konsolidasi buruh

Rabu, 05 Oktober 2016

MK: Pengusaha Wajib Membayar Penuh Upah Tertangguh



Kuasa Hukum Pemohon hadir dalam sidang pengucapan putusan perkara uji materi UU ketenagakerjaan, Kamis (29/9) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Foto Humas/Ifa.
Mahkamah Konstitusi (MK) memutus mengabulkan sebagian permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Putusan Nomor 72/PUU-XIII/2015 yang diajukan aktivis buruh Sukarya dan Siti Nurrofiqoh tersebut diucapkan pada Kamis (29/9) di ruang sidang MK.
“Menyatakan mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian,” ujar Wakil Ketua MK Anwar Usman mengucapkan amar putusan didamping para hakim konstitusi lainnya.
Dalam putusannya, MK menyatakan Penjelasan Pasal 90 ayat (2) UU Ketenagakerjaan sepanjang frasa “tetapi tidak wajib membayar pemenuhan ketentuan upah minimum yang berlaku pada waktu diberikan penangguhan” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Mahkamah menjelaskan, dari sudut pandang pengusaha, penangguhan pembayaran upah minimum memberikan kesempatan kepada pengusaha untuk memenuhi kewajiban membayar upah sesuai dengan kemampuan pada periode tertentu atau kurun waktu tertentu. Adapun dari sudut pandang pekerja/buruh, penangguhan pembayaran upah minimum memberikan perlindungan kepada pekerja/buruh untuk tetap bekerja pada perusahaan tersebut sekaligus memberikan kepastian hukum mengenai keberlangsungan hubungan kerja.
Namun, penangguhan pembayaran upah minimum pengusaha kepada pekerja/buruh tidak dapat serta-merta menghilangkan kewajiban pengusaha untuk membayar selisih upah minimum dengan pembayaran yang dilakukan oleh pengusaha selama masa penangguhan. Membayar upah lebih rendah dari upah minimum, lanjut Mahkamah, adalah bentuk pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 90 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.
“Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut merupakan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara dan/atau denda sebagaimana diatur dalam Pasal 185 ayat (1) dan ayat (2) UU 13/2003,” ujar Hakim Konstitusi Manahan Sitompul membacakan pertimbangan hukum.
Dengan kata lain, selisih upah minimum dengan pembayaran yang dilakukan oleh pengusaha selama masa penangguhan adalah utang pengusaha yang harus dibayarkan kepada pekerja/buruh. Hal tersebut demi memberikan perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi pekerja/buruh untuk dapat menerima penghasilan yang layak bagi kemanusiaan sekaligus memberikan tanggung jawab kepada pengusaha agar yang bersangkutan tidak berlindung di balik ketidakmampuan tersebut.
Lebih lanjut, Mahkamah menegaskan terdapat inkonsistensi norma antara Pasal 90 ayat (1) dan Pasal 90 ayat (2) UU Ketenagakerjaan dengan Penjelasan Pasal 90 ayat (2) UU Ketenagakerjaan. Inkonsistensi dimaksud telah menimbulkan penafsiran yang berbeda terkait penangguhan pembayaran upah minimum pengusaha kepada pekerja/buruh. Keadaan tersebut, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan menyebabkan buruh terancam haknya untuk mendapat imbalan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Upah Minimum
Dalam putusannya, Mahkamah juga berpendapat selain merupakan upaya perlindungan dasar bagi pekerja/buruh, upah minimum juga sebagai jaring pengaman agar upah tidak jatuh merosot sampai pada level terendah. Pada prinsipnya, pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana yang ditetapkan oleh gubernur. Faktanya, tidak semua pengusaha mampu memberikan upah minimum kepada pekerja/buruh.
“Oleh karena itu, penangguhan pembayaran upah minimum oleh pengusaha kepada pekerja/buruh dimungkinkan dengan tujuan untuk memberikan perlindungan baik kepada pengusaha maupun kepada pekerja/buruh yang bersangkutan,” jelas Manahan.
Sebelumnya Pemohon memandang kebijakan penangguhan upah dalam Pasal 90 ayat (2) dan Penjelasannya menimbulkan ketidakpastian. Upah minimum yang ditetapkan  pemerintah yang merupakan jaring pengaman dinilai tidak pasti karena pembayaran upah dimungkinkan untuk menyimpangi ketentuan yang ada. Hal tersebut, menurut Pemohon, menyebabkan upah yang diterima pekerja/buruh menjadi dibawah standar Kebutuhan Hidup Layak. Oleh karena itu, Pemohon menilai ketentuan a quo menurut mereka bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.
Kutipan Berita Web Mahkamah Konstitusi, Jum at 30 September 2016