisnis bukanlah merupakan pengeluaran, namun sebuah investasi Sumber Daya Manusia yang lebih memiliki kepastian secara statistic dan ekonomi.

Korea Selatan memulai membangun Asuransi Jaminan Pekerjaan tahun 1995. Ketika Krisis 1997,1998 di asia, Korea Selatan  termasuk Negara di Asia yang kuat menghadapi krisis. Bahkan bangkit menjadi Negara yang sangat disegani di dunia dalam pembangunan ketenagakerjaan dan ekonomi. Asuransi Jaminan Pekerjaan banyak membantu negeri ini dalam penataan SDM dan ekonominya.

Bagaimana dengan Indonesia?

Kamis, 19 Juli 2018

Kesiapan Masyarakat Rentan menghadapi EU Indonesia CEPA



Perdagangan Bebas dilakukan untuk  terjadinya perdagangan yang cepat tanpa hambatan dalam bentuk tarif, pajak, dan proteksionisme. Namun kenyataannya aturan WTO juga memungkinkan  mengaturan pengecualian produk dan perlindungan terhadap berbagai subsidi,  kekahasan internal untuk berbagai alasan.

Kesepakatan perdagangan dengan Negara anggota EU sudah banyak dilakukan, wajar bila EU dan Indonesia menginginkan adanya perjanjian perdagangan yang lebih luas cakupannya ke semua Negara anggota melalui EU-Indonesia CEPA.
Dengan meluasnya kesepakatan dagang ini, rakyat kedua Negara yang diwakili oleh organisasi sipil perlu dilibatkan decara terbuka dalam negoisasi yang dilakukan. Hal ini wajib, karena kesepakatan kedua Negara akan berdampak terhadap perubahan peraturan perundangan di Negara yang bersangkutan.

Selain dampak tidak langsung yang diakibatkan peraturan, dampak langsung yang terjadi akibat dari derasnya arus perdagangan dan investasi yang diantaranya:

1. Termarginalisasinya kelompok rakyat kecil, buruh, nelayan  dan para informal ekonomi.
Dengan arus modal yang cepat, maka akan terjadi modernisasi alat kerja industry. Cakupan lahan untuk modal semakin luas dengan menggunakan tenaga kerja yang semakin minim. Jumlah tenaga kerja Indonesia yang besar tidak akan mampu mengakses pekerjaan yang disediakan  mayoritas dikerjakan secara modern dan tenaga kerja yang minim.
Pendidikan Indonesia masih mayoritas hampir 80% tingkat SD sampai SMA sederajat. Pendidikan paling tinggi angkanya pada tingkat SD dan SMP. Kebanyakan putus sekolah karena tingkat pendidikan menengah masih diwajibkan membayar kendatipun anggaran Negara untuk APBN pendidikan lebih dari 20%.

Akibat Perdagangan Bebas ini akan meningkatkan kesenjangan yang makin tinggi antara kaya dan miskin. Kelompok menegah bawah dan bawah akan semakin tinggi. Hal ini menyebabkan kerawanan sosial dan konflik horizontal yang sekarang sering terjadi.
Untuk mengantisipasi kerawanan sosial tersebut Negara akan semakin otoriter. Akan semakin luas cakupan wilayah Spesial Ekonomic Zone yang disebutkan dengan Objek Vital Nasional. Ini dibuktikan dengan KEPMENPERIN yang meluaskan cakupan luasan Objek Vital Nasional yang hampir 100 Kawasan Industri dan juga Perusahaan. Luasan wilayah Cakupan mencapai setengah pulau Sumatra yang mengcover jumlah penduduk Perkotaan ratusan juta jiwa pekerja, penduduk dan Industri.

Di wilayah Objek Vital Nasional ini, Konvensi ILO 98 dan 97 dan Deklarasi HAM PBB  tidak berlaku untuk hak berekspresi (Mogok dan Unjuk Rasa). Karena sesuai UU No.9 tahun 1998,  pasal 2:  Penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan di tempat-tempat terbuka untuk umum, kecuali: a. di lingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah. instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api. terminal angkutan darat, dan obyek-obyek vital nasional.

Pemandulan hak buruh dan hak azasi manusia ini akan berlanjut untuk hak-hak lainnya untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi yang diharapkan dari dampak perdagangan bebas ini.
Penggunaan Pasal-pasal Karet untuk menjerat aktivis buruh juga akan semakin kencang dalam rangka mengamankan Investasi. Buruh Kelapa Sawit Pengurus  KSBSI  PT. Dian Anggara Persada yang merupakan supplier untuk Perusahaan Ternama ini ditahan 1,5 tahun penjara dengan tuduhan pasal 335 dan 160 KUHP. Pasal ini tentang penghasutan dan Pencemaran nama baik yang di jaman Suharto sering digunakan untuk menjerat para aktivis buruh di Pusat. Tuduhan  dan penjara ini dilakukan untuk aktivitas KSBSI mengorganisir dan memperjuangkan hak anggotanya untuk berserikat dan perolehan upah dan jaminan sosisal yang normative.  

Pendekatan pemerintah tidak diarahkan kepada pendekatan sosial daialog dan pendidikan SDM dari pengurus serikat buruh dengan mengedepankan inisiatif, tapi pendekatan keamanan sama dengan pendekatan yang dilakukan Regim Suharto dengan modifikasi yang lebih halus.

2. Jaminan Sosial yang tidak memadai, K3, perempuan kaum muda   dan pekerjaan rentan.
Dengan tergerusnya pendapatan Negara dari tarif dan pajak, perlindungan Negara terhadap rakyat akan semakin minim. Bantuan untuk fasilitas pendidikan anak, jaminan kesehatan, hari tua, yang sekarang ada akan semakin tergerus. Bahkan impian untuk mendapatkan fasilitas jaminan sosial untuk employment (pengangguran) akan hilang. Rakyat akan berjuang sendiri dengan membayar semua biaya hidupnya sendiri dengan upah yang murah.

Tuntutan untuk memfleksibelkan aturan perekrutan ketenagakerjaan akan semakin tinggi. Legalisasi system kerja kontrak jangka pendek, harian dan harian lepas semakin tinggi. Jumlah angka pengangguran terbuka dan informalisasi pekerjaan pun semakin tinggi yang mempersulit Jaminan sosial melakukan deteksi.  Gambaran Perbudakan modern segara terbuka.
UU kita masih merilis pada Perlindungan Konvensi ILO tahun 50 an tentang K3. Padahal perkembangan kimia berbahaya semakin banyak dan beragam. Begitupun berbagai Konfensi sektoral belum diratifikasi. Seringnya kasus Pabrik meledak, kecelakaan kerja fatal akan semakin tinggi seiring derasnya arus modal tanpa perlindungan yang memadai. Asbestos masih menjadi bahan perbincangan global. Ketidakadaan larangan bagi pemakaian asbes di Indonesia rentan menyebarkan efek asbestos kepada banyak kalangan wisatawan, rakyat, keluarga.

Indonesia rentan mewarisi masyarkat yang bodoh dan tanpa perlindungan memadai. Perlindungan Maternity protection belum kita adopsi dalam UU atau Peraturan. Kita masih mengunakan libur 12 minggu dari 14 minggu yang diatur ILO. Hanya sedikit perusahaan yang menyediakan penitipan anak dan pojok laktasi. Buruh perempuan yang pulang malam rentan dalam kondisi berbahaya. Laporan Komnas Perempuan dan anak merelease banyaknya perempuan di Jakarta Utara yang diperkosa. Belum ada mekanisme control sosial yang memadai di perusahaan untuk tidak terjadi diskriminasi dan kekerasan. Keterbatasan anggaran serikat dalam pendidikan membuat akses untuk SDM yang minim memperoleh pengetahuan tentang Gender Base Violence.

Dana BOS cukup membantu, namun pungutan-pungutan masih terlalu tinggi. Bahkan cenderung dilegalkan di tingkat Menengah. Upah Buruh masih hanya mengcover buruh lajang, tidak ada coverage untuk buruh berkeluarga apalagi untuk biaya pendidikan anak. Karena tidak ada Coverage untuk hal ini seharusnya Negara wajib menyelenggarakan pendidikan gratis untuk semua tingkatan.
Perdagangan Bebas yang menuntut free tax, tariff, ekspor impor, pungutan non pajak dll. Hanya punya program charity yang terbatas. Bila Negara absen melindungi warganya maka masa depan bangs ini menjadi sangat suram.

3. Akses terhadap obat dan perlindungan ciptaan tradisional.
Monopoli untuk merk-merk dan  hak cipta memandulkan kreasi rakyat akan bibit, obat-obat generic, dan akses untuk produk-produk rakyat,  UKM dan UMKM. Akan ada tekanan pada penghargaan hak cipta yang semakin kuat. KUMHAM yang sekarang Pro Modal besar dan menghambat tumbuhnya produk  tradisional kendatipun ada aturan yang melegalkan hak cipta tak terdaftar, namum tidak ada sama sekali perlindungan bagi hak cipta yang sudah dideklarasikan dan diterima masyarakat secara tradisional. Beberapa bukti menunjukkan bahwa ciptaan rakyat yang dibuat secara deklaratif dikalahkan dipengadilan.  Pendaftaran hak cipta pun semakin komersial, bahkan untuk akses informasi dipermahal dan dipersulit.

4. Deforestasi.
Telah terbukti bahwa deforestasi bukan monopoli para Pengusaha dan Kapital. Untuk melempar kesalahan yang terjadi Perhutani telah membagikan sertifikat olah lahan jutaan hektar sampai lebih 35 tahun kepada para petani. Memang ini dalam rangka peningkatan produktifitas di Desa. Tapi zaman membuktikan modal tanah tanpa  infrastruktur dan  dampingan yang memadai justru akan memarginalkan para petani. Mereka pada akhirnya akan menjual tanahnya kepada para Pemodal besar yang akan memonopoli lahan. Ini hanya transisi menuju Deforestasi yang legal oleh pemodal besar.

Ada banyak para pengusaha sawit yang ditahan di Sumatra karena melakukan pengalihan lahan secara illegal bekerja sama dengan aparat setempat. Tapi lahan yang dikuasai tidak dilakukan replanting hutan. Lahan tersebut justru dijual Negara kepada Kapitalis Asing dengan melegalisasi pembabatan hutan yang ada.

Brazil dan Indonesia sebagai benteng terakhir sumber bio untuk medicine, keanegaragaman hayati, Satwa terlindungi, dan sumber ogsigen dan Air Minum terancam hilang. Perubahan iklim dunia semakin ekstrim. Dunia terancam menjadi dunia yang dihuni monopoli manusia. Rantai sumber makanan terbatas pada bahan yang terbatas. Padahal kepunahan pada jenis tanaman dan sepsis tertentu sangat rentan bila terjadi jenis hayati dan satwa tertentu terserang hama dan virus. Lihat bagaimana flu burung, wereng, tikus, dll.

Carbon Trade Cuma jadi isapan jempol. Bahkan kecenderungan saling boikot produk dan proteksionis dari Negara Maju seperti Amerika membuktikan perdagangan Bebas hanya alat untuk eksploitasi Negara berkembang dan terbelakang. Terakhir Trump bahkan menolak untuk menjalankan TPP.
Dalam issu perdagangan EU-I-CEPA ada permintaan EU untuk membentuk peradilan dan settlement sendiri yang memungkinkan Swasta menggugat Negara untuk perlindungan khusus yang disebut ISDS investor-state dispute settlement. Perlindungan semacam ini memungkinkan bagi Eropa untuk menggugat Negara diluar mekanisme Nasional. Tindakan perlindungan khusus di SEZ sudah menjadi dilema besar, apalagi tambahan mekanisme khusus yang menempatkan Investor sebagai tuan besar yang tak sejajar.

5. Keterbatasan Akses Sipil dalam Negoisasi EU-I-CEPA
Dalam negoisasi sipil round ke 2 di Belgia, tidak ada keterbukaan sama sekali tentang proses Negoisasi antar kedua pihak kepada masyarakat sipil. Masyarakat sipil dibiarkan menduga-duga saja tentang hasil proses negoisasi dengan mengintip berbagai perjanjian perdagangan bebas EU  dengan Negara-negara lain seperti Vietnam, Mercosur, Jepang. Negoisasi perdangangan bebas bukan untuk rakyat, karena rakyat dihindarkan dari proses negoisasi. Bahkan tim Negoisasi Eropa tidak mau bertemu dengan organisasi sipil di Belgia. Tim organisasi sipil hanya diterima tim negoisasi dari Indonesia, kendatipun tidak memperoleh detail proses negoisasi. Mereka hanya menginginkan adanya Impact Assesment yang hanya berdurasi beberapa Menit untuk mendengar impact assessment yang dilakukan akhir tahun ini di Jakarta oleh pihak researcher.

Masyarakat kesulitan memeberikan opininya secara konkrit, karena proses  negoisasi tak pernah jelas. Kendatipun demikian, sebaiknya tongkat diarahkan dalam bentuk apapun termasuk opini ini agar tidak masuk ke jurang yang berbahaya.

Ada banyak dampak positif dari Perdagangan Bebas yang mayoritas menguntungkan negara maju dan elit kapital dan birokrat Politik. Tapi rentan bagi kelompok tertentu yang mayoritas ada di Negara yang lemah secara ekonomi dan teknologi. 

Minggu, 10 Juni 2018

CEPA, FTA dan Dampaknya Bagi Buruh Indonesia



Petani  harus membeli bibit, obat-obatan hama, pupuk yang mahal. Karena Negara dilarang intervensi.
BPJS Bangkrut, Karena monopoli merek dan hak intelektual terhadap obat-obatan dan rumah sakit global yang memboikot  pasien.  Obat generic  sulit diproduksi.
Pembangunan infrakstruktur terkendala, karena BUMN harus diliberalisasi. Negara dilarang monopoli.  
Banyak buruh yang menganggur, karena hak  otomatisasi dan investasi  asing 100% tanpa kemitraan.
Ekspor terhambat karena akses intelijen ekonomi yang kuat menarget  pemain lokal dan informal yang kurang kredible dan standard dan menundukkannya ke pemain global.
Pengangguran intelektual  dan pendidikan menengah meningkat dan menjadi  beban politk dan ekonomi Negara yang tinggi.

Negara akan tidak berdaya mengantisipasi serangan Investor  dari Negara bersangkutan karena penandatanganan perdagangan bebas seperti biasanya tidak pernah terbuka. Isi dari klausul-klausul  dalam perjanjian tidak pernah diinformasikan transparan kepada masyarakat.
Apakah tujuan dari perdagangan bebas?
FTA (Perjanjian Perdagangan Bebas)  sebenarnya ditujuakan untuk membuka peluang perkembangan bisnis yang cepat bagi Negara pelaku. Teorinya dilatari oleh Teori David Ricardo tentang Comparative Advantage.  Teori ini memiliki kelemahan karena tidak memperhitungkan distribusi kekayaan secara keseluruhan.  Teori ini lebih kepada percepatan pertumbuhan secara ekonomi tanpa mempertimbangkan aspek sosial.

Indonesia saat ini telah terikat Perdangangan bebas dengan beberapa Negara diantaranya:
World Trade Organization (WTO) yang melibatkan 153 negara, ASEAN Free Trade Agreement (AFTA), dan Indonesia-Jepang Economic Partnership Agreement. Sebagai bagian dari ASEAN, Indonesia juga terlibat FTA dengan Korea Selatan, India, China, Australia dan Selandia Baru. Sedangkan dengan Amerika Serikat (AS), diberlakukan sebagai perjanjian perdagangan antar negara, tetapi hanya perjanjian bisnis antara sektor-sektor usaha tertentu di Indonesia dan AS.

Perjanjian Perdagangan Bebas biasanya dilakukan oleh Negara maju dengan dengara yang berkembang.  Hal ini biasanya dilakukan dengan keyakinan untuk  meningkatkan dan mempercepat dan mempermudah bisnis  antar kedua Negara atau antar beberapa Negara. Namun  kecepatan ini  sering sekali  mengabaikan kepentingan para pelaku informal, buruh, petani, nelayan, dan kelompok buruh migran.
Perjanjian biasanya lebih focus melindungi  Negara yang lebih dominan. Pilihan perjanjian biasanya pada pokok yang melindungi Negara Kaya.
Lihat saja issu yang berkembang berkenaan dengan perjanjian penandatanganan Perdagangan Bebas dengan Uni  Eropa:
pembukaan pasar di sektor barang,  liberalisasi sektor jasa-jasa, pembukaan pasar pembelanjaan pemerintah, pengaturan BUMN (badan usaha milik negara), penguatan di bidang HKI (hak kekayaan intelektual), perlindungan investor asing, kepabean dan fasilitasi perdagangan, dan kerjasama.
Bahkan Kadin merilis selama pemberlakukan FTA, kinerja perdagangan produk industri tahun 2007-2011 justru defisit, kecuali India. Pertumbuhan impor 2-3 kali lebih tinggi dari pertumbuhan ekspor. Dengan Jepang, pertumbuhan impor Indonesia mencapai 31,2 persen. Namun pertumbuhan ekspor Indonesia hanya 7,07 persen. Dengan China, pertumbuhan impor lebih dari 300 persen, sehingga defisit perdagangan semakin besar.
Memang Perjanjian Perdagangan dengan Uni Eropa menjanjikan persyaratan peningkatan hak buruh dengan kerja layak dan SDG. Namun dengan kuatnya UU Ketenagakejaan Indonesia sekarang pun kerja layak tidak tercapai dengan baik. Pengawasan perburuhan masih lemah dan aparat pemerintah tidak dapat menjalankan kinerjanya karena aroigansi investor asing.  Pemerintah juga tidak berdaya menegakkan aturan perburuhan karena masing-masing pemerintah daerah melindungi dan menginginkan investasi  asing yang lebih dominan dan cepat.
FTA hanya menghasilkan pertumbuhan penyerapan tenaga kerja Precarious Work. Peningkatan Penguasaan Kapital dan lahan pada segelintir pemain global. Indeks ketimpangan sosial yang tinggi dan kesemrautan ekonomi karena birokrasi jadi korup dan hanya tunduk pada otoritas Pemain Bisnis Global.
Perjanjian FTA hanya akan berdampak pada kenyamanan segelintir Pemodal dan penurunan jumlah kelas menengah kepada kelompok menengah miskin perkotaan yang tidak mandiri. Kurangnya perlindungan sosial karena LSM NGO’s dan Serikat Buruh tidak lagi mendapat dukungan yang memadai dari dana sosial karena penurunan jumlah pendapatan pajak Negara. Sementara Bantuan Global untuk sosial berkurang karena pertumbuhan PDB akibat peningkatan pertumbuhan ekonomi Makro membuat Indonesia dianggap tidak lagi layak mendapatkan hibah dana sosial.  Padahal kondisi sosial mayoritas buruh dan rakyat mengah miskin dan miskin justru merangkak naik.
Kita butuhkan Perdagagan yang adil, bukan perdagangan yang bebas.
Penulis:
Eduard P. Marpaung (Sekjen DEN KSBSI)